tag:blogger.com,1999:blog-82210403805771801462024-03-18T21:28:21.493-07:00PADEMENNEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.comBlogger56125tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-19805990650150230702011-03-18T19:48:00.000-07:002011-03-18T19:51:00.797-07:00QUALITY WORKPLACES = QUALITY PATIENT CARE<a href="http://www.icn.ch/images/stories/documents/publications/ind/indkit2007.pdf">Perawat dan lingkungan tempat praktek keperawatan </a>NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-21806072415042633632011-03-18T19:40:00.000-07:002011-03-18T19:45:12.540-07:00We must invest too − to advance our practice, and improve care and outcomes<a href="http://www.icn.ch/images/stories/documents/publications/ind/indkit2009.pdf">Perawat dan Inovasi</a>NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-16908290581475517642011-03-18T19:30:00.000-07:002011-03-18T19:39:00.865-07:00The information about the increasing need and demand for chronic care<a href="http://www.icn.ch/images/stories/documents/publications/ind/indkit2010.pdf">Perawat dan penyakit kronis</a>NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-70127272233445232322011-03-18T19:08:00.000-07:002011-03-18T19:25:26.201-07:00Understanding of access and equity and the effect of inequality on health<a href="http://www.icn.ch/images/stories/documents/publications/ind/indkit2011.pdf">Pemahaman tentang akses dan ekuitas dan efek<br />ketidaksetaraan pada kesehatan</a>NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-77449814103661247352010-04-14T10:04:00.000-07:002010-04-15T18:25:42.889-07:00KASUS : PERAWAT DI PENJARASeorang perawat bernama Misran warga Kuala Samboja Kutai Kertanegara Kalimantan Timur dan sekaligus ditugaskan menjadi pemimpin puskesmas pembantu dari Bupati dengan pendidikan terakhir sarjana kesehatan masyarakat dipidana 3 bulan karena telah memberikan obat rasa sakit dan obat tersebut termasuk obat golongan G (gevaarlijk/berbahaya)<span class="fullpost">
<br />
<br />Hakim PN Tengarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. hukuman itu dijatuhkan karena Misran telah melanggar UU no 36/2009 pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 23/1992 tentang Kesehatan tentang Kesehatan
<br />
<br />Putusan hakim menuai kontra pendapat diantaranya karena :
<br />1. kondisi geografis
<br />2. kelalaian pemerintah dalam menyediakan struktur medis
<br />3. hakim dinilai melihat masalah ini hanya berdasarkan hukum formil padahal tindakan ini tidak menyalahi hukum pidana secara materil,
<br />4. sedangkan menurut efsri dalam blognya mengatakan bahwa : misran melanggar kewenangan yang didapat karena keahlian <span style="font-style:italic;">(authority by expertise) </span>sedangkan masih terdapat kewenangan yang dimiliki misran yaitu kewenangan yang didapat karena posisi <span style="font-style:italic;">(authority by position) </span>dan kewenangan yang didapat karena situasi <span style="font-style:italic;">(authority by situation)</span>
<br />Sampai saat ini kasus ini sedang diproses ke tingkat MK (mahkamah konstitusi) karena ybs merasa didzalimi oleh undang – undang tersebut.
<br />
<br />Sumber :
<br />detik.com Senin, 12/04/2010 04:41 WIB
<br />http://franciscasri.wordpress.com
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-88523766832074781482010-04-14T08:45:00.000-07:002010-04-14T08:55:05.914-07:00UNDANG-UNDANG RI NO 36 THN 2009 TENTANG KESEHATANUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR 36 TAHUN 2009
<br />TENTANG
<br />KESEHATAN
<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan
<br />salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
<br />sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar
<br />Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
<br />b. bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
<br />meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
<br />setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
<br />nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam
<br />rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
<br />serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
<br />pembangunan nasional;
<br />c. bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
<br />kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan
<br />kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap
<br />upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga
<br />berarti investasi bagi pembangunan negara;
<br />d. bahwa setiap upaya pembangunan harus dilandasi dengan
<br />wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional
<br />harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan
<br />merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah
<br />maupun masyarakat;
<br />e. <span style="font-weight:bold;">bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan,
<br />tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat
<br />sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-
<br />Undang tentang Kesehatan yang baru</span>;<span class="fullpost">
<br />- 2 -
<br />f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
<br />dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
<br />perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesehatan;
<br />Mengingat : Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)
<br />Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
<br />1945;
<br />Dengan Persetujuan Bersama
<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
<br />dan
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />MEMUTUSKAN :
<br />Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />Pasal 1
<br />Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
<br />1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
<br />spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang
<br />untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
<br />2. Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk
<br />dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan
<br />alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan
<br />teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan
<br />upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
<br />3. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan
<br />yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya
<br />kesehatan.
<br />4. Sediaan . . .
<br />- 3 -
<br />4. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional,
<br />dan kosmetika.
<br />5. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin
<br />dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
<br />digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
<br />menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
<br />orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
<br />dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
<br />tubuh.
<br />6. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan
<br />diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
<br />dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
<br />kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
<br />kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
<br />7. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau
<br />tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
<br />pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
<br />maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
<br />8. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
<br />biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau
<br />menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
<br />rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
<br />pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,
<br />untuk manusia.
<br />9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang
<br />berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
<br />sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan
<br />tersebut yang secara turun temurun telah digunakan
<br />untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
<br />norma yang berlaku di masyarakat.
<br />10. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau
<br />metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan
<br />diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan
<br />kesehatan manusia.
<br />11. Upaya . . .
<br />- 4 -
<br />11. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
<br />serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu,
<br />terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan
<br />meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
<br />bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
<br />pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh
<br />pemerintah dan/atau masyarakat.
<br />12. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
<br />dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
<br />lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi
<br />kesehatan.
<br />13. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
<br />pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan/penyakit.
<br />14. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan
<br />dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang
<br />ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
<br />penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau
<br />pengendalian kecacatan agar kualitas penderita dapat
<br />terjaga seoptimal mungkin.
<br />15. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan
<br />dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
<br />bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
<br />berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna
<br />untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin
<br />sesuai dengan kemampuannya.
<br />16. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan
<br />dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu
<br />pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara
<br />empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan
<br />diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
<br />masyarakat.
<br />17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
<br />Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
<br />Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana
<br />dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
<br />Indonesia Tahun 1945.
<br />18. Pemerintah . . .
<br />- 5 -
<br />18. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota
<br />dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
<br />pemerintahan daerah.
<br />19. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung
<br />jawabnya di bidang kesehatan.
<br />
<br />
<br />BAB II
<br />ASAS DAN TUJUAN
<br />Pasal 2
<br />Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan
<br />perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan,
<br />penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender
<br />dan nondiskriminatif dan norma-norma agama.
<br />Pasal 3
<br />Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan
<br />kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
<br />orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
<br />setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
<br />sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
<br />ekonomis.
<br />
<br />BAB III
<br />HAK DAN KEWAJIBAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Hak
<br />Pasal 4
<br />Setiap orang berhak atas kesehatan.
<br />Pasal 5
<br />(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
<br />memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.
<br />(2) Setiap . . .
<br />- 6 -
<br />(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
<br />pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
<br />terjangkau.
<br />(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung
<br />jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
<br />diperlukan bagi dirinya.
<br />Pasal 6
<br />Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi
<br />pencapaian derajat kesehatan.
<br />Pasal 7
<br />Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan
<br />edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung
<br />jawab.
<br />Pasal 8
<br />Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data
<br />kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang
<br />telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
<br />Bagian Kedua
<br />Kewajiban
<br />Pasal 9
<br />(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
<br />mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan
<br />masyarakat yang setinggi-tingginya.
<br />(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
<br />pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan,
<br />upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
<br />berwawasan kesehatan.
<br />Pasal 10 . . .
<br />- 7 -
<br />Pasal 10
<br />Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam
<br />upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,
<br />maupun sosial.
<br />Pasal 11
<br />Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk
<br />mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan
<br />yang setinggi-tingginya.
<br />Pasal 12
<br />Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat
<br />kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
<br />Pasal 13
<br />(1) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program
<br />jaminan kesehatan sosial.
<br />(2) Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />
<br />BAB IV
<br />TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
<br />Pasal 14
<br />(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
<br />menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
<br />penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan
<br />terjangkau oleh masyarakat.
<br />(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik.
<br />Pasal 15 . . .
<br />- 8 -
<br />Pasal 15
<br />Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
<br />tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi
<br />masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.
<br />Pasal 16
<br />Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya
<br />di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
<br />masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang
<br />setinggi-tingginya.
<br />Pasal 17
<br />Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses
<br />terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan
<br />untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang
<br />setinggi-tingginya.
<br />Pasal 18
<br />Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan
<br />mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya
<br />kesehatan.
<br />Pasal 19
<br />Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
<br />bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan
<br />terjangkau.
<br />Pasal 20
<br />(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan
<br />kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial
<br />nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
<br />(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />BAB V . . .
<br />- 9 -
<br />
<br />BAB V
<br />SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Tenaga Kesehatan
<br />Pasal 21
<br />(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan,
<br />pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu
<br />tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan
<br />pelayanan kesehatan.
<br />(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan,
<br />pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu
<br />tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />(3) Ketentuan mengenai tenaga kesehatan diatur dengan
<br />Undang-Undang.
<br />Pasal 22
<br />(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
<br />(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 23
<br />(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
<br />pelayanan kesehatan.
<br />(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
<br />(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
<br />kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.
<br />(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan
<br />kepentingan yang bernilai materi.
<br />(5) Ketentuan . . .
<br />- 10 -
<br />(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
<br />Pasal 24
<br />(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar
<br />profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
<br />pelayanan, dan standar prosedur operasional.
<br />(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh
<br />organisasi profesi.
<br />(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
<br />standar pelayanan, dan standar prosedur operasional
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Pasal 25
<br />(1) Pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
<br />diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
<br />dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau
<br />pelatihan.
<br />(2) Penyelenggaraan pendidikan dan/atau pelatihan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung
<br />jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
<br />(3) Ketentuan mengenai penyelengaraan pendidikan
<br />dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
<br />diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 26
<br />(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan
<br />untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
<br />(2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan
<br />mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan
<br />kebutuhan daerahnya.
<br />(3) Pengadaan . . .
<br />- 11 -
<br />(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
<br />memperhatikan:
<br />a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
<br />masyarakat;
<br />b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
<br />c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja
<br />pelayanan kesehatan yang ada.
<br />(4) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan
<br />hak tenaga kesehatan dan hak masyarakat untuk
<br />mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata.
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan tenaga
<br />kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 27
<br />(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
<br />pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
<br />dengan profesinya.
<br />(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
<br />berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan
<br />pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
<br />(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
<br />ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 28
<br />(1) Untuk kepentingan hukum, tenaga kesehatan wajib
<br />melakukan pemeriksaan kesehatan atas permintaan
<br />penegak hukum dengan biaya ditanggung oleh negara.
<br />(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />didasarkan pada kompetensi dan kewenangan sesuai
<br />dengan bidang keilmuan yang dimiliki.
<br />Pasal 29 . . .
<br />- 12 -
<br />Pasal 29
<br />Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
<br />dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
<br />diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
<br />Bagian Kedua
<br />Fasilitas Pelayanan Kesehatan
<br />Pasal 30
<br />(1) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis
<br />pelayanannya terdiri atas:
<br />a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
<br />b. pelayanan kesehatan masyarakat.
<br />(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) meliputi:
<br />a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
<br />b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
<br />c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
<br />(3) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan swasta.
<br />(4) Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
<br />ditetapkan oleh Pemerintah sesuai ketentuan yang
<br />berlaku.
<br />(5) Ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
<br />ditetapkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
<br />Pasal 31
<br />Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
<br />a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian
<br />dan pengembangan di bidang kesehatan; dan
<br />b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan
<br />kepada pemerintah daerah atau Menteri.
<br />Pasal 32 . . .
<br />- 13 -
<br />Pasal 32
<br />(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
<br />baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan
<br />pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien
<br />dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
<br />(2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
<br />baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak
<br />pasien dan/atau meminta uang muka.
<br />Pasal 33
<br />(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
<br />kesehatan masyarakat harus memiliki kompetensi
<br />manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan.
<br />(2) Kompetensi manajemen kesehatan masyarakat
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
<br />dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 34
<br />(1) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan
<br />kesehatan perseorangan harus memiliki kompetensi
<br />manajemen kesehatan perseorangan yang dibutuhkan.
<br />(2) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
<br />mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki
<br />kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi.
<br />(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
<br />ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 35
<br />(1) Pemerintah daerah dapat menentukan jumlah dan jenis
<br />fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin
<br />beroperasi di daerahnya.
<br />(2) Penentuan . . .
<br />- 14 -
<br />(2) Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan oleh pemerintah daerah dengan
<br />mempertimbangkan:
<br />a. luas wilayah;
<br />b. kebutuhan kesehatan;
<br />c. jumlah dan persebaran penduduk;
<br />d. pola penyakit;
<br />e. pemanfaatannya;
<br />f. fungsi sosial; dan
<br />g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
<br />(3) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
<br />kesehatan serta pemberian izin beroperasi sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk fasilitas
<br />pelayanan kesehatan asing.
<br />(4) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
<br />berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina,
<br />penelitian, dan asilum.
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
<br />fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />Bagian Ketiga
<br />Perbekalan Kesehatan
<br />Pasal 36
<br />(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
<br />keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat
<br />esensial.
<br />(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat,
<br />Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk
<br />pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang
<br />berkhasiat obat.
<br />Pasal 37 . . .
<br />- 15 -
<br />Pasal 37
<br />(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar
<br />kebutuhan dasar masyarakat akan perbekalan
<br />kesehatan terpenuhi.
<br />(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat
<br />esensial dan alat kesehatan dasar tertentu dilaksanakan
<br />dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor
<br />yang berkaitan dengan pemerataan.
<br />Pasal 38
<br />(1) Pemerintah mendorong dan mengarahkan
<br />pengembangan perbekalan kesehatan dengan
<br />memanfaatkan potensi nasional yang tersedia.
<br />(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />diarahkan terutama untuk obat dan vaksin baru serta
<br />bahan alam yang berkhasiat obat.
<br />(3) Pengembangan perbekalan kesehatan dilakukan dengan
<br />memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk
<br />sumber daya alam dan sosial budaya.
<br />Pasal 39
<br />Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Pasal 40
<br />(1) Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara
<br />esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.
<br />(2) Daftar dan jenis obat sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap
<br />2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan
<br />dan teknologi.
<br />(3) Pemerintah menjamin agar obat sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) tersedia secara merata dan terjangkau oleh
<br />masyarakat.
<br />(4) Dalam . . .
<br />- 16 -
<br />(4) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan
<br />kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan
<br />perbekalan kesehatan.
<br />(5) Ketentuan mengenai keadaan darurat sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengadakan
<br />pengecualian terhadap ketentuan paten sesuai dengan
<br />peraturan perundang-undangan yang mengatur paten.
<br />(6) Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang
<br />termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus
<br />dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga
<br />penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah.
<br />(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perbekalan kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Pasal 41
<br />(1) Pemerintah daerah berwenang merencanakan
<br />kebutuhan perbekalan kesehatan sesuai dengan
<br />kebutuhan daerahnya.
<br />(2) Kewenangan merencanakan kebutuhan perbekalan
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap
<br />memperhatikan pengaturan dan pembinaan standar
<br />pelayanan yang berlaku secara nasional.
<br />Bagian Keempat
<br />Teknologi dan Produk Teknologi
<br />Pasal 42
<br />(1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan,
<br />diteliti, diedarkan, dikembangkan, dan dimanfaatkan
<br />bagi kesehatan masyarakat.
<br />( 2) Teknologi . . .
<br />- 17 -
<br />(2) Teknologi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) mencakup segala metode dan alat yang
<br />digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit,
<br />mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan
<br />akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil
<br />komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit.
<br />(3) Ketentuan mengenai teknologi dan produk teknologi
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
<br />memenuhi standar yang ditetapkan dalam peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Pasal 43
<br />(1) Pemerintah membentuk lembaga yang bertugas dan
<br />berwenang melakukan penapisan, pengaturan,
<br />pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggunaan
<br />teknologi dan produk teknologi.
<br />(2) Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 44
<br />(1) Dalam mengembangkan teknologi sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 42 dapat dilakukan uji coba
<br />teknologi atau produk teknologi terhadap manusia atau
<br />hewan.
<br />(2) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
<br />dengan jaminan tidak merugikan manusia yang
<br />dijadikan uji coba.
<br />(3) Uji coba sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
<br />oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan
<br />orang yang dijadikan uji coba.
<br />(4) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk
<br />melindungi kelestarian hewan tersebut serta mencegah
<br />dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
<br />manusia.
<br />(5) Ketentuan . . .
<br />- 18 -
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan uji coba
<br />terhadap manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 45
<br />(1) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi
<br />dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan
<br />membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
<br />teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
<br />dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />BAB VI
<br />UPAYA KESEHATAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Umum
<br />Pasal 46
<br />Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
<br />bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
<br />terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
<br />perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat.
<br />Pasal 47
<br />Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
<br />dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
<br />rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh,
<br />dan berkesinambungan.
<br />Pasal 48
<br />(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui
<br />kegiatan:
<br />a. pelayanan . . .
<br />- 19 -
<br />a. pelayanan kesehatan;
<br />b. pelayanan kesehatan tradisional;
<br />c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
<br />d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
<br />e. kesehatan reproduksi;
<br />f. keluarga berencana;
<br />g. kesehatan sekolah;
<br />h. kesehatan olahraga;
<br />i. pelayanan kesehatan pada bencana;
<br />j. pelayanan darah;
<br />k. kesehatan gigi dan mulut;
<br />l. penanggulangan gangguan penglihatan dan
<br />gangguan pendengaran;
<br />m. kesehatan matra;
<br />n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan
<br />alat kesehatan;
<br />o. pengamanan makanan dan minuman;
<br />p. pengamanan zat adiktif; dan/atau
<br />q. bedah mayat.
<br />(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) didukung oleh sumber daya
<br />kesehatan.
<br />Pasal 49
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
<br />bertanggung jawab atas penyelenggaraan upaya
<br />kesehatan.
<br />(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan
<br />fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya,
<br />moral, dan etika profesi.
<br />Pasal 50
<br />(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
<br />meningkatkan dan mengembangkan upaya kesehatan.
<br />(2) Upaya . . .
<br />- 20 -
<br />(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />sekurang-kurangnya memenuhi kebutuhan kesehatan
<br />dasar masyarakat.
<br />(3) Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
<br />berdasarkan pengkajian dan penelitian.
<br />(4) Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
<br />melalui kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas
<br />sektor.
<br />Pasal 51
<br />(1) Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
<br />derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu
<br />atau masyarakat.
<br />(2) Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
<br />minimal kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
<br />diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Kedua
<br />Pelayanan Kesehatan
<br />Paragraf Kesatu
<br />Pemberian Pelayanan
<br />Pasal 52
<br />(1) Pelayanan kesehatan terdiri atas:
<br />a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
<br />b. pelayanan kesehatan masyarakat.
<br />(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
<br />preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
<br />Pasal 53 . . .
<br />- 21 -
<br />Pasal 53
<br />(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
<br />menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
<br />perseorangan dan keluarga.
<br />(2) Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
<br />memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
<br />mencegah penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
<br />(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan
<br />pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding
<br />kepentingan lainnya.
<br />Pasal 54
<br />(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
<br />secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata
<br />dan nondiskriminatif.
<br />(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
<br />atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1).
<br />(3) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
<br />masyarakat.
<br />Pasal 55
<br />(1) Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan
<br />kesehatan.
<br />(2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />Paragraf Kedua . . .
<br />- 22 -
<br />Paragraf Kedua
<br />Perlindungan Pasien
<br />Pasal 56
<br />(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian
<br />atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan
<br />kepadanya setelah menerima dan memahami informasi
<br />mengenai tindakan tersebut secara lengkap.
<br />(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) tidak berlaku pada:
<br />a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara
<br />cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas;
<br />b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau
<br />c. gangguan mental berat.
<br />(3) Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
<br />dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 57
<br />(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan
<br />pribadinya yang telah dikemukakan kepada
<br />penyelenggara pelayanan kesehatan.
<br />(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan
<br />pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
<br />berlaku dalam hal:
<br />a. perintah undang-undang;
<br />b. perintah pengadilan;
<br />c. izin yang bersangkutan;
<br />d. kepentingan masyarakat; atau
<br />e. kepentingan orang tersebut.
<br />Pasal 58 . . .
<br />- 23 -
<br />Pasal 58
<br />(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
<br />seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
<br />kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
<br />atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
<br />diterimanya.
<br />(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
<br />tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
<br />kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
<br />(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai
<br />dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Bagian Ketiga
<br />Pelayanan Kesehatan Tradisional
<br />Pasal 59
<br />(1) Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan kesehatan
<br />tradisional terbagi menjadi:
<br />a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
<br />keterampilan; dan
<br />b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan
<br />ramuan.
<br />(2) Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar
<br />dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
<br />keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma
<br />agama.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
<br />pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 60 . . .
<br />- 24 -
<br />Pasal 60
<br />(1) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan
<br />tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus
<br />mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.
<br />(2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan
<br />manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan
<br />dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.
<br />Pasal 61
<br />(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
<br />untuk mengembangkan, meningkatkan dan
<br />menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang
<br />dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
<br />keamanannya.
<br />(2) Pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan
<br />kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan,
<br />kepentingan, dan perlindungan masyarakat.
<br />Bagian Keempat
<br />Peningkatan Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
<br />Pasal 62
<br />(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya
<br />yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
<br />dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
<br />melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi,
<br />atau kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup
<br />sehat.
<br />(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya
<br />yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
<br />dan/atau masyarakat untuk menghindari atau
<br />mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat
<br />penyakit.
<br />(3) Pemerintah . . .
<br />- 25 -
<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan
<br />menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya
<br />peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan
<br />kesehatan dan pencegahan penyakit diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Bagian Kelima
<br />Penyembuhan Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
<br />Pasal 63
<br />(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
<br />diselenggarakan untuk mengembalikan status
<br />kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
<br />dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
<br />(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
<br />dilakukan dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
<br />perawatan.
<br />(3) Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
<br />dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
<br />keperawatan atau cara lain yang dapat
<br />dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
<br />(4) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan
<br />berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
<br />hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
<br />mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
<br />(5) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
<br />pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
<br />pengobatan dan/atau perawatan atau berdasarkan cara
<br />lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
<br />Pasal 64
<br />(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat
<br />dilakukan melalui transplantasi organ dan/atau jaringan
<br />tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah
<br />plastik dan rekonstruksi, serta penggunaan sel punca.
<br />(2) Transplantasi . . .
<br />- 26 -
<br />(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya
<br />untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk
<br />dikomersialkan.
<br />(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan
<br />dengan dalih apapun.
<br />Pasal 65
<br />(1) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya
<br />dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
<br />keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di
<br />fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
<br />(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari
<br />seorang donor harus memperhatikan kesehatan
<br />pendonor yang bersangkutan dan mendapat persetujuan
<br />pendonor dan/atau ahli waris atau keluarganya.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
<br />penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan
<br />tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
<br />ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 66
<br />Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari
<br />hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti
<br />keamanan dan kemanfaatannya.
<br />Pasal 67
<br />(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian
<br />organ tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga
<br />kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
<br />serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
<br />(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan
<br />dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
<br />sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
<br />Pasal 68 . . .
<br />- 27 -
<br />Pasal 68
<br />(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke
<br />dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh
<br />tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
<br />kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan
<br />kesehatan tertentu.
<br />(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
<br />penyelenggaraan pemasangan implan obat dan/atau alat
<br />kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 69
<br />(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan
<br />oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
<br />kewenangan untuk itu.
<br />(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan
<br />dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak
<br />ditujukan untuk mengubah identitas.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik
<br />dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 70
<br />(1) Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk
<br />tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
<br />kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan
<br />reproduksi.
<br />(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
<br />boleh berasal dari sel punca embrionik.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan sel punca
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
<br />dengan Peraturan Menteri.
<br />Bagian Keenam . . .
<br />- 28 -
<br />Bagian Keenam
<br />Kesehatan Reproduksi
<br />Pasal 71
<br />(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara
<br />fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
<br />bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan
<br />dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki
<br />dan perempuan.
<br />(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) meliputi:
<br />a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
<br />melahirkan;
<br />b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan
<br />kesehatan seksual; dan
<br />c. kesehatan sistem reproduksi.
<br />(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif,
<br />preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
<br />Pasal 72
<br />Setiap orang berhak:
<br />a. menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual
<br />yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau
<br />kekerasan dengan pasangan yang sah.
<br />b. menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari
<br />diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang
<br />menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan
<br />martabat manusia sesuai dengan norma agama.
<br />c. menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin
<br />bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan
<br />dengan norma agama.
<br />d. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai
<br />kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
<br />dipertanggungjawabkan.
<br />Pasal 73 . . .
<br />- 29 -
<br />Pasal 73
<br />Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
<br />sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu,
<br />dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
<br />Pasal 74
<br />(1) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat
<br />promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif,
<br />termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
<br />aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek
<br />yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
<br />(2) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
<br />tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />(3) Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan
<br />Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 75
<br />(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
<br />(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
<br />dikecualikan berdasarkan:
<br />a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia
<br />dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu
<br />dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
<br />berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak
<br />dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
<br />hidup di luar kandungan; atau
<br />b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat
<br />menyebabkan trauma psikologis bagi korban
<br />perkosaan.
<br />(3) Tindakan . . .
<br />- 30 -
<br />(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
<br />dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
<br />penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling
<br />pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
<br />kompeten dan berwenang.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan
<br />medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />Pasal 76
<br />Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat
<br />dilakukan:
<br />a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari
<br />hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan
<br />medis;
<br />b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
<br />kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
<br />menteri;
<br />c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
<br />d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
<br />e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang
<br />ditetapkan oleh Menteri.
<br />Pasal 77
<br />Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
<br />aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan
<br />ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak
<br />bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
<br />dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Bagian Ketujuh . . .
<br />- 31 -
<br />Bagian Ketujuh
<br />Keluarga Berencana
<br />Pasal 78
<br />(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana
<br />dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
<br />pasangan usia subur untuk membentuk generasi
<br />penerus yang sehat dan cerdas.
<br />(2) Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin
<br />ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
<br />dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang
<br />aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
<br />(3) Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana
<br />dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
<br />Bagian Kedelapan
<br />Kesehatan Sekolah
<br />Pasal 79
<br />(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan
<br />kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan
<br />hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar,
<br />tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya
<br />menjadi sumber daya manusia yang
<br />berkualitas.
<br />(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal
<br />atau melalui lembaga pendidikan lain.
<br />(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan
<br />Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Kesembilan . . .
<br />- 32 -
<br />Bagian Kesembilan
<br />Kesehatan Olahraga
<br />Pasal 80
<br />(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk
<br />meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani
<br />masyarakat.
<br />(2) Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani
<br />masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi
<br />belajar, kerja, dan olahraga.
<br />(3) Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik,
<br />dan/atau olahraga.
<br />Pasal 81
<br />(1) Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan
<br />pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan
<br />pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
<br />(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga
<br />diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
<br />dan masyarakat.
<br />Bagian Kesepuluh
<br />Pelayanan Kesehatan Pada Bencana
<br />Pasal 82
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya,
<br />fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara
<br />menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
<br />(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap
<br />darurat dan pascabencana.
<br />(3) Pelayanan . . .
<br />- 33 -
<br />(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang
<br />bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah
<br />kecacatan lebih lanjut.
<br />(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
<br />(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
<br />bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
<br />(APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah
<br />(APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 83
<br />(1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan
<br />pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan
<br />nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
<br />kepentingan terbaik bagi pasien.
<br />(2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap
<br />orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
<br />dengan kemampuan yang dimiliki.
<br />Pasal 84
<br />Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan pelayanan
<br />kesehatan pada bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 85
<br />(1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan,
<br />baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan
<br />pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
<br />nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
<br />(2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan
<br />pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
<br />dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
<br />Bagian Kesebelas . . .
<br />- 34 -
<br />Bagian Kesebelas
<br />Pelayanan Darah
<br />Pasal 86
<br />(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan
<br />yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar
<br />dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan
<br />komersial.
<br />(2) Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh
<br />dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
<br />kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan
<br />kesehatan pendonor.
<br />(3) Darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum digunakan
<br />untuk pelayanan darah harus dilakukan pemeriksaan
<br />laboratorium guna mencegah penularan penyakit.
<br />Pasal 87
<br />(1) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah
<br />dilakukan oleh Unit Transfusi Darah.
<br />(2) Unit Transfusi Darah sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan/atau organisasi sosial yang
<br />tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.
<br />Pasal 88
<br />(1) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan,
<br />pengerahan pendonor darah, penyediaan,
<br />pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
<br />darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan
<br />penyakit dan pemulihan kesehatan.
<br />(2) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan
<br />dengan menjaga keselamatan dan kesehatan penerima
<br />darah dan tenaga kesehatan dari penularan penyakit
<br />melalui transfusi darah.
<br />Pasal 89 . . .
<br />- 35 -
<br />Pasal 89
<br />Menteri mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah
<br />untuk pelayanan transfusi darah.
<br />Pasal 90
<br />(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
<br />pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai
<br />dengan kebutuhan masyarakat.
<br />(2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam
<br />penyelenggaraan pelayanan darah.
<br />(3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
<br />Pasal 91
<br />(1) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan
<br />penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
<br />melalui proses pengolahan dan produksi.
<br />(2) Hasil proses pengolahan dan produksi sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dikendalikan oleh Pemerintah.
<br />Pasal 92
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan darah diatur
<br />dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Kedua Belas
<br />Kesehatan Gigi dan Mulut
<br />Pasal 93
<br />(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk
<br />memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
<br />masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi,
<br />pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
<br />pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, pemerintah
<br />daerah, dan/atau masyarakat yang dilakukan secara
<br />terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan.
<br />(2) Kesehatan . . .
<br />- 36 -
<br />(2) Kesehatan gigi dan mulut sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi
<br />perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat,
<br />usaha kesehatan gigi sekolah.
<br />Pasal 94
<br />Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin
<br />ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat
<br />kesehatan gigi dan mulut dalam rangka memberikan
<br />pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu, dan
<br />terjangkau oleh masyarakat.
<br />Bagian Ketiga Belas
<br />Penanggulangan Gangguan Penglihatan
<br />dan Gangguan Pendengaran
<br />Pasal 95
<br />(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan
<br />pendengaran merupakan semua kegiatan yang dilakukan
<br />meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan
<br />rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat
<br />kesehatan indera penglihatan, dan pendengaran
<br />masyarakat.
<br />(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan masyarakat.
<br />Pasal 96
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan gangguan
<br />penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan
<br />Menteri.
<br />Bagian Keempat Belas . . .
<br />- 37 -
<br />Bagian Keempat Belas
<br />Kesehatan Matra
<br />Pasal 97
<br />(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya
<br />kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat
<br />kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan
<br />matra yang serba berubah maupun di lingkungan darat,
<br />laut, dan udara.
<br />(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan,
<br />kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan
<br />kedirgantaraan.
<br />(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan
<br />sesuai dengan standar dan persyaratan.
<br />(4) Ketentuan mengenai kesehatan matra sebagaimana
<br />dimaksud dalam pasal ini diatur dengan Peraturan
<br />Menteri.
<br />Bagian Kelima Belas
<br />Pengamanan dan Penggunaan
<br />Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
<br />Pasal 98
<br />(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
<br />berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
<br />(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
<br />kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
<br />mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan
<br />bahan yang berkhasiat obat.
<br />(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan,
<br />pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan
<br />alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
<br />pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />(4) Pemerintah . . .
<br />- 38 -
<br />(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur,
<br />mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
<br />penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (3).
<br />Pasal 99
<br />(1) Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta
<br />dan sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan
<br />dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau perawatan,
<br />serta pemeliharaan kesehatan tetap harus dijaga
<br />kelestariannya.
<br />(2) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
<br />untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
<br />mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
<br />sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
<br />manfaat dan keamanannya.
<br />(3) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
<br />sediaan farmasi.
<br />Pasal 100
<br />(1) Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat
<br />dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan,
<br />perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap
<br />dijaga kelestariannya.
<br />(2) Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan
<br />bahan baku obat tradisional .
<br />Pasal 101
<br />(1) Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
<br />untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
<br />mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat
<br />tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat
<br />dan keamanannya.
<br />(2) Ketentuan . . .
<br />- 39 -
<br />(2) Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi,
<br />mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
<br />menggunakan obat tradisional diatur dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />Pasal 102
<br />(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan
<br />psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
<br />dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
<br />disalahgunakan.
<br />(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
<br />dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Pasal 103
<br />(1) Setiap orang yang memproduksi, menyimpan,
<br />mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
<br />psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau
<br />persyaratan tertentu.
<br />(2) Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan, peredaran,
<br />serta penggunaan narkotika dan psikotropika
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
<br />sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
<br />Pasal 104
<br />(1) Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
<br />diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari
<br />bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan
<br />farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
<br />persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
<br />khasiat/kemanfaatan.
<br />(2) Penggunaan obat dan obat tradisional harus dilakukan
<br />secara rasional.
<br />Pasal 105 . . .
<br />- 40 -
<br />Pasal 105
<br />(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat
<br />harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku
<br />standar lainnya.
<br />(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan
<br />kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar
<br />dan/atau persyaratan yang ditentukan.
<br />Pasal 106
<br />(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
<br />diedarkan setelah mendapat izin edar.
<br />(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
<br />kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan
<br />kelengkapan serta tidak menyesatkan.
<br />(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
<br />memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
<br />farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin
<br />edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
<br />persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
<br />kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
<br />dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 107
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi
<br />dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 108
<br />(1) Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
<br />termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
<br />pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
<br />pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
<br />pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
<br />bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
<br />tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
<br />kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />(2) Ketentuan . . .
<br />- 41 -
<br />(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
<br />Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Keenam Belas
<br />Pengamanan Makanan dan Minuman
<br />Pasal 109
<br />Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi,
<br />mengolah, serta mendistribusikan makanan dan minuman
<br />yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
<br />teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin
<br />agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia, dan
<br />lingkungan.
<br />Pasal 110
<br />Setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
<br />mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau
<br />yang diperlakukan sebagai makanan dan minuman hasil
<br />olahan teknologi dilarang menggunakan kata-kata yang
<br />mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat
<br />dibuktikan kebenarannya.
<br />Pasal 111
<br />(1) Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk
<br />masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau
<br />persyaratan kesehatan.
<br />(2) Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah
<br />mendapat izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />(3) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib
<br />diberi tanda atau label yang berisi:
<br />a. Nama produk;
<br />b. Daftar bahan yang digunakan;
<br />c. Berat bersih atau isi bersih;
<br />d. Nama . . .
<br />- 42 -
<br />d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
<br />memasukan makanan dan minuman kedalam
<br />wilayah Indonesia; dan
<br />e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa.
<br />(4) Pemberian tanda atau label sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) harus dilakukan secara benar dan akurat.
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
<br />label sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
<br />sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
<br />(6) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan
<br />standar, persyaratan kesehatan, dan/atau
<br />membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari
<br />peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
<br />dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Pasal 112
<br />Pemerintah berwenang dan bertanggung jawab mengatur dan
<br />mengawasi produksi, pengolahan, pendistribusian makanan,
<br />dan minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109,
<br />Pasal 110, dan Pasal 111.
<br />Bagian Ketujuh Belas
<br />Pengamanan Zat Adiktif
<br />Pasal 113
<br />(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat
<br />adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan
<br />membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga,
<br />masyarakat, dan lingkungan.
<br />(2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
<br />tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat,
<br />cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
<br />penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
<br />dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.
<br />(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang
<br />mengandung zat adiktif harus memenuhi standar
<br />dan/atau persyaratan yang ditetapkan.
<br />Pasal 114 . . .
<br />- 43 -
<br />Pasal 114
<br />Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke
<br />wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan.
<br />Pasal 115
<br />(1) Kawasan tanpa rokok antara lain:
<br />a. fasilitas pelayanan kesehatan;
<br />b. tempat proses belajar mengajar;
<br />c. tempat anak bermain;
<br />d. tempat ibadah;
<br />e. angkutan umum;
<br />f. tempat kerja; dan
<br />g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
<br />(2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa
<br />rokok di wilayahnya.
<br />Pasal 116
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan bahan yang
<br />mengandung zat adiktif ditetapkan dengan Peraturan
<br />Pemerintah.
<br />Bagian Kedelapan Belas
<br />Bedah Mayat
<br />Pasal 117
<br />Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantungsirkulasi
<br />dan sistem pernafasan terbukti telah berhenti secara
<br />permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat
<br />dibuktikan.
<br />Pasal 118
<br />(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya
<br />identifikasi.
<br />(2) Pemerintah . . .
<br />- 44 -
<br />(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />bertanggung jawab atas upaya identifikasi sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1).
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya identifikasi
<br />mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
<br />dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 119
<br />(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan
<br />pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat
<br />klinis di rumah sakit.
<br />(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau
<br />menyimpulkan penyebab kematian.
<br />(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa
<br />hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat
<br />pasien.
<br />(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang
<br />membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis
<br />mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis
<br />dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan
<br />persetujuan.
<br />Pasal 120
<br />(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu
<br />kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat
<br />anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
<br />pendidikan kedokteran.
<br />(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang
<br />tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh
<br />keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut
<br />semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.
<br />(3) Mayat . . .
<br />- 45 -
<br />(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah
<br />diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya,
<br />dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak
<br />kematiannya.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
<br />ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 121
<br />(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya
<br />dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan
<br />kewenangannya.
<br />(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis dan
<br />bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak
<br />pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada
<br />penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 122
<br />(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan
<br />bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh
<br />dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan
<br />perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya
<br />tidak dimungkinkan.
<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
<br />atas tersedianya pelayanan bedah mayat forensik di
<br />wilayahnya.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah
<br />mayat forensik diatur dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 123 . . .
<br />- 46 -
<br />Pasal 123
<br />(1) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otak dapat
<br />dilakukan tindakan pemanfaatan organ sebagai donor
<br />untuk kepentingan transplantasi organ.
<br />(2) Tindakan pemanfaatan organ donor sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan kematian
<br />dan pemanfaatan organ donor sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
<br />Menteri.
<br />Pasal 124
<br />Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
<br />sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika
<br />profesi.
<br />Pasal 125
<br />Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana
<br />dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum
<br />ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD.
<br />
<br />BAB VII
<br />KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK,
<br />REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT
<br />Bagian Kesatu
<br />Kesehatan ibu, bayi, dan anak
<br />Pasal 126
<br />(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga
<br />kesehatan ibu sehingga mampu melahirkan generasi
<br />yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
<br />kematian ibu.
<br />(2) Upaya . . .
<br />- 47 -
<br />(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan
<br />rehabilitatif.
<br />(3) Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat
<br />dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
<br />ibu secara aman, bermutu, dan terjangkau.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan
<br />ibu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 127
<br />(1) Upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
<br />dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
<br />ketentuan:
<br />a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri
<br />yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri
<br />dari mana ovum berasal;
<br />b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
<br />keahlian dan kewenangan untuk itu; dan
<br />c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
<br />(2) Ketentuan mengenai persyaratan kehamilan di luar cara
<br />alamiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
<br />dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 128
<br />(1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu
<br />eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan,
<br />kecuali atas indikasi medis.
<br />(2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga,
<br />Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
<br />penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
<br />(3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat
<br />sarana umum.
<br />Pasal 129 . . .
<br />- 48 -
<br />Pasal 129
<br />(1) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan kebijakan
<br />dalam rangka menjamin hak bayi untuk mendapatkan
<br />air susu ibu secara eksklusif.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 130
<br />Pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada
<br />setiap bayi dan anak.
<br />Pasal 131
<br />(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak harus
<br />ditujukan untuk mempersiapkan generasi yang akan
<br />datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk
<br />menurunkan angka kematian bayi dan anak.
<br />(2) Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak
<br />anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah
<br />dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
<br />(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
<br />menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bagi
<br />orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah, dan
<br />pemerintah daerah.
<br />Pasal 132
<br />(1) Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh
<br />secara bertanggung jawab sehingga memungkinkan anak
<br />tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal.
<br />(2) Ketentuan mengenai anak yang dilahirkan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />(3) Setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai
<br />dengan ketentuan yang berlaku untuk mencegah
<br />terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui
<br />imunisasi.
<br />(4) Ketentuan . . .
<br />- 49 -
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis-jenis imunisasi
<br />dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
<br />dengan Peraturan Menteri.
<br />Pasal 133
<br />(1) Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar
<br />dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan
<br />yang dapat mengganggu kesehatannya.
<br />(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />berkewajiban untuk menjamin terselenggaranya
<br />perlindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dan menyediakan pelayanan kesehatan
<br />sesuai dengan kebutuhan.
<br />Pasal 134
<br />(1) Pemerintah berkewajiban menetapkan standar dan/atau
<br />kriteria terhadap kesehatan bayi dan anak serta
<br />menjamin pelaksanaannya dan memudahkan setiap
<br />penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria tersebut.
<br />(2) Standar dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) harus diselenggarakan sesuai dengan
<br />pertimbangan moral, nilai agama, dan berdasarkan
<br />ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 135
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
<br />menyediakan tempat dan sarana lain yang diperlukan
<br />untuk bermain anak yang memungkinkan anak tumbuh
<br />dan berkembang secara optimal serta mampu
<br />bersosialisasi secara sehat.
<br />(2) Tempat bermain dan sarana lain yang diperlukan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi
<br />sarana perlindungan terhadap risiko kesehatan agar
<br />tidak membahayakan kesehatan anak.
<br />Bagian Kedua . . .
<br />- 50 -
<br />Bagian Kedua
<br />Kesehatan Remaja
<br />Pasal 136
<br />(1) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja harus ditujukan
<br />untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat
<br />dan produktif, baik sosial maupun ekonomi.
<br />(2) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) termasuk untuk reproduksi
<br />remaja dilakukan agar terbebas dari berbagai gangguan
<br />kesehatan yang dapat menghambat kemampuan
<br />menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.
<br />(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan masyarakat.
<br />Pasal 137
<br />(1) Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat
<br />memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai
<br />kesehatan remaja agar mampu hidup sehat dan
<br />bertanggung jawab.
<br />(2) Ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah dalam
<br />menjamin agar remaja memperoleh edukasi, informasi
<br />dan layanan mengenai kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
<br />pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan
<br />ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Bagian Ketiga
<br />Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat
<br />Pasal 138
<br />(1) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus
<br />ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
<br />produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan
<br />martabat kemanusiaan.
<br />(2) Pemerintah . . .
<br />- 51 -
<br />(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
<br />pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut
<br />usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
<br />secara sosial dan ekonomis.
<br />Pasal 139
<br />(1) Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus
<br />ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
<br />produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.
<br />(2) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas
<br />pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang
<br />cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif
<br />secara sosial dan ekonomis.
<br />Pasal 140
<br />Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan
<br />penyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138
<br />dan Pasal 139 dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
<br />dan/atau masyarakat.
<br />BAB VIII
<br />GIZI
<br />Pasal 141
<br />(1) Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk
<br />peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
<br />(2) Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilakukan melalui :
<br />a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai
<br />dengan gizi seimbang;
<br />b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan
<br />kesehatan;
<br />c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang
<br />sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
<br />d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
<br />(3) Pemerintah . . .
<br />- 52 -
<br />(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
<br />bersama-sama menjamin tersedianya bahan makanan
<br />yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan
<br />terjangkau.
<br />(4) Pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan makanan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi standar
<br />mutu gizi yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan.
<br />(5) Penyediaan bahan makanan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dilakukan secara lintas sektor dan
<br />antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
<br />Pasal 142
<br />(1) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus
<br />kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut
<br />usia dengan prioritas kepada kelompok rawan:
<br />a. bayi dan balita;
<br />b. remaja perempuan; dan
<br />c. ibu hamil dan menyusui.
<br />(2) Pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar
<br />angka kecukupan gizi, standar pelayanan gizi, dan
<br />standar tenaga gizi pada berbagai tingkat pelayanan.
<br />(3) Pemerintah bertanggung jawab atas pemenuhan
<br />kecukupan gizi pada keluarga miskin dan dalam situasi
<br />darurat.
<br />(4) Pemerintah bertanggung jawab terhadap pendidikan dan
<br />informasi yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
<br />(5) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />melakukan upaya untuk mencapai status gizi yang baik.
<br />Pasal 143
<br />Pemerintah bertanggung jawab meningkatkan pengetahuan
<br />dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan
<br />pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi.
<br />BAB IX . . .
<br />- 53 -
<br />
<br />BAB IX
<br />KESEHATAN JIWA
<br />Pasal 144
<br />(1) Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap
<br />orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
<br />bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
<br />dapat mengganggu kesehatan jiwa.
<br />(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif,
<br />rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
<br />psikososial.
<br />(3) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) menjadi tanggung jawab bersama Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, dan masyarakat.
<br />(4) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa
<br />yang setinggi-tingginya dan menjamin ketersediaan,
<br />aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan
<br />jiwa sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2).
<br />(5) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk
<br />mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis
<br />masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa
<br />keseluruhan, termasuk mempermudah akses
<br />masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
<br />Pasal 145
<br />Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
<br />upaya kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan
<br />rehabilitatif, termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di
<br />tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (3).
<br />Pasal 146 . . .
<br />- 54 -
<br />Pasal 146
<br />(1) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi
<br />yang benar mengenai kesehatan jiwa.
<br />(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
<br />untuk menghindari pelanggaran hak asasi seseorang
<br />yang dianggap mengalami gangguan kesehatan jiwa.
<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban
<br />menyediakan layanan informasi dan edukasi tentang
<br />kesehatan jiwa.
<br />Pasal 147
<br />(1) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa
<br />merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah
<br />daerah dan masyarakat.
<br />(2) Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
<br />berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
<br />menghormati hak asasi penderita.
<br />(3) Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa,
<br />digunakan fasilitas pelayanan kesehatan khusus yang
<br />memenuhi syarat dan yang sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 148
<br />(1) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama
<br />sebagai warga negara.
<br />(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
<br />persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan,
<br />kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan
<br />lain.
<br />Pasal 149 . . .
<br />- 55 -
<br />Pasal 149
<br />(1) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
<br />mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain,
<br />dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan
<br />umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di
<br />fasilitas pelayanan kesehatan.
<br />(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat wajib
<br />melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas
<br />pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang
<br />terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan
<br />dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu
<br />ketertiban dan/atau keamanan umum.
<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
<br />atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan
<br />kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif
<br />masyarakat.
<br />(4) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk
<br />pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
<br />gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
<br />Pasal 150
<br />(1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan
<br />penegakan hukum (visum et repertum psikiatricum)
<br />hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran
<br />jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
<br />(2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang
<br />diduga mengalami gangguan kesehatan jiwa dilakukan
<br />oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan
<br />kompetensi sesuai dengan standar profesi.
<br />Pasal 151
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur
<br />dengan Peraturan Pemerintah.
<br />BAB X . . .
<br />- 56 -
<br />
<br />BAB X
<br />PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR
<br />Bagian Kesatu
<br />Penyakit Menular
<br />Pasal 152
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
<br />bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan,
<br />pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular
<br />serta akibat yang ditimbulkannya.
<br />(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan
<br />penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan untuk melindungi masyarakat dari
<br />tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit,
<br />cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk
<br />mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit
<br />menular.
<br />(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan
<br />penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif,
<br />dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
<br />(4) Pengendalian sumber penyakit menular sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap lingkungan
<br />dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.
<br />(5) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilaksanakan dengan harus berbasis wilayah.
<br />(6) Pelaksanaan upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
<br />dilakukan melalui lintas sektor.
<br />(7) Dalam melaksanakan upaya sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
<br />dengan negara lain.
<br />(8) Upaya . . .
<br />- 57 -
<br />(8) Upaya pencegahan pengendalian, dan pemberantasan
<br />penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Pasal 153
<br />Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang
<br />aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi
<br />masyarakat untuk upaya pengendalian penyakit menular
<br />melalui imunisasi.
<br />Pasal 154
<br />(1) Pemerintah secara berkala menetapkan dan
<br />mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
<br />berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
<br />yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
<br />menjadi sumber penularan.
<br />(2) Pemerintah dapat melakukan surveilans terhadap
<br />penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
<br />(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan kerja sama
<br />dengan masyarakat dan negara lain.
<br />(4) Pemerintah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
<br />karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
<br />Pasal 155
<br />(1) Pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan
<br />mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
<br />berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
<br />yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
<br />menjadi sumber penularan.
<br />(2) Pemerintah daerah dapat melakukan surveilans
<br />terhadap penyakit menular sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1).
<br />(3) Dalam . . .
<br />- 58 -
<br />(3) Dalam melaksanakan surveilans sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2), pemerintah daerah dapat melakukan kerja
<br />sama dengan masyarakat.
<br />(4) Pemerintah daerah menetapkan jenis penyakit yang
<br />memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
<br />karantina.
<br />(5) Pemerintah daerah dalam menetapkan dan
<br />mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang
<br />berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu
<br />singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan
<br />jenis penyakit yang memerlukan karantina, tempat
<br />karantina, dan lama karantina berpedoman pada
<br />ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
<br />Pasal 156
<br />(1) Dalam melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian,
<br />dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1), Pemerintah dapat
<br />menyatakan wilayah dalam keadaan wabah, letusan,
<br />atau kejadian luar biasa (KLB).
<br />(2) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
<br />kejadian luar biasa (KLB) sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) harus dilakukan berdasarkan hasil penelitian
<br />yang diakui keakuratannya.
<br />(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
<br />melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah,
<br />letusan, atau kejadian luar biasa sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2).
<br />(4) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau
<br />kejadian luar biasa dan upaya penanggulangan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3),
<br />dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Pasal 157 . . .
<br />- 59 -
<br />Pasal 157
<br />(1) Pencegahan penularan penyakit menular wajib
<br />dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita penyakit
<br />menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat.
<br />(2) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular,
<br />tenaga kesehatan yang berwenang dapat memeriksa
<br />tempat-tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan
<br />sumber penyakit lain.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyakit menular
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Bagian Kedua
<br />Penyakit Tidak Menular
<br />Pasal 158
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
<br />melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
<br />penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang
<br />ditimbulkannya.
<br />(2) Upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
<br />meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan
<br />berperilaku sehat dan mencegah terjadinya penyakit
<br />tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan.
<br />(3) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan
<br />penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif,
<br />kuratif, dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
<br />(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
<br />ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
<br />ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 159 . . .
<br />- 60 -
<br />Pasal 159
<br />(1) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan
<br />pendekatan surveilan faktor risiko, registri penyakit, dan
<br />surveilan kematian.
<br />(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
<br />memperoleh informasi yang esensial serta dapat
<br />digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
<br />pengendalian penyakit tidak menular.
<br />(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
<br />melalui kerja sama lintas sektor dan dengan membentuk
<br />jejaring, baik nasional maupun internasional.
<br />Pasal 160
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah bersama masyarakat
<br />bertanggung jawab untuk melakukan komunikasi,
<br />informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor risiko
<br />penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase
<br />kehidupan.
<br />(2) Faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
<br />lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik,
<br />merokok, mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalu
<br />lintas yang tidak benar.
<br />Pasal 161
<br />(1) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular
<br />meliputi keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif,
<br />preventif, kuratif dan rehabilitatif.
<br />(2) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dikelola secara profesional sehingga pelayanan
<br />kesehatan penyakit tidak menular tersedia, dapat
<br />diterima, mudah dicapai, berkualitas dan terjangkau
<br />oleh masyarakat.
<br />(3) Manajemen pelayanan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dititikberatkan pada deteksi dini dan pengobatan
<br />penyakit tidak menular.
<br />BAB XI . . .
<br />- 61 -
<br />
<br />BAB XI
<br />KESEHATAN LINGKUNGAN
<br />Pasal 162
<br />Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan
<br />kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi,
<br />maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai
<br />derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
<br />Pasal 163
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
<br />menjamin ketersediaan lingkungan yang sehat dan tidak
<br />mempunyai risiko buruk bagi kesehatan.
<br />(2) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />mencakup lingkungan permukiman, tempat kerja,
<br />tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
<br />(3) Lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
<br />bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan
<br />kesehatan, antara lain:
<br />a. limbah cair;
<br />b. limbah padat;
<br />c. limbah gas;
<br />d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan
<br />persyaratan yang ditetapkan pemerintah;
<br />e. binatang pembawa penyakit;
<br />f. zat kimia yang berbahaya;
<br />g. kebisingan yang melebihi ambang batas;
<br />h. radiasi sinar pengion dan non pengion;
<br />i. air yang tercemar;
<br />j. udara yang tercemar; dan
<br />k. makanan yang terkontaminasi.
<br />(4) Ketentuan . . .
<br />- 62 -
<br />(4) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan
<br />lingkungan dan proses pengolahan limbah sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan
<br />Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />BAB XII
<br />KESEHATAN KERJA
<br />Pasal 164
<br />(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi
<br />pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan
<br />kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
<br />pekerjaan.
<br />(2) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
<br />(3) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang
<br />berada di lingkungan tempat kerja.
<br />(4) Upaya kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi kesehatan pada
<br />lingkungan tentara nasional Indonesia baik darat, laut,
<br />maupun udara serta kepolisian Republik Indonesia.
<br />(5) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
<br />(6) Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan
<br />kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
<br />menjamin lingkungan kerja yang sehat serta
<br />bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja.
<br />(7) Pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas
<br />kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai
<br />dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 165 . . .
<br />- 63 -
<br />Pasal 165
<br />(1) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk
<br />upaya kesehatan melalui upaya pencegahan,
<br />peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga
<br />kerja.
<br />(2) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan
<br />tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan yang
<br />berlaku di tempat kerja.
<br />(3) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada
<br />perusahaan/instansi, hasil pemeriksaan kesehatan
<br />secara fisik dan mental digunakan sebagai bahan
<br />pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
<br />(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
<br />dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 166
<br />(1) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan
<br />pekerja melalui upaya pencegahan, peningkatan,
<br />pengobatan dan pemulihan serta wajib menanggung
<br />seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja.
<br />(2) Majikan atau pengusaha menanggung biaya atas
<br />gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh
<br />pekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
<br />(3) Pemerintah memberikan dorongan dan bantuan untuk
<br />perlindungan pekerja sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dan ayat (2).
<br />BAB XIII . . .
<br />- 64 -
<br />
<br />BAB XIII
<br />PENGELOLAAN KESEHATAN
<br />Pasal 167
<br />(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
<br />Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat
<br />melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi
<br />kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan,
<br />pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan
<br />masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
<br />kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara
<br />terpadu dan saling mendukung guna menjamin
<br />tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
<br />(2) Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di
<br />pusat dan daerah.
<br />(3) Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional.
<br />(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
<br />dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
<br />
<br />BAB XIV
<br />INFORMASI KESEHATAN
<br />Pasal 168
<br />(1) Untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang efektif
<br />dan efisien diperlukan informasi kesehatan.
<br />(2) Informasi kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi dan melalui
<br />lintas sektor.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
<br />Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 169 . . .
<br />- 65 -
<br />Pasal 169
<br />Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat
<br />untuk memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam
<br />upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
<br />
<br />BAB XV
<br />PEMBIAYAAN KESEHATAN
<br />Pasal 170
<br />(1) Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan
<br />pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan
<br />jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
<br />termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna
<br />untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
<br />kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan
<br />masyarakat setinggi-tingginya.
<br />(2) Unsur-unsur pembiayaan kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sumber pembiayaan,
<br />alokasi, dan pemanfaatan.
<br />(3) Sumber pembiayaan kesehatan berasal dari Pemerintah,
<br />pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan sumber
<br />lain.
<br />Pasal 171
<br />(1) Besar anggaran kesehatan Pemerintah dialokasikan
<br />minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran
<br />pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
<br />(2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi,
<br />kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh
<br />persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di
<br />luar gaji.
<br />(3) Besaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk
<br />kepentingan pelayanan publik yang besarannya
<br />sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran
<br />kesehatan dalam anggaran pendapatan dan belanja
<br />negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
<br />Pasal 172 . . .
<br />- 66 -
<br />Pasal 172
<br />(1) Alokasi pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 171 ayat (3) ditujukan untuk pelayanan
<br />kesehatan di bidang pelayanan publ ik, terutama
<br />bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
<br />terlantar.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alokasi
<br />pembiayaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Pasal 173
<br />(1) Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari
<br />swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 ayat (3)
<br />dimobilisasi melalui sistem jaminan sosial nasional
<br />dan/atau asuransi kesehatan komersial.
<br />(2) Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan sistem
<br />jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan
<br />komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />
<br />BAB XVI
<br />PERAN SERTA MASYARAKAT
<br />Pasal 174
<br />(1) Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan
<br />maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan
<br />pembangunan kesehatan dalam rangka membantu
<br />mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat
<br />yang setinggi-tingginya.
<br />(2) Peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.
<br />BAB XVII . . .
<br />- 67 -
<br />
<br />BAB XVII
<br />BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Nama dan Kedudukan
<br />Pasal 175
<br />Badan pertimbangan kesehatan merupakan badan
<br />independen, yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang di
<br />bidang kesehatan.
<br />Pasal 176
<br />(1) Badan pertimbangan kesehatan berkedudukan di Pusat
<br />dan daerah.
<br />(2) Badan pertimbangan kesehatan pusat dinamakan Badan
<br />Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat
<br />BPKN berkedudukan di ibukota Negara Republik
<br />Indonesia.
<br />(3) Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya
<br />disingkat BPKD berkedudukan di provinsi dan
<br />kabupaten/kota.
<br />(4) Kedudukan BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2) dan ayat (3) berada sampai pada tingkat
<br />kecamatan.
<br />Bagian Kedua
<br />Peran, Tugas, dan Wewenang
<br />Pasal 177
<br />(1) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
<br />masyarakat dalam bidang kesehatan sesuai dengan
<br />lingkup tugas masing-masing.
<br />(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
<br />a. menginventarisasi masalah melalui penelaahan
<br />terhadap berbagai informasi dan data yang relevan
<br />atau berpengaruh terhadap proses pembangunan
<br />kesehatan;
<br />b. memberikan . . .
<br />- 68 -
<br />b. memberikan masukan kepada pemerintah tentang
<br />sasaran pembangunan kesehatan selama kurun
<br />waktu 5 (lima) tahun;
<br />c. menyusun strategi pencapaian dan prioritas
<br />kegiatan pembangunan kesehatan;
<br />d. memberikan masukan kepada pemerintah dalam
<br />pengidentifikasi dan penggerakan sumber daya
<br />untuk pembangunan kesehatan;
<br />e. melakukan advokasi tentang alokasi dan
<br />penggunaan dana dari semua sumber agar
<br />pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan
<br />strategi yang ditetapkan;
<br />f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
<br />pembangunan kesehatan; dan
<br />g. merumuskan dan mengusulkan tindakan korektif
<br />yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan
<br />pembangunan kesehatan yang menyimpang.
<br />(3) BPKN dan BPKD berperan membantu pemerintah dan
<br />masyarakat dalam bidang kesehatan.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, susunan
<br />organisasi dan pembiayaan BPKN dan BPKD
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
<br />Peraturan Presiden.
<br />
<br />BAB XVIII
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Pembinaan
<br />Pasal 178
<br />Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan
<br />terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara
<br />kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di
<br />bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
<br />Pasal 179 . . .
<br />- 69 -
<br />Pasal 179
<br />(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178
<br />diarahkan untuk:
<br />a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam
<br />memperoleh akses atas sumber daya di bidang
<br />kesehatan;
<br />b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan
<br />upaya kesehatan;
<br />c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas
<br />kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
<br />d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk
<br />mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk
<br />sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan
<br />dan minuman;
<br />e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan
<br />standar dan persyaratan;
<br />f. melindungi masyarakat terhadap segala
<br />kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi
<br />kesehatan.
<br />(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilaksanakan melalui:
<br />a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan
<br />masyarakat;
<br />b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
<br />c. pembiayaan.
<br />Pasal 180
<br />Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dan pemerintah daerah,
<br />dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan
<br />yang telah berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan
<br />kesehatan.
<br />Pasal 181
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Bagian Kedua . . .
<br />- 70 -
<br />Bagian Kedua
<br />Pengawasan
<br />Pasal 182
<br />(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat
<br />dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan
<br />dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
<br />kesehatan.
<br />(2) Menteri dalam melakukan pengawasan dapat
<br />memberikan izin terhadap setiap penyelengaraan upaya
<br />kesehatan.
<br />(3) Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat
<br />mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non
<br />kementerian, kepala dinas di provinsi, dan
<br />kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
<br />bidang kesehatan.
<br />(4) Menteri dalam melaksanakan pengawasan
<br />mengikutsertakan masyarakat.
<br />Pasal 183
<br />Menteri atau kepala dinas sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat
<br />tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan
<br />pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan
<br />dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya
<br />kesehatan.
<br />Pasal 184
<br />Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 183, tenaga pengawas mempunyai fungsi:
<br />a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
<br />kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan
<br />upaya kesehatan;
<br />b. memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan
<br />dan fasilitas kesehatan.
<br />Pasal 185 . . .
<br />- 71 -
<br />Pasal 185
<br />Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat
<br />dilakukannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai
<br />hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas
<br />yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal
<br />dan surat perintah pemeriksaan.
<br />Pasal 186
<br />Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau
<br />patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan,
<br />tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai
<br />dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />Pasal 187
<br />Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur dengan
<br />Peraturan Menteri.
<br />Pasal 188
<br />(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif
<br />terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
<br />kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana
<br />diatur dalam Undang-Undang ini.
<br />(2) Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah
<br />nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau
<br />kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di
<br />bidang kesehatan.
<br />(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) dapat berupa:
<br />a. peringatan secara tertulis;
<br />b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan
<br />tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini
<br />diatur oleh Menteri.
<br />BAB XIX . . .
<br />- 72 -
<br />
<br />BAB XIX
<br />PENYIDIKAN
<br />Pasal 189
<br />(1) Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada
<br />pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
<br />pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang
<br />kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai
<br />penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
<br />Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
<br />untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
<br />kesehatan.
<br />(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />berwenang:
<br />a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan
<br />serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
<br />kesehatan;
<br />b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga
<br />melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang
<br />atau badan hukum sehubungan dengan tindak
<br />pidana di bidang kesehatan;
<br />d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau
<br />dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
<br />kesehatan;
<br />e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau
<br />barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
<br />kesehatan;
<br />f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
<br />tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
<br />cukup bukti yang membuktikan adanya tindak
<br />pidana di bidang kesehatan.
<br />(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
<br />dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan ketentuan
<br />Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
<br />BAB XX . . .
<br />- 73 -
<br />
<br />BAB XX
<br />KETENTUAN PIDANA
<br />Pasal 190
<br />(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
<br />kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada
<br />fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
<br />memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang
<br />dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
<br />dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
<br />denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
<br />rupiah).
<br />(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
<br />kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
<br />dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan
<br />pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
<br />denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
<br />rupiah).
<br />Pasal 191
<br />Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan
<br />kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
<br />mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau
<br />kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
<br />tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
<br />juta rupiah).
<br />Pasal 192
<br />Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ
<br />atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
<br />penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
<br />banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
<br />Pasal 193 . . .
<br />- 74 -
<br />Pasal 193
<br />Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik
<br />dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang
<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan
<br />pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
<br />paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
<br />Pasal 194
<br />Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak
<br />sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
<br />75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
<br />(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
<br />(satu miliar rupiah).
<br />Pasal 195
<br />Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah
<br />dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
<br />Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
<br />tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
<br />juta rupiah).
<br />Pasal 196
<br />Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
<br />mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
<br />tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
<br />khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
<br />penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
<br />banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
<br />Pasal 197
<br />Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
<br />mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang
<br />tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
<br />106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
<br />(lima belas) tahun dan denda paling banyak
<br />Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
<br />Pasal 198 . . .
<br />- 75 -
<br />Pasal 198
<br />Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
<br />untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak
<br />Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
<br />Pasal 199
<br />(1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
<br />memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan
<br />Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan
<br />peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling
<br />lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak
<br />Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
<br />(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan
<br />tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115
<br />dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima
<br />puluh juta rupiah).
<br />Pasal 200
<br />Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program
<br />pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu)
<br />tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
<br />juta rupiah)
<br />Pasal 201
<br />(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196,
<br />Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200
<br />dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan
<br />denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
<br />dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
<br />dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1),
<br />Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,
<br />Pasal 199, dan Pasal 200.
<br />(2) Selain . . .
<br />- 76 -
<br />(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
<br />berupa:
<br />a. pencabutan izin usaha; dan/atau
<br />b. pencabutan status badan hukum.
<br />BAB XXI
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />Pasal 202
<br />Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang-
<br />Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak
<br />tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
<br />Pasal 203
<br />Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan
<br />pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
<br />bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
<br />BAB XXII
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />Pasal 204
<br />Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang
<br />Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
<br />Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
<br />Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan
<br />dinyatakan tidak berlaku.
<br />Pasal 205
<br />Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
<br />Agar . . .
<br />- 77 -
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
<br />pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
<br />dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
<br />Disahkan di Jakarta
<br />pada tanggal 13 Oktober 200913
<br />Oktober 2009
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
<br />ttd.
<br />DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
<br />Diundangkan di Jakarta
<br />pada tanggal 13 Oktober 200913 Oktober 2009
<br />MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
<br />REPUBLIK INDONESIA,
<br />ttd.
<br />ANDI MATTALATTA
<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 144144
<br />Salinan sesuai dengan aslinya
<br />SEKRETARIAT NEGARA RI
<br />Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
<br />Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
<br />Wisnu Setiawan
<br />
<br />PENJELASAN
<br />ATAS
<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR 36 TAHUN 2009
<br />TENTANG
<br />KESEHATAN
<br />I. UMUM
<br />Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita
<br />bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa
<br />Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa
<br />Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan
<br />kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
<br />melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian
<br />abadi serta keadilan sosial.
<br />Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya
<br />pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian
<br />pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya
<br />pembangunan kesehatan.
<br />Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
<br />kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa
<br />Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-
<br />Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
<br />Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat
<br />kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan
<br />prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang
<br />sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
<br />peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan
<br />nasional.
<br />Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada
<br />mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsurangsur
<br />berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh
<br />masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang
<br />mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat
<br />menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Perkembangan ini tertuang ke
<br />dalam . . .
<br />- 2 -
<br />dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) pada tahun 1982 yang selanjutnya
<br />disebutkan kedalam GBHN 1983 dan GBHN 1988 sebagai tatanan untuk
<br />melaksanakan pembangunan kesehatan.
<br />Selain itu, perkembangan teknologi kesehatan yang berjalan seiring dengan
<br />munculnya fenomena globalisasi telah menyebabkan banyaknya perubahan
<br />yang sifat dan eksistensinya sangat berbeda jauh dari teks yang tercantum
<br />dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Pesatnya
<br />kemajuan teknologi kesehatan dan teknologi informasi dalam era global ini
<br />ternyata belum terakomodatif secara baik oleh Undang-Undang Nomor 23
<br />Tahun 1992 tentang Kesehatan.
<br />Perencanaan dan pembiayaan pembangunan kesehatan yang tidak sejiwa
<br />dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, yaitu menitikberatkan pada
<br />pengobatan (kuratif), menyebabkan pola pikir yang berkembang di
<br />masyarakat adalah bagaimana cara mengobati bila terkena penyakit. Hal itu
<br />tentu akan membutuhkan dana yang lebih besar bila dibandingkan dengan
<br />upaya pencegahan. Konsekuensinya, masyarakat akan selalu memandang
<br />persoalan pembiayaan kesehatan sebagai sesuatu yang bersifat
<br />konsumtif/pemborosan.
<br />Selain itu, sudut pandang para pengambil kebijakan juga masih belum
<br />menganggap kesehatan sebagai suatu kebutuhan utama dan investasi
<br />berharga di dalam menjalankan pembangunan sehingga alokasi dana
<br />kesehatan hingga kini masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan
<br />negara lain.
<br />Untuk itu, sudah saatnya kita melihat persoalan kesehatan sebagai suatu
<br />faktor utama dan investasi berharga yang pelaksanaannya didasarkan pada
<br />sebuah paradigma baru yang biasa dikenal dengan paradigma sehat, yakni
<br />paradigma kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif
<br />tanpa mengabaikan kuratif dan rehabilitatif.
<br />Dalam rangka implementasi paradigma sehat tersebut, dibutuhkan sebuah
<br />undang-undang yang berwawasan sehat, bukan undang-undang yang
<br />berwawasan sakit.
<br />Pada sisi lain, perkembangan ketatanegaraan bergeser dari sentralisasi
<br />menuju desentralisasi yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-
<br />Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
<br />telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
<br />tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2008
<br />tentang Pemerintahan Daerah.
<br />Undang-Undang . . .
<br />- 3 -
<br />Undang-Undang tersebut memuat ketentuan yang menyatakan bahwa
<br />bidang kesehatan sepenuhnya diserahkan kepada daerah masing-masing
<br />yang setiap daerah diberi kewenangan untuk mengelola dan
<br />menyelenggarakan seluruh aspek kesehatan.
<br />Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32
<br />Tahun 2004, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
<br />Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan antara
<br />pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
<br />Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan perlu disesuaikan dengan semangat otonomi daerah.
<br />Oleh karena itu, perlu dibentuk kebijakan umum kesehatan yang dapat
<br />dilaksanakan oleh semua pihak dan sekaligus dapat menjawab tantangan
<br />era globalisasi dan dengan semakin kompleksnya permasalahan kesehatan
<br />dalam suatu Undang-Undang Kesehatan yang baru untuk menggantikan
<br />Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
<br />II. PASAL DEMI PASAL
<br />Pasal 1
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 2
<br />Pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang
<br />memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui
<br />upaya kesehatan sebagai berikut:
<br />(5) asas perikemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan
<br />harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada
<br />Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan
<br />agama dan bangsa.
<br />(6) asas keseimbangan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
<br />dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara
<br />fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.
<br />(7) asas manfaat berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
<br />memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan
<br />perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
<br />d. asas . . .
<br />- 4 -
<br />(8) asas pelindungan berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
<br />dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada
<br />pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
<br />(9) asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa
<br />pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban
<br />masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
<br />(10) asas keadilan berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus
<br />dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua
<br />lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
<br />(11) asas gender dan nondiskriminatif berarti bahwa pembangunan
<br />kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan
<br />laki-laki.
<br />(12) asas norma agama berarti pembangunan kesehatan harus
<br />memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama
<br />yang dianut masyarakat.
<br />Pasal 3
<br />Mewujudkan derajat kesehatan masyarakat adalah upaya untuk
<br />meningkatkan keadaan kesehatan yang lebih baik dari sebelumnya.
<br />Derajat kesehatan yang setinggi-tingginya mungkin dapat dicapai pada
<br />suatu saat sesuai dengan kondisi dan situasi serta kemampuan yang
<br />nyata dari setiap orang atau masyarakat.
<br />Upaya kesehatan harus selalu diusahakan peningkatannya secara terus
<br />menerus agar masyarakat yang sehat sebagai investasi dalam
<br />pembangunan dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
<br />Pasal 4
<br />Hak atas kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak untuk
<br />memperoleh pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan
<br />agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
<br />Pasal 5
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 6 . . .
<br />- 5 -
<br />Pasal 6
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 7
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 8
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 9
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 10
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 11
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 12
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 13
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 14
<br />Ayat (1)
<br />Agar upaya kesehatan berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah
<br />perlu merencanakan, mengatur, membina dan mengawasi
<br />penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun sumber dayanya secara
<br />serasi dan seimbang dengan melibatkan peran serta aktif
<br />masyarakat
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 15 . . .
<br />- 6 -
<br />Pasal 15
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 16
<br />Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang merata kepada
<br />masyarakat, diperlukan ketersediaan tenaga kesehatan yang merata
<br />dalam arti pendayagunaan dan penyebarannya harus merata ke seluruh
<br />wilayah sampai ke daerah terpencil sehingga memudahkan masyarakat
<br />dalam memperoleh layanan kesehatan.
<br />Pasal 17
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 18
<br />Peran serta aktif masyarakat dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
<br />perlu digerakkan dan diarahkan agar dapat berdaya guna dan berhasil
<br />guna.
<br />Pasal 19
<br />Untuk melaksanakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh
<br />masyarakat diperlukan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan di
<br />seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah dijangkau oleh
<br />seluruh masyarakat.
<br />Pasal 20
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 21
<br />Ayat (1)
<br />Pada prinsipnya perencanaan, pengadaan, pendayagunaan,
<br />pembinaan dan pengawasan mutu tenaga kesehatan ditujukan
<br />kepada seluruh tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan upaya
<br />kesehatan. Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan
<br />keahlian dan kualifikasi yang dimiliki, antara lain meliputi tenaga
<br />medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan
<br />masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik,
<br />tenaga keteknisian medis, dan tenaga kesehatan lainnya.
<br />Ayat (2) . . .
<br />- 7 -
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Pengaturan tenaga kesehatan di dalam undang-undang adalah
<br />tenaga kesehatan di luar tenaga medis.
<br />Pasal 22
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 23
<br />Ayat (1)
<br />Kewenangan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kewenangan
<br />yang diberikan berdasarkan pendidikannya setelah melalui proses
<br />registrasi dan pemberian izin dari pemerintah sesuai dengan
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Selama memberikan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan harus
<br />mengutamakan indikasi medik dan tidak diskriminatif, demi
<br />kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi medis.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 24
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 25
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 26
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2) . . .
<br />- 8 -
<br />Ayat (2)
<br />Pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dimaksudkan
<br />agar memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengatur
<br />sendiri pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang
<br />diperlukan sesuai kebutuhan daerahnya dengan tetap mengacu
<br />pada peraturan perundang-undangan.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 27
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Kewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan
<br />keterampilan dimaksudkan agar tenaga kesehatan yang
<br />bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai
<br />dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 28
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 29
<br />Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan
<br />pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima
<br />pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk
<br />menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang
<br />disepakati oleh para pihak.
<br />Pasal 30 . . .
<br />- 9 -
<br />Pasal 30
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama
<br />adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
<br />kesehatan dasar.
<br />Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah
<br />pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
<br />kesehatan spesialistik.
<br />Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah
<br />pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan
<br />kesehatan sub spesialistik.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 31
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 32
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 33
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 34
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2) . . .
<br />- 10 -
<br />Ayat (2)
<br />Bagi tenaga kesehatan yang sedang menjalani proses belajar
<br />diberikan izin secara kolektif sesuai ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 35
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 36
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 37
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 38
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 39
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 40
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (6) . . .
<br />- 11 -
<br />Ayat (6)
<br />Yang dimaksud dengan “obat generik” adalah obat generik dengan
<br />menggunakan nama Internasional Non Propertery Name (INN).
<br />Ayat (7)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 41
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 42
<br />Ayat (1)
<br />Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
<br />kesehatan ditujukan untuk menghasilkan informasi kesehatan,
<br />teknologi, produk teknologi, dan teknologi informasi (TI) kesehatan
<br />untuk mendukung pembangunan kesehatan. Pengembangan
<br />teknologi, produk teknologi, teknologi informasi (TI) dan Informasi
<br />Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hak kekayaan
<br />intelektual (HKI). Untuk penelitian penyakit infeksi yang muncul
<br />baru atau berulang (new emerging atau re emerging diseases) yang
<br />dapat menyebabkan kepedulian kesehatan dan kedaruratan
<br />kesehatan masyarakat (public health emergency of international
<br />concern/PHEIC) harus dipertimbangkan kemanfaatan (benefit
<br />sharing) dan penelusuran ulang asal muasalnya (tracking system)
<br />demi untuk kepentingan nasional.
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud dengan “teknologi kesehatan” dalam ketentuan ini
<br />adalah cara, metode, proses, atau produk yang dihasilkan dari
<br />penerapan dan pemanfaatan disiplin ilmu pengetahuan di bidang
<br />kesehatan yang menghasilkan nilai bagi pemenuhan kebutuhan,
<br />kelangsungan, dan peningkatan mutu kehidupan manusia.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 43 . . .
<br />- 12 -
<br />Pasal 43
<br />Ayat (1)
<br />Kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi terdiri atas unsur
<br />perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, badan
<br />usaha, dan lembaga penunjang. Lembaga penelitian dan
<br />pengembangan kesehatan berfungsi menumbuhkan kemampuan
<br />pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 44
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan uji coba adalah bagian dari kegiatan
<br />penelitian dan pengembangan. Penelitian adalah kegiatan yang
<br />dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
<br />untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan
<br />dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
<br />ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu
<br />pengetahuan dan teknologi serta menarik simpulan ilmiah bagi
<br />keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
<br />Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi
<br />yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan
<br />yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi,
<br />manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
<br />ada atau menghasilkan teknologi baru.
<br />Ilmu pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali,
<br />disusun, dan dikembangkan secara sistematis dengan
<br />menggunakan pendekatan tertentu yang dilandasi oleh metodologi
<br />ilmiah, baik yang bersifat kuantitatif, kualitatif, maupun eksploratif
<br />untuk menerangkan pembuktian gejala alam dan/atau gejala
<br />kemasyarakatan tertentu.
<br />Ayat (2)
<br />Semua uji coba yang menggunakan manusia sebagai subjek uji
<br />coba wajib didasarkan pada tiga prinsip etik umum, yaitu
<br />menghormati harkat martabat manusia (respect for persons) yang
<br />bertujuan menghormati otonomi dan melindungi manusia yang
<br />otonominya terganggu/kurang, berbuat baik (beneficence) dan tidak
<br />merugikan (nonmaleficence) dan keadilan (justice).
<br />Ayat (3) . . .
<br />- 13 -
<br />Ayat (3)
<br />Uji coba pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan
<br />kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan. Penelitian dan
<br />pengembangan yang menggunakan manusia sebagai subjek harus
<br />mendapat informed consent. Sebelum meminta persetujuan subyek
<br />penelitian, peneliti harus memberikan informasi mengenai tujuan
<br />penelitian dan pengembangan kesehatan serta penggunaan
<br />hasilnya, jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi,
<br />metode yang digunakan, risiko yang mungkin timbul dan hal lain
<br />yang perlu diketahui oleh yang bersangkutan dalam rangka
<br />penelitian dan pengembangan kesehatan.
<br />Ayat (4)
<br />Hewan percobaan harus dipilih dengan mengutamakan
<br />hewan dengan sensitivitas neurofisiologik yang paling
<br />rendah (nonsentient organism) dan hewan yang paling rendah pada
<br />skala evolusi. Keberhati-hatian (caution) yang wajar harus
<br />diterapkan pada penelitian yang dapat mempengaruhi lingkungan
<br />dan kesehatan hewan yang digunakan dalam penelitian harus
<br />dihormati.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 45
<br />Ayat (1)
<br />Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini ditujukan bagi
<br />pengembangan teknologi dan/atau produk teknologi yang
<br />bertujuan untuk penyalahgunaan sebagai senjata dan/atau bahan
<br />senjata biologi, yang menimbulkan bahaya bagi keselamatan
<br />manusia, kelestarian fungsi lingkungan, kerukunan
<br />bermasyarakat, keselamatan bangsa, dan merugikan negara, serta
<br />membahayakan ketahanan nasional.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 46 . . .
<br />- 14 -
<br />Pasal 46
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 47
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 48
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 49
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 50
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 51
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 52
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 53
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 54
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 55
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 56
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 57
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 58 . . .
<br />- 15 -
<br />Pasal 58
<br />Ayat (1)
<br />Yang termasuk “kerugian” akibat pelayanan kesehatan termasuk
<br />didalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 59
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 60
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “penggunaan alat dan teknologi” dalam
<br />ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan
<br />pengobatan tradisional yang dilakukan.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 61
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 62
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 63
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 64
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 65 . . .
<br />- 16 -
<br />Pasal 65
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “fasilitas pelayanan kesehatan tertentu”
<br />dalam ketentuan ini adalah fasilitas yang ditetapkan oleh Menteri
<br />yang telah memenuhi persyaratan antara lain peralatan,
<br />ketenagaan dan penunjang lainnya untuk dapat melaksanakan
<br />transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 66
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 67
<br />Ayat (1)
<br />Pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh dilakukan dalam
<br />rangka penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan,
<br />pelayanan kesehatan, pendidikan serta kepentingan lainnya.
<br />Kepentingan lainnya adalah surveilans, investigasi Kejadian Luar
<br />Biasa (KLB), baku mutu keselamatan dan keamanan laboratorium
<br />kesehatan sebagai penentu diagnosis penyakit infeksi, upaya
<br />koleksi mikroorganisme, koleksi materi, dan data genetik dari
<br />pasien dan agen penyebab penyakit. Pengiriman ke luar negeri
<br />hanya dapat dilakukan apabila cara mencapai maksud dan tujuan
<br />pemeriksaan tidak mampu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
<br />maupun fasilitas pelayanan kesehatan atau lembaga penelitian dan
<br />pengembangan dalam negeri, maupun untuk kepentingan kendali
<br />mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi kemampuan standar
<br />diagnostik dan terapi oleh kelembagaan dimaksud. Pengiriman
<br />spesimen atau bagian organ tubuh dimaksud harus dilegkapi
<br />dengan Perjanjian Alih Material dan dokumen pendukung yang
<br />relevan.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 68 . . .
<br />- 17 -
<br />Pasal 68
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 69
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 70
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “sel punca” dalam ketentuan ini adalah sel
<br />dalam tubuh manusia dengan kemampuan istimewa yakni mampu
<br />memperbaharui atau meregenerasi dirinya dan mampu
<br />berdiferensiasi menjadi sel lain yang spesifik.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 71
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 72
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 73
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 74
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 75
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3) . . .
<br />- 18 -
<br />Ayat (3)
<br />Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah
<br />setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui
<br />pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah
<br />dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang
<br />yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 76
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 77
<br />Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak
<br />aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan
<br />dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang
<br />bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak
<br />profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang
<br />berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi
<br />dari pada indikasi medis.
<br />Pasal 78
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 79
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 80
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 81
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 82 . . .
<br />- 19 -
<br />Pasal 82
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “bencana” dalam ketentuan ini adalah
<br />peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
<br />mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
<br />disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
<br />maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
<br />korban manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
<br />dampak psikologis.
<br />Pemerintah harus memfasilitasi tersedianya sumber daya dan
<br />pelaksanaan pelayanan kesehatan pada prabencana, saat bencana
<br />dan pascabencana.
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud “tanggap darurat bencana” dalam ketentuan ini
<br />adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
<br />saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
<br />ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
<br />korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,
<br />pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
<br />dan sarana.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 83
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 84
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 85
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 86
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 87
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 88
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 89
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 90 . . .
<br />- 20 -
<br />Pasal 90
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Guna menjamin ketersediaan darah untuk pelayanan kesehatan,
<br />jaminan pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi
<br />kepada unit transfusi darah (UTD) yang bersumber dari anggaran
<br />pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan
<br />belanja daerah (APBD) dan bantuan lainnya.
<br />Ayat (3)
<br />Darah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah kepada setiap
<br />insan tidaklah sepantasnya dijadikan objek jual beli untuk mencari
<br />keuntungan, biarpun dengan dalih untuk menyambung hidup.
<br />Pasal 91
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “proses pengolahan” dalam ketentuan ini
<br />adalah pemisahan komponen darah menjadi plasma dan sel darah
<br />merah, sel darah putih dan sel pembeku darah yang dilakukan oleh
<br />UTD dan biaya pengolahan tersebut ditanggung oleh negara.
<br />Yang dimaksud dengan “proses produksi” dalam ketentuan ini
<br />adalah proses fraksionasi dimana dilakukan penguraian protein
<br />plasma menjadi antara lain albumin, globulin, faktor VIII dan
<br />faktor IX dilakukan oleh industri yang harganya dikendalikan oleh
<br />Pemerintah.
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud dengan “dikendalikan” dalam ketentuan ini
<br />termasuk harga hasil produksi yang bersumber dari pengolahan
<br />darah transfusi.
<br />Pasal 92
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 93
<br />Ayat (1)
<br />Lingkup masalah dari kesehatan gigi dan mulut ditinjau dari fase
<br />tumbuh kembang:
<br />a. Fase . . .
<br />- 21 -
<br />a. Fase janin;
<br />b. Ibu Hamil;
<br />c. Anak-anak;
<br />d. Remaja;
<br />e. Dewasa; dan
<br />f. Lanjut Usia.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 94
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 95
<br />Ayat (1)
<br />Pemerintah menggerakan pemberdayaan masyarakat untuk donor
<br />kornea dan operasi katarak dalam rangka mencegah kebutaan dan
<br />pendengaran.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 96
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 97
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “kesehatan matra” dalam ketentuan ini
<br />adalah kondisi dengan lingkungan berubah secara bermakna yang
<br />dapat menimbulkan masalah kesehatan.
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud dengan “kesehatan lapangan” dalam ketentuan ini
<br />adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan
<br />didarat yang temporer dan serba berubah. Adapun sasaran pokok
<br />adalah melakukan dukungan kesehatan operasional dan
<br />pembinaan terhadap setiap orang yang secara langsung maupun
<br />tidak langsung terlibat dalam kegiatan dilapangan.
<br />Yang . . .
<br />- 22 -
<br />Yang dimaksud dengan “kesehatan kelautan dan bawah air” dalam
<br />ketentuan ini adalah kesehatan matra yang berhubungan dengan
<br />pekerjaan di laut dan yang berhubungan dengan keadaan
<br />lingkungan yang bertekanan tinggi (hiperbarik) dengan sasaran
<br />pokok melakukan dukungan kesehatan operasional dan pembinaan
<br />kesehatan setiap orang yang secara langsung maupun tidak
<br />langsung terlibat dalam pengoperasian peralatan laut dan dibawah
<br />air.
<br />Yang dimaksud dengan “kesehatan kedirgantaraan” dalam
<br />ketentuan ini adalah kesehatan matra udara yang mencakup ruang
<br />lingkup kesehatan penerbangan dan kesehatan ruang angkasa
<br />dengan keadaan lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik)
<br />dengan mempunyai sasaran pokok melakukan dukungan
<br />kesehatan operasional dan pembinaan kesehatan terhadap setiap
<br />orang secara langsung atau tidak langsung.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 98
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 99
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 100
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 101
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 102
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 103
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 104 . . .
<br />- 23 -
<br />Pasal 104
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 105
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “buku standar lainnya” dalam ketentuan ini
<br />adalah kalau tidak ada dalam farmakope Indonesia, dapat
<br />menggunakan US farmakope, British farmakope, international
<br />farmakope.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 106
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 107
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 108
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini
<br />adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan
<br />kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
<br />kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara
<br />terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan,
<br />dan perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
<br />perundang-undangan.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 109
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 110
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 111
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 112 . . .
<br />- 24 -
<br />Pasal 112
<br />Dalam pengaturan termasuk diatur penggunaan bahan tambahan
<br />makanan dan minuman yang boleh digunakan dalam produksi dan
<br />pengolahan makanan dan minuman.
<br />Pasal 113
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh
<br />bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya bahan
<br />palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang
<br />mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah
<br />penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan.
<br />Pasal 114
<br />Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini
<br />adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar
<br />atau bentuk lainnya.
<br />Pasal 115
<br />Ayat (1)
<br />Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat
<br />menyediakan tempat khusus untuk merokok.
<br />Ayat (2)
<br />Pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok harus
<br />mempertimbangkan seluruh aspek secara holistik.
<br />Pasal 116
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 117
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 118 . . .
<br />- 25 -
<br />Pasal 118
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 119
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 120
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 121
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 122
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 123
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 124
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 125
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 126
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 127
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 128
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “pemberian air susu ibu ekslusif” dalam
<br />ketentuan ini adalah pemberian hanya air susu ibu selama 6 bulan,
<br />dan dapat terus dilanjutkan sampai dengan 2 (dua) tahun dengan
<br />memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) sebagai
<br />tambahan makanan sesuai dengan kebutuhan bayi.
<br />Yang . . .
<br />- 26 -
<br />Yang dimaksud dengan “indikasi medis” dalam ketentuan ini
<br />adalah kondisi kesehatan ibu yang tidak memungkinkan
<br />memberikan air susu ibu berdasarkan indikasi medis yang
<br />ditetapkan oleh tenaga medis.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 129
<br />Ayat (1)
<br />Yang dimaksud dengan “kebijakan” dalam ketentuan ini berupa
<br />pembuatan norma, standar, prosedur dan kriteria.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 130
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 131
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 132
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 133
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 134
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 135
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 136 . . .
<br />- 27 -
<br />Pasal 136
<br />Ayat (1)
<br />Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak atas informasi dan
<br />edukasi serta layanan kesehatan termasuk kesehatan reproduksi
<br />remaja dengan memperhatikan masalah dan kebutuhan agar
<br />terbebas dari berbagai gangguan kesehatan dan penyakit yang
<br />dapat menghambat pengembangan potensi anak.
<br />Setiap anak usia sekolah dan remaja berhak mendapatkan
<br />pendidikan kesehatan melalui sekolah dan madrasah dan maupun
<br />luar sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup anak dalam
<br />lingkungan hidup yang sehat sehingga dapat belajar, tumbuh dan
<br />berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya
<br />manusia yang berkualitas.
<br />Upaya pembinaan usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) harus ditujukan untuk menyiapkan anak menjadi
<br />orang dewasa yang sehat, cerdas dan produktif baik sosial maupun
<br />ekonomi.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 137
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 138
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 139
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 140
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 141
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2) . . .
<br />- 28 -
<br />Ayat (2)
<br />Yang dimaksud dengan “gizi seimbang” dalam ketentuan ini adalah
<br />asupan gizi sesuai kebutuhan seseorang untuk mencegah resiko
<br />gizi lebih dan gizi kurang.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (4)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (5)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 142
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 143
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 144
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 145
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 146
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 147
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 148
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 149
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 150
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 151
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 152 . . .
<br />- 29 -
<br />Pasal 152
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 153
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 154
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 155
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 156
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 157
<br />Ayat (1)
<br />Perilaku hidup bersih dan sehat bagi penderita penyakit menular
<br />dilakukan dengan tidak melakukan tindakan yang dapat
<br />memudahkan penularan penyakit pada orang lain.
<br />Ayat (2)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (3)
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 158
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 159
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 160
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 161
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 162 . . .
<br />- 30 -
<br />Pasal 162
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 163
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 164
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 165
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 166
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 167
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 168
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 169
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 170
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 171
<br />Ayat (1)
<br />Cukup jelas.
<br />Ayat (2)
<br />Bagi daerah yang telah menetapkan lebih dari 10% (sepuluh
<br />persen) agar tidak menurunkan jumlah alokasinya dan bagi daerah
<br />yang belum mempunyai kemampuan agar dilaksanakan secara
<br />bertahap.
<br />Ayat (3) . . .
<br />- 31 -
<br />Ayat (3)
<br />Yang dimaksud dengan “kepentingan pelayanan publik” dalam
<br />ketentuan ini adalah pelayanan kesehatan baik pelayanan
<br />preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan
<br />rehabilitatif yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan
<br />derajat kesehatannya. Biaya tersebut dilakukan secara efisien dan
<br />efektif dengan mengutamakan pelayanan preventif dan pelayanan
<br />promotif dan besarnya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari
<br />APBN dan APBD.
<br />Pasal 172
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 173
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 174
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 175
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 176
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 177
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 178
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 179
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 180
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 181 . . .
<br />- 32 -
<br />Pasal 181
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 182
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 183
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 184
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 185
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 186
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 187
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 188
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 189
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 190
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 191
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 192
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 193
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 194 . . .
<br />- 33 -
<br />Pasal 194
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 195
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 196
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 197
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 198
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 199
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 200
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 201
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 202
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 203
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 204
<br />Cukup jelas.
<br />Pasal 205
<br />Cukup jelas.
<br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50635063
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-77441522714911807682010-04-08T20:48:00.000-07:002010-04-13T16:59:50.613-07:00MANITOL DAN CEDERA KEPALASering kita jumpai saat merawat pasien dengan cedera kepala pasien mendapat terapi manitol. Selain paham 6 Benar(pasien, obat, dosis, cara, waktu dan dokumentasi) dalam pemberian obat, perawat perlu mengetahui implikasi /keterlibatan perawat dalam pemberian obat tersebut sehingga komplikasi yang mungkin timbul dari pemberian obat tersebut dapat dicegah sedini mungkin . Tentunya saat menjalan tugas ini perawat harus berkolaborasi dengan dokter.
<br />Berikut ini akan dijelaskan sedikit tentang pemberian manitol pada pasien cedera kepala
<br />Manitol merupakan molekul gula manosa yang bersifat osmotic diuretic dan manitol dipercaya hanya menurunkan kadar air di otak tidak di jaringan lain.
<br /><span style="font-weight:bold;">Adapun indikasi pasien yang akan diberikan manitol adalah:</span><span class="fullpost">
<br />- Adanya tanda – tanda herniasi transtentorial / perburukan keadaan neurologis
<br />- Pada pasien dengan cedera kepala dengan hipotensi berfungsi sebagai resusitasi cairan
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Karena pemberian manitol mempunyai kemungkinan komplikasi maka sebelum diberikan perlu dilakukan : </span>
<br />- Pemeriksaan darah rutin, funsi ginjal, gula darah dan elektrolit
<br />- Pemasangan folley cateter untuk mengukur diuresis. Catatan osmolaritas darah harus dipertahankan tidak lebih dari 320mOsm/l krn jika lebih berisiko terjadi gagal ginjal akut .adapun rumus menghitung osmolaritas =2[Na+] + [Glucose]/18 + [ BUN ]/2.8 atau dengan rumus sederhana = 2[Na+] + [Glucose]/20 + BUN/3 – 2. Nilai normal untuk manusia = 275-299 milli-osmoles per kilogram
<br />- Jika osmolaritas dibiarkan terus meningkat dapat menurunkan CPP (cerebral perfusion pressure). Oleh karena itu dapat diimbangi dengan pemberian cairan saline seperti NaCl 0.9%
<br />- Pemberian manitol tidak boleh diberikan bersama – sama dengan kortikosteroid atau phenitoin karena dapat menyebabkan nonketotik hiperosmolar dan kematian
<br />- Pada keadaan tertentu seperti overhidrasi (spt penderita gagal jantung ) manitol dapat diberikan bersama dengan diuretic lain.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Pemberian manitol dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya </span>
<br />- Gagal ginjal
<br />- Gangguan elektrolit seperti hipokalemia
<br />- Dehidrasi atau hipotensi
<br />- Peningkatan perdarahan intracranial
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Untuk mencegah komplikasi tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat diantaranya :</span>
<br />- Observasi tanda – tanda vital, dan tanda – tanda dehidrasi
<br />- Observasi tanda – tanda ketidakesimbangan elektrolit
<br />- Observasi tanda – tanda peningkatan TIK
<br />- Monitor pemeriksaan lab untuk mengukur fungsi ginjal dan
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Evaluasi</span> <span style="font-weight:bold;"></span>
<br />- Pengeluaran urin minimal 30 -50 ml/ Jam
<br />- Penurunan tekanan intracranial
<br />
<br />
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-50883253418708910852010-04-08T11:08:00.000-07:002010-04-08T11:11:10.236-07:00IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWATMENTERI KESEHATAN
<br />REPUBLIK INDONESIA
<br />PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR HK.02.02/MENKES/148/I/2010
<br />TENTANG
<br />IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT
<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
<br />MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
<br />
<br />Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-
<br />Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu
<br />menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan
<br />Penyelenggaraan Praktik Perawat;
<br />Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
<br />Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
<br />2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
<br />Indonesia Nomor 4431);<span class="fullpost">
<br />2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
<br />Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
<br />Nomor 125, Tambaran Lembaran Negara Republik Indonesia
<br />Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
<br />Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
<br />Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
<br />Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
<br />Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
<br />Indonesia Nomor 4844);
<br />3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
<br />(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
<br />144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
<br />5063);
<br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
<br />Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
<br />Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
<br />Nomor 3637);
<br />5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
<br />Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
<br />Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
<br />Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
<br />2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
<br />Indonesia Nomor 4737);
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
<br />1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
<br />Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir
<br />dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
<br />439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas
<br />Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
<br />1575/Per/Menkes/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
<br />Departemen Kesehatan;
<br />MEMUTUSKAN:
<br />Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG IZIN DAN
<br />
<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT.
<br />
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />Pasal 1
<br />Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
<br />1. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam
<br />maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
<br />2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk
<br />menyelenggarakan upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
<br />rehabilitatif.
<br />3. Surat Izin Praktik Perawat yang selanjutnya disingkat SIPP adalah bukti
<br />tertulis yang diberikan kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan
<br />secara perorangan dan/atau berkelompok.
<br />4. Standar adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
<br />menjalankan profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi dan
<br />standar prosedur operasional.
<br />5. Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis
<br />yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki
<br />sertifikat kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br />6. Obat Bebas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna hijau yang dapat
<br />diperoleh tanpa resep dokter. H
<br />7. Obat Bebas Terbatas adalah obat yang berlogo bulatan berwarna biru yanq
<br />dapat diperoleh tanpa resep dokter.
<br />8. Organisasi Profesi adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
<br />
<br />BAB II
<br />PERIZINAN
<br />Pasal 2
<br />(1) Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan.
<br />(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
<br />fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri dan/atau praktik mandiri.
<br />(3) Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(2) berpendidikan minimal Diploma III (D III) Keperawatan.
<br />Pasal 3
<br />(1) Setiap Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP.
<br />(2) Kewajiban memiliki SIPP dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik
<br />pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri.
<br />Pasal 4
<br />(1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikeluarkan oleh
<br />Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
<br />(2) SIPP berlaku selama STR masih berlaku.
<br />Pasal 5
<br />(1) Untuk memperoleh SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Perawat
<br />harus mengajukan permohonan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
<br />dengan melampirkan:
<br />a. fotocopy STR yang masih berlaku dan dilegalisir;
<br />b. surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
<br />c. surat pernyataan memiliki tempat praktik;
<br />d. pas foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar; dan
<br />e. rekomendasi dari Organisasi Profesi.
<br />(2) Surat permohonan memperoleh SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />sebagaimana tercantum dalam Formulir I terlampir.
<br />(3) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu)
<br />tempat praktik.
<br />(4) SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam
<br />Formulir II terlampir.
<br />Pasal 6
<br />Dalam menjalankan praktik mandiri, Perawat wajib memasang papan nama
<br />praktik keperawatan.
<br />
<br />Pasal 7
<br />SIPP dinyatakan tidak berlaku karena:
<br />a. tempat praktik tidak sesuai lagi dengan SIPP.
<br />b. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang.
<br />c. dicabut atas perintah pengadilan.
<br />d. dicabut atas rekomendasi Organisasi Profesi.
<br />e. yang bersangkutan meninggal dunia.
<br />
<br />
<br />BAB III
<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK
<br />Pasal 8
<br />(1) Praktik keperawatan dilaksanakan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
<br />pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.
<br />(2) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada
<br />individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
<br />(3) Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
<br />melalui kegiatan:
<br />a. pelaksanaan asuhan keperawatan;
<br />b. pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan
<br />masyarakat; dan
<br />c. pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer.
<br />(4) Asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi
<br />pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi,
<br />dan evai.iasi keperawatan.
<br />(5) Implementasi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi
<br />penerapan perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan.
<br />(6) Tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi
<br />pelaksanaan prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan
<br />konseling kesehatan.
<br />(7) Perawat dalam menjalankan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (4) dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.
<br />Pasal 9
<br />Perawat dalam melakukan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
<br />Pasal 10
<br />(1) Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan
<br />tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melalaikan pelayanan
<br />kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
<br /> (2) Bagi perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter
<br />dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan
<br />kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
<br />(3) Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (2) harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan
<br />kemungkinan untuk dirujuk.
<br />(4) Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
<br />adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh Kepala Dinas
<br />Kesehatan Kabupaten/Kota.
<br />(5) Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terdapat dokter,
<br />kewenangan perawat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
<br />Pasat 11
<br />Dalam melaksanakan praktik, perawat mempunyai hak:
<br />a. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik keperawatan
<br />sesuai standar;
<br />b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan/atau keluarganya;
<br />c. melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi;
<br />d. menerima imbalan jasa profesi; dan
<br />e. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan
<br />dengan tugasnya.
<br />Pasal 12
<br />(1) Dalam melaksanakan praktik, perawat wajib untuk:
<br />a. menghormati hak pasien;
<br />b. melakukan rujukan;
<br />c. menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan;
<br />d. memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/klien dan
<br />pelayanan yang dibutuhkan;
<br />e. meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan;
<br />f. melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis; dan
<br />g. mematuhi standar.
<br />(2) Perawat dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu
<br />pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
<br />dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
<br />tugasnya, yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau organisasi profesi.
<br />(3) Perawat dalam menjalankan praktik wajib membantu program Pemerintah
<br />dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
<br />
<br />BAB IV
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />Pasal 13
<br />(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan
<br />dengan mengikutsertakan organisasi profesi.
<br />(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan
<br />untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien dan melindungi
<br />masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya
<br />bagi kesehatan.
<br />Pasal 14
<br />(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
<br />13, Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan tindakan
<br />administratif kepada perawat yang melakukan pelanggaran terhadap
<br />ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
<br />(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
<br />melalui:
<br />a. teguran lisan;
<br />b. teguran tertulis; atau
<br />c. pencabutan SIPP.
<br />
<br />BAB V
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />Pasal 15
<br />(1) SIPP yang dimiliki perawat berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
<br />Nomor 1239/Menkes/SK/IV/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat
<br />masih tetap berlaku sampai masa SIPP berakhir.
<br />(2) Pada saat peraturan ini mulai berlaku, SIPP yang sedang dalam proses
<br />perizinan dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan
<br />Nomor 1239/Menkes/SK/IV/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat.
<br />
<br />BAB VI
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />Pasal 16
<br />Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan
<br />Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat
<br />sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
<br />Pasal 17
<br />Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan ini
<br />dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
<br />_ Ditetapkan di Jakarta
<br /> tanggal 27 Januari 2010
<br />
<br />Menteri,
<br />dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH. Dr. PH
<br />
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-52995777178854000222009-08-20T09:40:00.000-07:002009-08-20T09:47:00.123-07:00Mengenal Presiden ICN ke-26 ; Rosemary Bryant<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitg8PZna0vNgTCWjMPb2M9tDJBNt0sGXLImVZ0D9ErhOvd7N7aoLpJkbM0fwvuBEyIA84rKF9vKaeYRaLqdHRTqdbYw-KtPHkUj7yqHpokHOi6QGAzkdD90ayWp0gH1BomppksLA1jjrd1/s1600-h/rosemary-large.jpg"><img style="float:right; margin:0 0 10px 10px;cursor:pointer; cursor:hand;width: 145px; height: 195px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitg8PZna0vNgTCWjMPb2M9tDJBNt0sGXLImVZ0D9ErhOvd7N7aoLpJkbM0fwvuBEyIA84rKF9vKaeYRaLqdHRTqdbYw-KtPHkUj7yqHpokHOi6QGAzkdD90ayWp0gH1BomppksLA1jjrd1/s200/rosemary-large.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5372087322066603506" /></a><br />Berikut karir dari Rosemary Bryant sebelum menjadi presiden ICN ke – 26 terpilih periode 2009-2013<br />- Registered Nurse<br />- Bachelor of Arts University of Adelaide<br />- Graduate Diploma of Health Administration South Australian Institute of Technology<br /><br />- Direktur eksekutif Royal College of Nursing, <br />- Chief Nurse and Midwifery Officer for Australia<br />- Second Vice President of the International Council of Nurses from 2005 to 2009<br />- Executive Director of Royal College of Nursing<br />- he has had a broad career in acute hospital and community nursing<br />- chief government nursing position in the state of Victoria, Australia<br />- private consulting undertaking projects on nursing and health<br />- consultant to the World Health Organization.<br />- Her academic interests revolve around the regulation of health professionals<br /><br />Publikasi <br />- 1999 Joan Durdin Orator University of Adelaide<br />- Bryant R (2001) The Regulation of Nursing in Australia: A Comparative Analysis Journal of Law and Medicine, 9:1<br />- Bryant R (2004) Nursing Culpability: A Proposal for Change in Nursing Regulation Journal of Law and Medicine,11:3<br />- Bryant R (2005) Global Nursing Workforce Project Issue Paper 1 Regulation, roles and competency development. International Council of Nurses, Geneva.NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-91237341019889477742009-08-18T22:33:00.000-07:002009-08-18T22:47:18.941-07:00Proses Pembelajaran NANDA,NIC dan NOC dan Kualitas Dokumentasi KeperawatanKualitas pelayanan keperawatan merupakan tantangan yang harus dikembangkan secara sustainable oleh setiap perawat. Didunia keperawatan pembuatan asuhan keperawatan kepada pasien masih bervariasi. Dengan adanya NANDA, NIC dan NOC (NNN) membawa solusi dalam menyeragamkan dalam pembuatan asuhan keperawatan, penggunaan NNN ( baca NANDA NIC dan NOC) juga tidak sepenuhnya dapat diterima oleh kalangan pendidik keperawatan <span class="fullpost">dengan alasan bermacam – macam misalnya karena NNN sudah tidak digunakan lagi di Negara – Negara maju.
<br />Terlepas dari perbedaan penggunaan NNN atau tidak dalam proses pembelajaran pada proses keperawatan di pendidikan tentunya seluruh perawat terutama yang bergerak di pendidikan harus bertanggung jawab terhadap kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien.
<br />
<br />Berdasarkan penelitian NNN dalam proses keperawatan dapat meningkatkan kualitas dokumentasi keperawatan dimana dapat menyeragamkan bahasa asuhan keperawatan sehingga lebih memudahkan dalam serah terima pada setiap ship dinas dan tentunya kualitas pelayanan keperawatan akan meningkat. Namun untuk dapat menguasai NNN dalam proses keperawatan memerlukan waktu yang lama, pemahaman patofisiologi dan disiplin ilmu lain yang baik dan pengembangan yang sistematis.
<br />
<br />Jika akan menerapkan NNN dalam pembelajaran sebaiknya diperkenalkan pada awal semester dan terus dikembangkan pada setiap semester dan terintegrasi pada mata ajaran keperawatan dengan pembahasan kasus di klinik sampai terjadi internalisasi pada mahasiswa. Sehingga pada semester akhir kemampuan pengetahuan, berpikir kritis dan penguasaan NNN akan terus meningkat dan berkembang dan hal ini merupakan ekspertise profesi keperawatan sehingga terbentuk calon perawat yang dapat memberikan asuhan keperawatan yang terbaik kepada pasien.
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-39329268948654305242009-08-18T21:21:00.000-07:002009-08-18T21:25:32.446-07:00RUU Keperawatan TerbaruDraft Revisi 29 Juni 2009
<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR ……………………….
<br />
<br />TENTANG
<br />KEPERAWATAN
<br />
<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
<br />
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />Menimbang:a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
<br />
<br />b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.<span class="fullpost">
<br />c. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan merupakan bagian integral dari penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan kaidah etik, nilai-nilai moral serta standar profesi.
<br />
<br />d. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada kewenangan yang diberikan kepada perawat karena keahliannya, yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi.
<br />
<br />e. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan praktik keperawatan, perlu keterlibatan organisasi profesi.
<br />
<br />f. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan dan perawat diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik keperawatan;
<br />
<br />g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Keperawatan.
<br />
<br />Mengingat 1. Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 20 dan pasal 21 ayat (1)
<br />
<br />2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
<br />
<br />Dengan Persetujuan Bersama
<br />
<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
<br />dan
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />MEMUTUSKAN :
<br />
<br />Menetapkan:UNDANG-UNDANG TENTANG KEPERAWATAN
<br />
<br />BAB I
<br />
<br />KETENTUAN UMUM
<br />
<br />Pasal 1
<br />
<br /> Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
<br />
<br />(1) Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.
<br />(2) Praktik keperawatan adalah tindakan perawat berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan yang diberikan melalui kesepakatan dengan klien dan atau tenaga kesehatan lain dan atau sektor lain terkait. Fokus praktik keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan pada individu, keluarga, dan atau masyarakat pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
<br />(3) Asuhan keperawatan adalah rangkaian kegiatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan berdasarkan kode etik dan standar praktik keperawatan yang dilandasi keilmuan keperawatan dan keterampilan perawat berdasarkan aplikasi prinsip-prinsip ilmu biologis, psikolologi, sosial, kultural dan spiritual
<br />(4) Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
<br />(5) Perawat terdiri dari perawat vokasional, perawat professional dan perawat profesinoal spesialis
<br />(6) Perawat vokasional adalah seseorang yang mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik dengan batasan tertentu dibawah supervisi langsung maupun tidak langsung oleh Perawat Profesioal dengan sebutan Lisenced Vocasional Nurse (LVN)
<br />(7) Perawat professional adalah tenaga professional yang mampu melaksanakan praktik keperawatan secara mandiri dan atau kolaborasi dengan yang lain dan telah menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan, telah lulus uji kompetensi perawat profesional yang dilakukan oleh konsil dengan sebutan Registered Nurse (RN)
<br />(8) Perawat Profesional Spesialis adalah seseorang perawat yang disiapkan diatas level perawat profesional dan mempunyai kewenangan sebagai spesialis atau kewenangan yang diperluas dan telah lulus uji kompetensi perawat profesional spesialis.
<br />(9) Konsil Keperawatan Indonesia yang yang selanjutnya disebut Konsil merupakan suatu badan otonom, mandiri, non struktural yang bersifat independen.
<br />(10) Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang perawat untuk menjalankan praktik keperawatan di seluruh Indonesia setelah lulus uji.
<br />(11) Registrasi adalah pencatatan resmi oleh konsil terhadap perawat yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempuyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melaksanakan profesinya.
<br />(12) Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap perawat yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
<br />(13) Surat Izin Perawat adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat yang akan menjalankan praktik keperawatan setelah memenuhi persyaratan.
<br />(14) Surat Ijin Perawat Vokasional (SIPV) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat vokasional yang telah memenuhi persyaratan.
<br />(15) Surat Ijin Perawat Profesional (SIPP) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat profesional yang telah memenuhi persyaratan
<br />(16) Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan praktik keperawatan secara mandiri, berkelompok atau bersama profesi kesehatan lain.
<br />(17) Klien adalah orang yang membutuhkan bantuan perawat karena masalah kesehatan aktual atau potensial baik secara langsung maupun tidak langsung
<br />(18) Organisasi profesi adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
<br />(19) Kolegium keperawatan adalah kelompok perawat professional dan perawat profesional spesialis sesuai bidang keilmuan keperawatan yang dibentuk oleh organisasi profesi keperawatan.
<br />(20) Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
<br />(21) Surat tanda registrasi Perawat dalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan Indonesia kepada perawat yang telah diregistrasi.
<br />
<br />
<br />
<br />BAB II
<br />
<br />ASAS DAN TUJUAN
<br />
<br />Pasal 2
<br />
<br />Praktik keperawatan dilaksanakan berazaskan Pancasila dan berlandaskan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.
<br />Pasal 3
<br />
<br />Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk:
<br />a. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada klien dan perawat.
<br />b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.
<br />
<br />
<br />BAB III
<br />
<br />LINGKUP KEPERAWATAN
<br />
<br />Pasal 4
<br />
<br />Bagian kesatu
<br />Peran dan Fungsi Perawat
<br />
<br />(1) Perawat dalam melakukan tugasnya dapat berperan sebagai pelaksana keperawatan, pengelola keperawatan dan atau kesehatan, pendidik, advokat, peneliti.
<br />(2) Perawat dalam melakukan tugasnya berfungsi secara mandiri, ketergantungan dengan profesi lain, dan kerjasama (kolaborasi)
<br />
<br />
<br />Pasal 5
<br />Bagian kedua
<br />Praktik Keperawatan
<br />
<br />(1) Praktik keperawatan diberikan melalui Asuhan keperawatan untuk klien individu, keluarga, masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan sederhana dan kompleks.
<br />(2) Asuhan keperawatan dapat dilakukan melalui tindakan keperawatan mandiri
<br /> dan atau kolaborasi dengan tim kesehatan dan atau dengan sektor terkait
<br /> lain
<br />(3) Tindakan mandiri keperawatan antara lain adalah:
<br />a. Tindakan terapi keperawatan, observasi keperawatan, terapi komplementer, penyuluhan kesehatan, nasehat, konseling, advokasi, dan edukasi dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam upaya memandirikan klien.
<br />b. Memberikan pengobatan terbatas dan tindakan medik terbatas, pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan normal dan khitan tanpa komplikasi.
<br />c. Pelakaksanaan Program Pemerintah dalam bidang kesehatan
<br /> (4) Tindakan ketergantungan dengan tenaga kesehatan lain adalah ; Pelaksanaan program pengobatan dan atau tindakan medik secara tertulis dari dokter
<br />(5) Tindakan kolaborasi keperawatan dengan tim kesehatan lainnya atau dengan sektor terkait lain antara lain adalah:
<br />a. Pembuatan dan pelaksanaan program kesehatan lintas sektoral untuk peningkatan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
<br />b. Perencanaan terhadap upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan klien bersama dengan tenaga profesi kesehatan lain.
<br />c. Pelaksanaan upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan huruf c dimaksud sesuai dengan kompetensi dan kewenangan masing-masing.
<br />(5) Praktik keperawatan dapat diberikan di sarana kesehatan dan Praktik Mandiri Keperawatan
<br />a. Praktik keperawatan di sarana kesehatan adalah asuhan keperawatan profesional yang diberikan oleh Perawat Profesional dibantu oleh perawat Vokasional.
<br />b. Ketentuan mengenai rasio dan jumlah tanaga perawat profesional dan vokasional di sarana kesehatan diatur dalam peraturan konsil.
<br />c. Praktik Mandiri Keperawatan berdasarkan prinsip kebutuhan pelayanan kesehatan dan atau keperawatan masyarakat dalam suatu wilayah.
<br />d. Ketentuan mengenai kebutuhan pelayanan kesehatan dan atau keperawatan disatu wilayah diatur dalam peraturan konsil.
<br />
<br />
<br />Pasal 6
<br />Wewenang Perawat
<br />
<br />(1) Dalam menjalankan peran dan fungsinya, perawat memiliki kewenangan untuk melakukan asuhan keperawatan mandiri dan kolaborasi sebagaimana tercantum pada pasal 5
<br />(2) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan atau nyawa klien dan atau pasien, perawat dapat melakukan tindakan di luar kewenangan.
<br />(3) Dalam keadaan luar biasa/bencana, perawat dapat melakukan tindakan di luar kewenangan untuk membantu mengatasi keadaan luar biasa atau bencana tersebut.
<br />(4) Perawat yang bertugas di daerah yang sulit terjangkau dapat melakukan tindakan di luar kewenangannya sebagai perawat.
<br />(5) Ketentuan mengenai daerah yang sulit terjangkau ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah melalui peraturan tersendiri.
<br />
<br />Pasal 7
<br />Kualifikasi dan Kewenangan
<br />
<br />(1) Kualifikasi perawat terdiri dari Perawat vokasional, perawat Profesional dan Perawat Profesional Spesialis.
<br />
<br />(2) Kewenangan Perawat seperi yang dimaksud ayat (1) adalah :
<br />
<br />a. Perawat vokasional mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik dengan batasan lingkup praktik yang ditetapkan dan dibawah pengawasan langsung maupun tidak langsung oleh Perawat Profesioal.
<br />b. Perawat professional mempunyai wewenang untuk melaksanakan praktik keperawatan secara mandiri dan atau kolaborasi dengan yang lain.
<br />c. Perawat Profesional Spesialis mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik sebagai seorang spesialis dengan keahlian lanjut dalam satu cabang ilmu di bidang keperawatan.
<br />d. Kewenangan Perawat sesuai dengan huruf a, b dan c sesuai dengan standard kompetensi yang ditetapkan oleh konsil.
<br />
<br />
<br />BAB IV
<br />KONSIL KEPERAWATAN INDONESIA
<br />
<br />Bagian Kesatu
<br />Nama dan Kedudukan
<br />
<br />Pasal 8
<br />
<br />(1) Dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud pada Bab II Pasal 3, dibentuk Konsil Keperawatan Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Konsil.
<br />(2) Konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.
<br />
<br />Pasal 9
<br />
<br />Konsil berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Kedua
<br />Fungsi, Tugas dan Wewenang Konsil
<br />
<br />Pasal 10
<br />
<br />Konsil mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, pembinaan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan praktik keperawatan.
<br />
<br />Pasal 11
<br />
<br />(1) Konsil mempunyai tugas:
<br />a. Melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat;
<br />b. Mengesahkan standar pendidikan profesi perawat
<br />c. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik perawat untuk melindungi masyarakat.
<br />(2) Standar pendidikan profesi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dan di usulkan oleh organisasi profesi
<br />
<br />
<br />Pasal 12
<br />
<br />Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 Konsil mempunyai wewenang :
<br />a. Mengesahkan standar kompetensi perawat dan standar praktik Perawat yang dibuat oleh organisasi profesi;
<br />b. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi perawat ;
<br />c. Menetapkan seorang perawat kompeten atau tidak melalui mekanisme uji kompetensi;
<br />d. Menetapkan ada tidaknya kesalahan disiplin yang dilakukan perawat;
<br />e. Menetapkan sanksi disiplin terhadap kesalahan disiplin dalam praktik yang dilakukan perawat; dan
<br />f. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan profesi keperawatan berdasarkan rekomendasi Organisasi Profesi.
<br />
<br />
<br />Pasal 13
<br />
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil serta pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Konsil Keperawatan Indonesia.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Ketiga
<br />Susunan Organisasi dan Keanggotaan
<br />
<br />Pasal 14
<br />
<br />(1) Susunan peimpinan Konsil terdiri dari :
<br />a. Ketua merangkap anggota
<br />b. Wakil ketua merangkap anggota
<br />c. Ketua- ketua Komite merangkap anggota.
<br />(2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :
<br />a. Komite uji kompetensi dan registrasi
<br />b. Komite standar pendidikan profesi
<br />c. Komite praktik keperawatan
<br />d. Komite disiplin keperawatan
<br />(3) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua Komite merangkap anggota.
<br />
<br />
<br />Pasal 15
<br />(1) Ketua konsil keperawatan Indonesia dan ketua komite adalah perawat dan dipilih oleh dan dari anggota konsil keperawatan Indonesia.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan ketua konsil dan ketua Komite diatur dalam peraturan konsil
<br />
<br />
<br />Pasal 16
<br />(1) Komite Uji Kompetensi dan Registrasi mempunyai tugas untuk melakukan uji kompetensi dan proses registrasi keperawatan.
<br />(2) Komite standar pendidikan profesi mempunyai tugas memvalidasi standar pendidikan profesi yang disusun oleh organisasi profesi.
<br />(3) Komite Praktik Keperawatan mempunyai tugas untuk melakukan pemantauan mutu praktik Keperawatan dan menetapkan kebutuhan praktik keperawatan.
<br />(4) Komite Disiplin Keperawatan mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan kepada para perawat, menentukan ada tidaknya kesalahan disiplin yang dilakukan perawat dalam penerapan praktik keperawatan dan memberikan masukan kepada Ketua Konsil terkait disiplin perawat.
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja komite-komite diatur dengan Peraturan Konsil
<br />
<br />
<br />Pasal 17
<br />
<br />
<br />(1) Keanggotaan Konsil terdiri dari unsur-unsur wakil Pemerintah, organisasi profesi, institusi pendidikan, pelayanan, dan wakil masyarakat.
<br />
<br />(2) Jumlah anggota Konsil 21 (dua puluh satu) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari:
<br />a. Anggota yang ditunjuk adalah 12 ( dua belas) orang terdiri dari:
<br />- Persatuan Perawat Nasional Indonesia 3 (tiga) orang;
<br />- Kolegium keperawatan 2 (dua) orang;
<br />- Asosiasi institusi pendidikan keperawatan 2 (dua) orang;
<br />- Asosiasi rumah sakit 1 (satu) orang;
<br />- Asosiasi institusi pelayanan kesehatan masyarakat 1 (satu) orang;
<br />- Tokoh masyarakat 1 (satu) orang;
<br />- Departemen Kesehatan 1 (satu) orang;
<br />- Departemen pendidikan Nasional 1 (satu ) orang
<br />b. Anggota yang dipilih adalah 9 (sembilan) perawat dari 3 (tiga) wilayah utama (barat, tengah, timur) Indonesia.
<br />
<br />
<br />Pasal 18
<br />
<br />1. Keanggotaan Konsil ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri dengan rekomendasi organisasi profesi
<br />2. Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil harus berdasarkan usulan dari organisasi profesi
<br />3. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil diatur dengan Peraturan Presiden.
<br />4. Masa bakti satu periode keanggotaan Konsil adalah 5 (lima) tahun
<br />dan dapat diangkat kembali untuk masa bakti 1 (satu) periode berikutnya, dengan memperhatikan sistem manajemen secara berkesinambungan.
<br />
<br />Pasal 19
<br />
<br />(1) Anggota Konsil sebelum memangku jabatan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.
<br />
<br />(2) Sumpah /janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
<br /> Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
<br />
<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.
<br />
<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu keperawatan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan tetap akan menjaga rahasia kecuali jika diperlukan untuk kepentingan hukum.
<br />
<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia, taat kepada Negara Republik Indonesia, mempertahankan, mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
<br />
<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.
<br />
<br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.“
<br />
<br />
<br />Pasal 20
<br />
<br />Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota Konsil :
<br />a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
<br />b. Warga Negara Republik Indonesia;
<br />c. Sehat rohani dan jasmani;
<br />d. Memiliki kredibilitas baik di masyarakat;
<br />e. Berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Keperawatan Indonesia;
<br />f. Mempunyai pengalaman dalam praktik keperawatan minimal 5 tahun dan memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat, kecuali untuk non perawat;
<br />g. Cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik; dan
<br />h. Melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil.
<br />
<br />
<br />Pasal 21
<br />
<br />(1) Keanggotaan Konsil berakhir apabila :
<br />a. Berakhir masa jabatan sebagai anggota;
<br />b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
<br />c. Meninggal dunia;
<br />d. Bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
<br />e. Ketidakmampuan melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;
<br />f. Dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
<br />(2) Dalam hal anggota Konsil menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari keangotaannya.
<br />(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Konsil.
<br />
<br />Pasal 22
<br />
<br />(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris konsil
<br />(2) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
<br />(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan anggota konsil
<br />(4) Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil
<br />(5) Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil
<br />
<br />
<br />Bagian Keempat
<br />Tata Kerja
<br />
<br />Pasal 23
<br />
<br />(1) Setiap keputusan Konsil yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat pleno anggota.
<br />(2) Rapat pleno Konsil dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu.
<br />(3) Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
<br />(4) Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat dilakukan pemungutan suara.
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 24
<br />
<br />Pimpinan Konsil melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Kelima
<br />Pembiayaan
<br />
<br />Pasal 25
<br />
<br />(1) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
<br />(2) Pembiayaan Konsil Keperawatan Indonesia ditetapkan oleh Ketua Konsil Keperawatan Indonesia.
<br />
<br />
<br />BAB V
<br />STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN
<br />
<br />Pasal 26
<br />
<br />(1) Standar pendidikan profesi keperawatan disusun oleh organisasi profesi
<br />(2) Dalam rangka memperlancar penyusunan standar pendidikan profesi keperawatan, organisasi profesi dapat membentuk Kolegium Keperawatan
<br />(3) Standar pendidikan profesi keperawatan dimaksud pada ayat (1):
<br />a. untuk pendidikan profesi Ners disusun oleh Kolegium Ners generalis dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.
<br />b. untuk pendidikan profesi Ners Spesialis disusun oleh Kolegium Ners Spesialis dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.
<br />
<br />
<br />BAB VI
<br />PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPERAWATAN BERKELANJUTAN
<br />
<br />Pasal 27
<br />
<br />Pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi perawat yang berpraktik dan dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan keperawatan berkelanjutan.
<br />
<br />Pasal 28
<br />
<br />(1) Setiap perawat yang berpraktik harus meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi.
<br />(2) Pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk program sertifikasi yang dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan berkelanjutan perawat yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
<br />(3) Pemerintah, pemerintah daerah dan atau sarana kesehatan yang memakai jasa perawat wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kompetensi dan sertifikasi perawat
<br />
<br />
<br />BAB VII
<br />REGISTRASI dan LISENSI PERAWAT
<br />
<br />Pasal 29
<br />
<br />(1) Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang diterbitkan Konsil melalui mekanisme uji kompetensi oleh konsil.
<br />(2) Surat Tanda Registrasi Perawat sebagaimana ayat (1) terdiri atas 2 (dua) kategori:
<br />a. untuk perawat vokasional, Surat Tanda Registrasi Perawat disebut dengan Lisenced Vocasional Nurse (LVN)
<br />b. untuk perawat profesional, Surat Tanda Registrasi Perawat disebut dengan Registered Nurse (RN)
<br />(3) Untuk melakukan registrasi awal, perawat harus memenuhi persyaratan :
<br />a. memiliki ijazah perawat Diploma untuk Lisenced Vocasional Nurse (LVN)
<br />b. memiliki ijazah Ners, atau Ners Spesialis untuk Registered Nurse (RN)
<br />c. lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh konsil
<br />d. Rekomendasi Organisasi Profesi
<br />
<br />Pasal 30
<br />
<br />(1) Dalam menjalankan praktik keperawatan di Indonesia, lisensi praktik perawat diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang disebut dengan Surat Ijin Perawat yang terdiri dari Surat Ijin Perawat Vokasional (SIPV) atau Surat Ijin Perawat Profesional (SIPP)
<br />(2) Perawat vokasional yang telah memenuhi persyaratan LVN berhak memperoleh SIPV dan dapat melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan bersama.
<br />(3) Perawat profesional yang telah memenuhi persyaratan RN berhak memperoleh SIPP dan dapat melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan dan praktik mandiri.
<br />(4) Lisenced vocasional Nurse (LVN) dengan latar belakang Diploma III Keperawatan dan pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di sarana pelayanan kesehatan dapat mengikuti uji kompetensi Registered Nurse(RN).
<br />(5) Perawat LVN yang telah lulus uji kompetensi RN dapat memperoleh SIPP.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 31
<br />
<br />(1) Syarat untuk memperoleh SIPV :
<br />a. Memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang disebut dengan Lisenced Vocasional Nurse (LVN)
<br />b. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi keperawatan
<br />c. Melampirkan surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan
<br /> (2) Syarat untuk memperoleh SIPP :
<br />a. Memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang disebut dengan Registered Nurse(RN)
<br />b. Tempat praktik memenuhi persayaratan untuk praktek mandiri
<br />c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi keperawatan
<br />d. Melampirkan surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan
<br /> (3) SIPV dan SIPP masih tetap berlaku sepanjang:
<br />a. Surat tanda Regstrasi Perawat masih berlaku
<br />b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPP
<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat praktik untuk memperoleh SIPP diatur dalam peraturan Menteri.
<br />
<br />
<br />Pasal 32
<br />
<br />(1) Perawat yang teregistrasi berhak menggunakan sebutan RN (Register Nurse) di belakang nama, khusus untuk perawat profesional, atau LVN (Lisence Vocasional Nurse) untuk perawat vokasional.
<br />(2) Sebutan RN dan LVN ditetapkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia.
<br />
<br />Pasal 33
<br />
<br />(1) Surat Tanda Registrasi Perawat berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali.
<br />(2) Registrasi ulang untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi Perawat dilakukan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 29 ayat (3), ditambah dengan angka kredit pendidikan berlanjut yang ditetapkan Organisasi Profesi.
<br />(3) SIPP hanya diberikan paling banyak di 2 (dua) tempat pelayanan kesehatan.
<br />
<br />
<br />Pasal 34
<br />
<br />(1) Perawat Asing yang akan melaksanakan praktik keperawatan di Indonesia harus dilakukan adaptasi dan evaluasi sebelum di registrasi.
<br />(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sarana pendidikan milik pemerintah sesuai dengan jenjang pendidikan.
<br />(3) Ketentuan mengenai Adaptasi selanjutnya diatur oleh Peraturan Menteri
<br />(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<br />a. keabsahan ijazah;
<br />b. registrasi perawat dari negera asal
<br />c. kemampuan untuk melakukan praktik keperawatan yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang dikeluarkan oleh konsil
<br />d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
<br />e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan kode etik keperawatan Indonesia yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
<br />(5) Perawat asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.
<br />(6) Perawat asing yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dapat diregistrasi oleh konsil dan selanjutnya dapat diberikan Surat Ijin Perawat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kualifikasi perawat vokasional atau Profesional.
<br />
<br />Pasal 35
<br />
<br />(1) Surat Ijin Perawat vokasional sementara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara dapat diberikan kepada perawat warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan keperawatan yang bersifat sementara di Indonesia.
<br />(2) Surat Ijin Perawat vokasional semetara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara sebagai mana dimaksud ayat (1) berlaku selama 1 ( satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 ( satu) tahun berikutnya.
<br />(3) Surat Ijin Perawat vokasional sementara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara dapat diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 31.
<br />
<br />Pasal 36
<br />
<br />(1) Surat Ijin Perawat Vokasional bersyarat atau Surat Ijin Perawat Profesional bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan keperawatan warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.
<br />(2) Perawat warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan untuk waktu tertentu, tidak memerlukan SIPP bersyarat.
<br />(3) Perawat warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Konsil.
<br />(4) Surat Ijin Perawat bersyarat dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan melalui program adaptasi.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 37
<br />
<br />SIPV atau SIPP tidak berlaku karena:
<br />a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
<br />b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
<br />c. atas permintaan yang bersangkutan;
<br />d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
<br />e. dicabut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Pejabat yang berwenang
<br />
<br />Pasal 38
<br />
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara uji kompetensi, registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil.
<br />
<br />
<br />BAB VIII
<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPERAWATAN
<br />
<br />Pasal 39
<br />
<br />Praktik keperawatan dilakukankan berdasarkan pada kesepakatan antara perawat dengan klien dalam upaya untuk peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, kuratif, dan pemulihan kesehatan.
<br />
<br />Pasal 40
<br />
<br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat yang telah memililki SIPV atau SIPP berwenang untuk:
<br />a. melaksanakan asuhan keperawatan yang didasari proses keperawatan terdiri dari pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan;
<br />b. tindakan keperawatan mandiri dan kolaborasi seperti yang tercantum dalam pasal 5
<br />c. dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
<br />d. kewenangan perawat yang mempunyai SIPV dan SIPP seperti yang tercantum pada pasal 6
<br />
<br />
<br />Pasal 41
<br />
<br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat yang telah memiliki SIPV berwenang untuk :
<br />a. melakukan tindakan keperawatan di bawah pengawasan perawat yang memiliki SIPP
<br />b. melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 huruf a harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
<br />
<br />Pasal 42
<br />
<br />(1) Praktik keperawatan dilakukan oleh perawat profesional (RN) dan perawat vokasional (LVN).
<br />(2) LVN dalam melaksanakan tindakan keperawatan di bawah pengawasan RN.
<br />(3) Perawat dapat mendelegasikan dan atau menyerahkan tugas kepada perawat lain yang setara kompetensi dan pengalamannya.
<br />
<br />Pasal 43
<br />
<br />Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan perawat yang tidak memiliki SIPV atau SIPP untuk melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan tersebut.
<br />
<br />
<br />Pasal 44
<br />Hak Klien
<br />
<br />Klien dalam menerima pelayanan pada praktik keperawatan, mempunyai hak:
<br />a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
<br />b. meminta pendapat perawat lain;
<br />c. mendapatkan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar
<br />d. menolak tindakan keperawatan; dan
<br />
<br />Pasal 45
<br />Kewajiban Klien
<br />
<br />Klien dalam menerima pelayanan pada praktik keperawatan, mempunyai kewajiban:
<br />a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
<br />b. mematuhi nasihat dan petunjuk perawat;
<br />c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
<br />d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
<br />
<br />Pasal 46
<br />Pengungkapan Rahasia Klien
<br />
<br />Pengungkapan rahasia klien hanya dapat dilakukan atas dasar:
<br />a. Persetujuan klien
<br />b. Perintah hakim pada sidang pengadilan
<br />c. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku
<br />
<br />Pasal 47
<br />Hak Perawat
<br />
<br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat mempunyai hak :
<br />a. Memperoleh perlindungan hukum dan profesi sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan Standar Operasional Prosedur (SOP);
<br />b. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan /atau keluarganya;
<br />c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan otonomi profesi;
<br />d. Memperoleh penghargaan sesuai dengan prestasi dan dedikasi
<br />e. Memperoleh fasilitas kerja yang mendukung pekerjaan perawat profesional
<br />f. Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya;
<br />g. Menerima imbalan jasa profesi
<br />
<br />Pasal 48
<br />Kewajiban Perawat
<br />
<br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat mempunyai kewajiban :
<br />a. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan SOP
<br />b. Merujuk klien fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau tindakan;
<br />c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien dan atau pasien kecuali untuk kepentingan hukum;
<br />d. Menghormati hak-hak klien sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku;
<br />e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan untuk menyelamatkan jiwa
<br />f. Menambah dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan keperawatan dalam upaya peningkatan profesionalisme.
<br />
<br />
<br />Pasal 49
<br />Praktik Mandiri
<br />
<br />(1) Praktik mandiri dapat dilakukan secara perorangan dan atau berkelompok dan atau kunjungan rumah
<br />(2) Perawat yang melakukan praktik mandiri mempunyai kewenangan sesuai yang tercantum pada pasal 5
<br />(3) Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada praktik mandiri meliputi:
<br />a. Tindakan terapi keperawatan, terapi komplementer, konseling, advokasi dan edukasi keperawatan
<br />b. Perawatan dirumah atau dalam bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku
<br />c. Pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan, khitan tanpa komplikasi.
<br />d. Pemberian pengobatan terbatas dan tindakan medik terbatas,
<br />(4) Perawat dalam melakukan praktik mandiri sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan:
<br />a. Memiliki tempat praktik yang memenuhi persyaratan kesehatan;
<br />b. Memiliki perlengkapan peralatan dan administrasi untuk melakukan asuhan keperawatan
<br />(5) Persyaratan perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan standar perlengkapan asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
<br />(6) Perawat yang telah mempunyai SIPP dan menyelenggarakan praktik mandiri wajib memasang papan nama praktik keperawatan.
<br />
<br />
<br />BAB IX
<br />PENGHARGAAN DAN PERLINDUNGAN
<br />
<br />Pasal 50
<br />Penghargaan
<br />
<br />(1) Perawat yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
<br />(2) Perawat yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
<br />
<br />Pasal 51
<br />
<br />(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.
<br />(2) Penghargaan dapat diberikan pada, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
<br />(3) Penghargaan kepada perawat dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
<br />(4) Penghargaan kepada perawat dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari perawat nasional, dan/atau hari besar lain.
<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />
<br />PERLINDUNGAN
<br />
<br />Pasal 52
<br />
<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau institusi sarana kesehatan wajib memberikan perlindungan terhadap perawat dalam melaksanakan tugas.
<br />(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
<br />(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dalam melaksanakan pekerjaan profesinya.
<br />(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat perawat dalam melaksanakan tugas.
<br />(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />BAB X
<br />
<br />PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PENGAWASAN
<br />
<br />Pasal 53
<br />
<br />Pemerintah, Konsil , dan Organisasi Profesi membina, mengembangkan dan mengawasi praktik keperawatan sesuai dengan fungsi serta tugas masing-masing.
<br />
<br />Pasal 54
<br />
<br />(1) Pembinaan dan pengembangan perawat meliputi pembinaan profesi dan karir
<br />(2) Pembinaan dan pengembangan profesi perawat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kompetensi profesional dan kepribadian
<br />(3) Pembinaan dan pengembangan profesi perawat dilakukan melalui Jenjang Karir Perawat.
<br />(4) Pembinaan dan pengembangan karir perawat sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat /Peringkat dan promosi.
<br />
<br />
<br />Pasal 55
<br />
<br />(1) Pemerintah, konsil dan organisasi profesi membina serta mengembangkan kualifikasi dan kompetensi perawat pada institusi baik pemerintah maupun swasta;
<br />(2) Pemerintah memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalisme perawat pada institusi pelayanan pemerintah;
<br />(3) Pemerintah menetapkan kebijakan anggaran untuk meningkatkan profesionalisme perawat pada institusi pelayanan swasta
<br />
<br />
<br />Pasal 56
<br />
<br />Pembinaan, pengembangan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53, diarahkan untuk:
<br />a. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.
<br />b. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan perawat
<br />c. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat;
<br />d. Melindungi perawat terhadap keselamatan dan risiko kerja.
<br />
<br />Pasal 57
<br />
<br />(1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat yang telah memiliki SIPV atau SIPP.
<br />(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
<br />
<br />Pasal 58
<br />Dalam rangka pembinaan dan pengawasan perawat yang menyelenggarakan praktik keperawatan dapat dilakukan supervisi dan audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 59
<br />Sanksi Administratif dan Disiplin
<br />
<br />(1) Perawat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 1 (satu) tahun
<br />(2) Perawat yang dinyatakan melanggar disiplin Profesi dikenakan sanksi sebagai berikut:
<br />a. Pemberian Peringatan Tertulis
<br />b. Kewajiban mengikuti Pendidikan atau Pelatihan pada Institusi Pendidikan Keperawatan.
<br />c. Rekomendasi Pencabutan Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Perawat
<br />(3) Pelanggaran disiplin sebagai mana dimaksud ayat (2) diteliti dan ditetapkan oleh konsil.
<br />(4) Pencabutan Surat Izin Perawat sebagaimana dimaksud ayat (2) c dapat berupa:
<br />a. Pelanggaran ringan dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 6 (enam) bulan
<br />b. Pelanggaran sedang dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 1 (satu) tahun
<br />c. Pelanggaran berat dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 3 (tiga) tahun
<br />
<br />(5) Sanksi Administratif terhadap pelanggaran disiplin sebagaimana dimaksud ayat (4) dilakukan oleh Kepala Dinas Kab/Kota atau Pejabat yang berwenang setelah dilakukan penelitian dan usul dari Komite Disiplin Keperawatan Konsil.
<br />
<br />Pasal 60
<br />Sanksi Pidana
<br />
<br />Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat yang telah memiliki SIPV atau SIPP dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 61
<br />
<br />Institusi pelayanan kesehatan, organisasi, perorangan yang dengan sengaja mempekerjakan perawat yang tidak memiliki SIPV atau SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
<br />
<br />
<br />Pasal 62
<br />
<br />Perawat yang dengan sengaja:
<br />(1). tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 huruf b sampai dengan huruf e
<br />(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 63
<br />
<br />Penetapan sanksi pidana harus didasarkan pada motif pelanggaran dan berat ringannya risiko yang ditimbulkan sebagai akibat pelanggaran.
<br />
<br />BAB XI
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />
<br />Pasal 64
<br />
<br />(1). Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik keperawatan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.
<br />(2). Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, ijin praktik yang diberikan sesuai KepMenKes Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan, masih tetap berlaku sampai berakhirnya izin praktik tersebut sesuai ketentuan.
<br />
<br />Pasal 65
<br />
<br />Dengan telah diberlakukannya Undang Undang Keperawatan, sebelum terbentuknya Konsil Keperawatan Indonesia maka dalam kegiatan perijinan dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />BAB XII
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />
<br />Pasal 66
<br />
<br />Konsil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan.
<br />
<br />
<br />Pasal 67
<br />
<br />Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
<br />
<br />
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Disahkan di Jakarta
<br />Pada tanggal …………………
<br />
<br />PPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />ttd
<br />
<br />SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
<br />
<br />Diundangkan di Jakarta
<br />Pada Tanggal ……………….
<br />SEKRETARIS NEGARA
<br />REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />ttd
<br />
<br />HATTA RAJASA
<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ……………
<br />NOMOR ………………
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />PENJELASAN
<br />Rancangan
<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR ……………………….
<br />
<br />TENTANG
<br />PRAKTIK KEPERAWATAN
<br />
<br />BAB I
<br />
<br />KETENTUAN UMUM
<br />
<br />Pasal 1
<br />
<br />Ayat (1) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (2) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (3) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (4) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (5) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (6) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (7) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (8) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (9) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (10) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (11) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (12) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (13) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (14) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (15) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (16) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (17) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (18) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (19) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (20) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (21) ;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />
<br />BAB II
<br />
<br />ASAS DAN TUJUAN
<br />
<br />Pasal 2
<br />Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan;
<br />a. nilai ilmiah adalah bahwa praktik keperawatan harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik.
<br />b. Nilai moral (Etika dan etiket) adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus mengacu pada prinsip-prinsip moral antara lain beneficience, nonmaleficience, veracity, justice, non-diskriminatif dan otonomi.
<br />c. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
<br />d. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus mampu memberikan pelayanan yang dan tidak diskriminatif, merata, terjangkau dan bermutu dalam konteks pelayanan kesehatan.
<br />e. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik keperawatan memberikan perlakuan yang memenuhi hak azazi manusia sebagai penerima pelayanan yaitu hak memperoleh pelayanan yang aman, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk didengar serta hak untuk memilih.
<br />f. Keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan atas keseimbangan antara hak dan kewajiban penerima dan pemberi pelayanan.
<br />g. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan dilakukan dengan kehati-hatian sesuai dengan standard praktik keperawatan.
<br />
<br />Pasal 3
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />BAB III
<br />
<br />LINGKUP PRAKTIK KEPERAWATAN
<br />
<br />
<br />Pasal 4 ;
<br /> Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 5
<br />Ayat (1)
<br />Asuhan keperawatan diberikan akibat kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, akibat kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan untuk berfungsi optimal, dan kurangnya kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri
<br />Ayat (2) Cukup Jelas
<br />
<br />Ayat (3)
<br />
<br />Huruf a ;
<br />cukup jelas
<br />Huruf b ;
<br />cukup jelas
<br />Huruf c.
<br />Pegobatan adalah pemberian obat-obatan (kecuali obat-obat yang berlabel merah
<br />tidak termasuk obat-obat yang masuk dalam DOA /Daftar obat Apotik)
<br />
<br />Tindakan medik terbatas yang dimaksud adalah tindakan medik termasuk pengobatan dalam rangka penyembuhan dan pemulihan penyakit-penyakit ringan yang lazim timbul di masyarakat di suatu wilayah (common illness) yang dilakukan oleh perawat professional yang kompeten sesuai dengan Protokol.
<br />
<br />Pasal 6
<br /> Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 7
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB IV
<br />KONSIL KEPERAWATAN INDONESIA
<br />
<br />Bagian Kesatu
<br />Nama dan Kedudukan
<br />
<br />Pasal 8
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 9
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Kedua
<br />Fungsi, Tugas dan Wewenang Konsil
<br />Pasal 10
<br />
<br />Pasal 11
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Ayat (1)
<br />Huruf b
<br />Yang dimaksud dengan standar pendidikan profesi keperawatan adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistim pendidikan nasional.
<br />
<br />Penyusunan standar pendidikan profesi keperawatan dilakukan oleh organisasi profesi termasuk kolegium
<br />
<br />Pasal 12
<br />Cukup Jelas
<br />Pasal 13
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Bagian Ketiga
<br />Susunan Organisasi dan Keanggotaan
<br />Pasal 14
<br />Cukup Jelas
<br />Pasal 15
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 16;
<br />Ayat (1) ;
<br />Uji kompetensi adalah suatu proses penilaian terhadap perawat yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan serta sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan.
<br />
<br />Pasal 17 ;
<br />Ayat (1);
<br />cukup jelas
<br />
<br />Ayat (2);
<br />Yang dimaksud dengan anggota konsil yang dipilih sebagaimana huruf (b) adalah pemilihan melalui mekanisme pencalonan dari 3 wilayah, masing-masing 3 orang kemudian dilakukan pemilihan secara serempak di tiga wilayah utama yaitu; barat meliputi pulau sumatera dan Jawa. Wilayah tengah meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali dan NTB. Wilayah timur meliputi NTT, Kepulauan Maluku dan Papua.
<br />
<br />Pasal 18
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 19
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 20
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 21
<br />Cukup Jelas
<br />Pasal 22
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />Bagian Keempat
<br />Tata Kerja
<br />
<br />Pasal 23
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 24
<br />Cukup Jelas
<br />Bagian Kelima
<br />Pembiayaan
<br />
<br />Pasal 25
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB V
<br />STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN
<br />
<br />Pasal 26
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB VI
<br />PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPERAWATAN BERKELANJUTAN
<br />
<br />Pasal 27
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 28
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB VII
<br />REGISTRASI dan LISENSI PERAWAT
<br />
<br />
<br />Pasal 29
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 30
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 31
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 32
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 33
<br />Ayat (1);
<br /> Cukup jelas
<br />Ayat (2);
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (3);
<br />Cukup jelas
<br />
<br />
<br />Pasal 34
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 35
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 36
<br />
<br />Ayat (1);
<br /> Cukup jelas
<br />Ayat (2);
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Ayat (3);
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Pasal 37
<br />
<br />Huruf a, b, c, d ; cukup jelas
<br />
<br />Huruf e ;
<br />Pencabutan SIPP oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota karena perawat dinyatakan melanggar ketentuan administratife atau disiplin.
<br />
<br />Pasal 38
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB VIII
<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPERAWATAN
<br />Pasal 39
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 40
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 41
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 42;
<br />
<br />Ayat (1);
<br /> Cukup jelas
<br />Ayat (2);
<br />Pengawasan yang dilakukan oleh perawat professional kepada perawat vokasional adalah dimaksudkan agar praktik keperawatan berjalan dengan aman sesuai standar profesi dan dalam rangka melindungi masyarakat memperoleh pelayanan keperawatan yang aman.
<br />
<br />Ayat (3);
<br />Pendelegasian kepada perawat yang setara kemampuan dan pengalamanya dimaksudkan agar praktik keperawatan yang diberikan berjalan dengan aman.
<br />
<br />
<br />Pasal 44;
<br />Cukup jelas
<br />
<br />Pasal 45
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 46
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 47
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 48
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 49
<br />
<br />Ayat (3)
<br />Hurup d
<br />
<br />
<br />BAB IX
<br />PENGHARGAAN DAN PERLINDUNGAN
<br />
<br />Pasal 50
<br />Cukup Jelas
<br />Pasal 51
<br /> Cukup Jelas
<br />Pasal 52
<br /> Cukup Jelas
<br />
<br />
<br />BAB IX
<br />PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PENGAWASAN
<br />
<br />Pasal 53
<br />Cukup Jelas
<br />Pasal 54
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 55
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 56
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 57
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 58
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 59
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 60
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 61
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 62
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 63
<br /> Cukup Jelas
<br />
<br />BAB X
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />
<br />Pasal 64
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 65
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />BAB XI
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />
<br />Pasal 66
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />Pasal 67
<br />Cukup Jelas
<br />
<br />TAMBAHAN LEMBAR NEGARA
<br />REPUBLIK INDONESIA
<br />TAHUN 2009 NOMOR……..
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />RANCANGAN
<br />UNDANG UNDANG KEPERAWATAN
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />PERSATUAN PERAWAT NASIONAL INDONESIA
<br />Jl. Jaya Mandala Raya No. 15 Komplek Patra Kuningan Jakarta Selatan
<br />Telpon : 021-8315069, faks : 021-8315070
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-67944989854002682722009-08-18T00:47:00.000-07:002009-10-13T10:24:25.586-07:00Bahaya Peningkatan Suhu Tubuh dan Strategi PenanggulangannyaBanyak penyakit yang mempunyai gejala peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh yang tinggi dan terus menerus dapat mengakibatkan heat stroke atau dikenal dimasyarakat dengan step atau kejang panas koma dan kematian. Sehingga pemantauan suhu tubuh merupakan hal yang sangat penting dalam merawat anggota keluarga yang menderita peningkatan suhu tubuh atau demam.
<br />
<br />Hal – hal yang terpenting saat ada keluarga yang sakit dengan gejala demam adalah<span class="fullpost"> pertama mengetahui batasan suhu tubuh yang normal atau tidak normal termasuk suhu tubuh yang membahayakan. Kedua: tersedianya alat pengukur suhu tubu ( thermometer) di rumah, untuk mengetahui suhu yang sebenarnya yang dialami penderita, jangan menggunakan tangan kita menjadi tolok ukur untuk menentukan seseorang panas atau tidak. Ketiga persediaan obat penurun panas untuk diberikan jika ada anggota keluarga kita tiba – tiba suhu tubuhnya meningkat dengan ekstrim.
<br />
<br />Batasan suhu tubuh pada beberapa buku sering terjadi perbedaan walaupun perbedaannya tidak terlalu tinggi, berikut batasan suhu tubuh dibagi menjadi :
<br />Batas normal = 36 – 37 o C
<br />Pyrexia (suhu tubuh tinggi ) = 38 - 40 o C
<br />Hyperpyrexia ( suhu tubuh sangat tinggi) = 40.1 o C dan diatasnya
<br /><span style="font-weight:bold;">Heat Stroke = Biasanya terjadi sekitar 41 – 42 o C</span>
<br />Kematian = 43 o C dan diatasnya
<br />Hypotermia = 35 o C dan dibawahnya
<br />Kematian = 20 o C
<br />Heat stroke adalah potensi kondisi yang serius yang disebabkan oleh suhu tubuh yang tinggi secara terus menerus yang selanjutnya dapat menjadi koma dan kematian.
<br />Adapun strategi untuk menurunkan suhu tubuh adalah :
<br />1. Tidak menggunakan selimut yang tebal
<br />2. Gunakan pakaian yang menyerap keringat
<br />3. Anjurkan banyak minum
<br />4. Kompres
<br />5. Observasi suhu tubuh jika setelah dilakukan tindakan suhu tubuh tidak turun 1 oC perjam maka berpotensi untuk terjadinya shock
<br />6. Berikan obat antipiretik ( pereda panas ) seperti parasetamol dll
<br />
<br />Sebagai keluarga atau orang tua jangan sampai kita luput dari bahaya peningkatan suhu tubuh karena jika terjadi heat stroke penderita berisiko ancaman kematian dan biaya untuk pengobatan juga akan semakin tinggi.
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-78274123846362976622009-07-03T06:51:00.000-07:002009-07-03T06:58:01.960-07:00Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan No.32PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR 32 TAHUN 1996
<br />TENTANG
<br />TENAGA KESEHATAN
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
<br />Menimbang:
<br />bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang
<br />Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu
<br />menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga
<br />Kesehatan.
<br />Mengingat:<span class="fullpost">
<br />1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
<br />2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
<br />Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).
<br />=
<br />MEMUTUSKAN:
<br />Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA
<br />KESEHATAN
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />Pasal 1
<br />Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
<br />1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
<br />bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
<br />2
<br />melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
<br />memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
<br />2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
<br />upaya kesehatan;
<br />3. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan
<br />meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
<br />masyarakat;
<br />4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
<br />BAB II
<br />JENIS TENAGA KESEHATAN
<br />Pasal 2
<br />(1) Tenaga kesehatan terdiri dari:
<br />a. tenaga medis;
<br />b. tenaga keperawatan;
<br />c. tenaga kefarmasian;
<br />d. tenaga kesehatan masyarakat;
<br />e. tenaga gizi;
<br />f. tenaga keterapian fisik;
<br />g. tenaga keteknisian medis.
<br />(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
<br />(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
<br />(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
<br />(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog
<br />kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator
<br />kesehatan dan sanitarian.
<br />(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
<br />(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis
<br />wicara.
<br />(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi,
<br />teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik
<br />prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
<br />3
<br />BAB III
<br />PERSYARATAN
<br />Pasal 3
<br />Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
<br />kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
<br />Pasal 4
<br />(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga
<br />kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
<br />(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
<br />bagi tenaga kesehatan masyarakat.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) diatur oleh Menteri.
<br />Pasal 5
<br />(1) Selain ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tenaga medis dan
<br />tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya
<br />dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan
<br />adaptasi.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) diatur oleh Menteri.
<br />BAB IV
<br />PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Perencanaan
<br />Pasal 6
<br />(1) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk
<br />memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh
<br />masyarakat.
<br />(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
<br />perencanaan nasional tenaga kesehatan.
<br />(3) Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan
<br />faktor:
<br />4
<br />a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
<br />b. sarana kesehatan;
<br />c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan
<br />pelayanan kesehatan.
<br />(4) Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
<br />(2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
<br />Bagian Kedua
<br />Pengadaan
<br />Pasal 7
<br />Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di
<br />bidang kesehatan.
<br />Pasal 8
<br />(1) Pendidikan di bidang kesehatan dilaksanakan di lembaga pendidikan yang
<br />diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
<br />(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud
<br />dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />Pasal 9
<br />(1) Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan
<br />keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
<br />(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai
<br />dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
<br />Pasal 10
<br />(1) Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti
<br />pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
<br />(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab
<br />atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan
<br />dan/atau bekerja pada sarana kesehatan yang bersangkutan untuk
<br />meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang
<br />kesehatan.
<br />5
<br />Pasal 11
<br />(1) Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga
<br />kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
<br />(2) Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah
<br />dan/atau masyarakat.
<br />Pasal 12
<br />(1) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
<br />dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan
<br />yang berlaku.
<br />(2) Pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat
<br />dilaksanakan atas dasar ijin Menteri.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (2) diatur oleh Menteri.
<br />Pasal 13
<br />(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:
<br />a. calon peserta pelatihan;
<br />b. tenaga kepelatihan;
<br />c. kurikulum;
<br />d. sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan
<br />penyelenggaraan pelatihan;
<br />e. sarana dan prasarana.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan
<br />sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
<br />Pasal 14
<br />(1) Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di
<br />bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata:
<br />a. tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 9 ayat (1);
<br />b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
<br />ayat (1);
<br />(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1), dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
<br />6
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin
<br />pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
<br />Menteri.
<br />Bagian Ketiga
<br />Penempatan
<br />Pasal 15
<br />(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat,
<br />Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada
<br />sarana kesehatan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
<br />(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
<br />dilakukan dengan cara masa bakti.
<br />(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />Pasal 16
<br />Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
<br />dan ayat (2) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.
<br />Pasal 17
<br />Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan dengan
<br />memperhatikan:
<br />a. kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;
<br />b. lamanya penempatan;
<br />c. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
<br />d. prioritas sarana kesehatan.
<br />Pasal 18
<br />(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada:
<br />a. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
<br />b. sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang
<br />ditunjuk oleh Pemerintah;
<br />c. lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;
<br />d. lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
<br />7
<br />(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan
<br />dari pimpinan instansi terkait.
<br />Pasal 19
<br />(1) Tenaga kesehatan yang telah melaksanakan masa bakti diberikan surat
<br />keterangan dari Menteri.
<br />(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
<br />persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk memperoleh ijin
<br />menyelenggarakan upaya kesehatan pada sarana kesehatan.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian surat keterangan sebagaimana
<br />dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
<br />Pasal 20
<br />Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa:
<br />a. pegawai negeri; atau
<br />b. pegawai tidak tetap.
<br />BAB V
<br />STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM
<br />Bagian Kesatu
<br />Standar Profesi
<br />Pasal 21
<br />(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
<br />mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
<br />(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
<br />ditetapkan oleh Menteri.
<br />Pasal 22
<br />(1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya
<br />berkewajiban untuk:
<br />a. menghormati hak pasien;
<br />b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
<br />8
<br />c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan
<br />yang akan dilakukan;
<br />d. d meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
<br />e. membuat dan memelihara rekam medis.
<br />(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
<br />lanjut oleh Menteri.
<br />Pasal 23
<br />(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
<br />diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
<br />mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi
<br />karena kesalahan atau kelalaian.
<br />(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
<br />peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />Bagian Kedua
<br />Perlindungan Hukum
<br />Pasal 24
<br />(1) Perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan
<br />tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
<br />(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
<br />lanjut oleh Menteri.
<br />BAB VI
<br />PENGHARGAAN
<br />Pasal 25
<br />(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana kesehatan atas dasar
<br />prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada negara atau meninggal
<br />dunia dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan.
<br />(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan oleh
<br />Pemerintah dan/atau masyarakat.
<br />(3) Bentuk penghargaan dapat berupa kenaikan pangkat, tanda jasa, uang atau
<br />bentuk lain.
<br />9
<br />BAB VII
<br />IKATAN PROFESI
<br />Pasal 26
<br />(1) Tenaga kesehatan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk
<br />meningkatkan dan/atau mengembangkan pengetahuan dan keterampilan,
<br />martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
<br />(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
<br />dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
<br />yang berlaku.
<br />BAB VIII
<br />TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING
<br />Pasal 27
<br />(1) Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya
<br />kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.
<br />BAB IX
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />Bagian Kesatu
<br />Pembinaan
<br />Pasal 28
<br />(1) Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu
<br />pengabdian profesi tenaga kesehatan.
<br />(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
<br />pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.
<br />Pasal 29
<br />(1) Pembinaan karier tenaga kesehatan meliputi kenaikan pangkat, jabatan dan
<br />pemberian penghargaan.
<br />10
<br />(2) Pembinaan karier tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
<br />dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
<br />yang berlaku.
<br />Pasal 30
<br />(1) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan menjadi tanggung jawab
<br />penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
<br />(2) Pembinaan disiplin tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
<br />(1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan
<br />yang berlaku.
<br />Pasal 31
<br />(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
<br />(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
<br />ayat (1) dilaksanakan melalui:
<br />a. bimbingan;
<br />b. pelatihan di bidang kesehatan;
<br />c. penetapan standar profesi tenaga kesehatan.
<br />Bagian Kedua
<br />Pengawasan
<br />Pasal 32
<br />Menteri melakukan pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalam
<br />melaksanakan tugas profesinya.
<br />Pasal 33
<br />(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dapat mengambil tindakan disiplin
<br />terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan
<br />standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
<br />(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
<br />a. teguran;
<br />b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
<br />(3) Pengambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana
<br />dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan
<br />ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />11
<br />BAB X
<br />KETENTUAN PIDANA
<br />Pasal 34
<br />Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan
<br />tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai
<br />dengan ketentuan Pasal 84 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan.
<br />Pasal 35
<br />Berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
<br />Kesehatan, barangsiapa dengan sengaja:
<br />a. melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
<br />4 ayat (1);
<br />b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
<br />c. melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga
<br />kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
<br />(1);
<br />d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat
<br />(1); dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
<br />BAB XI
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />Pasal 36
<br />Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan peraturan
<br />perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah
<br />ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
<br />berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
<br />Pasal 37
<br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
<br />Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
<br />Indonesia.
<br />12
<br />Ditetapkan Di Jakarta,
<br />Pada Tanggal 22 Mei 1996
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
<br />Ttd.
<br />SOEHARTO
<br />Diundangkan Di Jakarta,
<br />Pada Tanggal 22 Mei 1996
<br />MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA
<br />REPUBLIK INDONESIA,
<br />Ttd.
<br />MOERDIONO
<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1996 NOMOR 49NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-70034876127510356462009-07-03T06:49:00.000-07:002009-07-03T06:51:05.794-07:00Undang - undang Perlindungan Konsumen No.8UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR 8 TAHUN 1999
<br />TENTANG
<br />PERLINDUNGAN KONSUMEN
<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
<br />Menimbang:
<br />a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;<span class="fullpost">
<br />b. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung, tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan / atau jasa yang, memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan / atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
<br />c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globilisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
<br />d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab;
<br />e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
<br />f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
<br />g. bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
<br />Mengingat:
<br />Pasal 5 Ayat 1, Pasal 21 Ayat 1, Pasal 27, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;
<br />Dengan persetujuan
<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
<br />MEMUTUSKAN:
<br />Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />Pasal 1
<br />Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
<br />1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
<br />2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
<br />3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
<br />4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.
<br />5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
<br />6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.
<br />7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
<br />8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.
<br />9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
<br />10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
<br />11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
<br />12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
<br />13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
<br />BAB II
<br />ASAS DAN TUJUAN
<br />Pasal 2
<br />Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
<br />Pasal 3
<br />Perlindungan konsumen bertujuan:
<br />a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
<br />b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
<br />c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
<br />d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
<br />e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
<br />f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
<br />BAB III
<br />HAK DAN KEWAJIBAN
<br />Bagian Pertama
<br />Hak dan Kewajiban Konsumen
<br />Pasal 4
<br />Hak konsumen adalah:
<br />a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
<br />b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
<br />c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
<br />d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
<br />e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
<br />f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
<br />g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
<br />h. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
<br />i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
<br />Pasal 5
<br />Kewajiban konsumen adalah:
<br />a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
<br />b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
<br />c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
<br />d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
<br />Bagian Kedua
<br />Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
<br />Pasal 6
<br />Hak pelaku usaha adalah:
<br />a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
<br />b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
<br />c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
<br />d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
<br />e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
<br />Pasal 7
<br />Kewajiban pelaku usaha adalah:
<br />a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
<br />b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
<br />c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
<br />d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
<br />e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
<br />f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
<br />g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
<br />BAB IV
<br />PERDUATAN YANG DILARANG
<br />BAGI PELAKU USAHA
<br />Pasal 8
<br />1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
<br />a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
<br />b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
<br />c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
<br />d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
<br />e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
<br />f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
<br />g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
<br />h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
<br />i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
<br />j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
<br />2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
<br />3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap dan benar.
<br />4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
<br />Pasal 9
<br />1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
<br />a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
<br />b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
<br />c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
<br />d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
<br />e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
<br />f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
<br />g. barang tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
<br />h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
<br />i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
<br />j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
<br />k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
<br />2. Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
<br />3. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
<br />Pasal 10
<br />Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
<br />a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
<br />b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
<br />c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
<br />d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
<br />e. bahwa penggunaan barang dan/atau jasa.
<br />Pasal 11
<br />Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
<br />a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
<br />b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
<br />c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
<br />d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
<br />e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;
<br />f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
<br />Pasal 12
<br />Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
<br />Pasal 13
<br />1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
<br />2. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
<br />Pasal 14
<br />Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
<br />a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
<br />b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
<br />c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
<br />d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
<br />Pasal 15
<br />Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
<br />Pasal 16
<br />Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
<br />a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
<br />b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
<br />Pasal 17
<br />1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
<br />a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
<br />b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
<br />c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
<br />d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
<br />e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
<br />f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
<br />2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
<br />BAB V
<br />KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
<br />Pasal 18
<br />1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
<br />a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
<br />b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
<br />c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
<br />d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
<br />e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
<br />f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
<br />g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
<br />h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
<br />2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
<br />3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
<br />4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
<br />BAB VI
<br />TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
<br />Pasal 19
<br />1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
<br />2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
<br />4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
<br />5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
<br />Pasal 20
<br />Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
<br />Pasal 21
<br />1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
<br />2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
<br />Pasal 22
<br />Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 4, Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dari tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.
<br />Pasal 23
<br />Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 1, ayat 2, ayat 3, dan ayat 4, dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
<br />Pasal 24
<br />1. Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
<br />a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;
<br />b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
<br />2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
<br />Pasal 25
<br />1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
<br />2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat l bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
<br />a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
<br />b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
<br />Pasal 26
<br />Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
<br />Pasal 27
<br />Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
<br />a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan unluk diedarkan;
<br />b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
<br />c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
<br />d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
<br />e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
<br />Pasal 28
<br />Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
<br />BAB VII
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />Bagian Pertama
<br />Pembinaan
<br />Pasal 29
<br />1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
<br />2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
<br />3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
<br />4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 2 meliputi upaya untuk:
<br />a. terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
<br />b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
<br />c. meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
<br />5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Kedua
<br />Pengawasan
<br />Pasal 30
<br />1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
<br />2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
<br />3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
<br />4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan rnenteri teknis.
<br />6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />BAB VIII
<br />BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
<br />Bagian Pertama
<br />Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
<br />Pasal 31
<br />Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
<br />Pasal 32
<br />Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
<br />Pasal 33
<br />Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
<br />Pasal 34
<br />1. Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
<br />a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
<br />b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
<br />c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
<br />d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
<br />e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
<br />f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
<br />g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
<br />2. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
<br />Bagian Kedua
<br />Susunan Organisasi dan Keanggotaan
<br />Pasal 35
<br />1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.
<br />2. Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
<br />3. Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
<br />4. Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
<br />Pasal 36
<br />Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
<br />a. pemerintah;
<br />b. pelaku usaha;
<br />c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
<br />d. akademisi; dan
<br />e. tenaga ahli.
<br />Pasal 37
<br />Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah: a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
<br />Pasal 38
<br />Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
<br />a. meninggal dunia;
<br />b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
<br />c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
<br />d. sakit secara terus menerus;
<br />e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
<br />f. diberhentikan.
<br />Pasal 39
<br />1. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.
<br />2. Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
<br />3. Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
<br />Pasal 40
<br />1. Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan lbu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
<br />2. Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
<br />Pasal 41
<br />Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
<br />Pasal 42
<br />Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />Pasal 43
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />BAB IX
<br />LEMBAGA PFRLINDUNGAN KONSUMEN
<br />SWADAYA MASYARAKAT
<br />Pasal 44
<br />1. Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
<br />2. Lernbaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
<br />3. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
<br />a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
<br />b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
<br />c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
<br />d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
<br />e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.
<br />4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
<br />BAB X
<br />MENYELESAIAN SENGKETA
<br />Bagian Pertama
<br />Umum
<br />Pasal 4
<br />1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
<br />2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
<br />3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menhilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
<br />4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang, bersengketa.
<br />Pasal 46
<br />1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
<br />a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
<br />b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
<br />c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
<br />d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
<br />2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
<br />3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah.
<br />Bagian Kedua
<br />Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
<br />Pasal 47
<br />Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
<br />Bagian Ketiga
<br />Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
<br />Pasal 48
<br />Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
<br />BAB XI
<br />BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
<br />Pasal 49
<br />1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
<br />2. Untuk, dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
<br />a. warga negara Republik Indonesia;
<br />b. berbadan sehat;
<br />c. berkelakuan baik;
<br />d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
<br />e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
<br />f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
<br />3. Anggota sebagairnana dimaksud pada ayat 2 terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
<br />4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat 3 berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
<br />5. Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
<br />Pasal 50
<br />Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 1 terdiri atas:
<br />a. ketua merangkap anggota;
<br />b. wakil ketua merangkap anggota;
<br />c. anggota.
<br />Pasal 51
<br />1. Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat.
<br />2. Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.
<br />3. Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
<br />Pasal 52
<br />Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
<br />a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
<br />b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
<br />c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
<br />d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
<br />e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
<br />f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
<br />g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
<br />h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
<br />i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
<br />j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
<br />k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
<br />l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
<br />m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
<br />Pasal 53
<br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
<br />Pasal 54
<br />1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
<br />2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat 3, serta dibantu oleh seorang panitera.
<br />3. Putusan majelis bersifat final dan mengikat.
<br />4. Ketentuan teknis lebih lanjut pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.
<br />Pasal 55
<br />Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
<br />Pasal 56
<br />1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
<br />2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
<br />3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
<br />4. Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 3 tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik unluk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
<br />5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 3 merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
<br />Pasal 57
<br />Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 3 dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
<br />Pasal 58
<br />1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 2 dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.
<br />2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat 1, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
<br />3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
<br />BAB XII
<br />PENYIDIKAN
<br />Pasal 59
<br />1. Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
<br />2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil ,sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang:
<br />a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
<br />b. melakukan pemeriksaan terhadap orang, atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
<br />c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
<br />d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
<br />e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
<br />f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
<br />3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
<br />4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
<br />BAB XIII
<br />SANKSI
<br />Bagian Pertama
<br />Sanksi Administratif
<br />Pasal 60
<br />1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
<br />2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
<br />3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
<br />Bagian Kedua
<br />Sanksi Pidana
<br />Pasal 61
<br />Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
<br />Pasal 62
<br />1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
<br />2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
<br />3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
<br />Pasal 63
<br />Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
<br />a. perampasan barang tertentu;
<br />b. pengumuman keputusan hakim;
<br />c. pembayaran ganti rugi;
<br />d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
<br />e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
<br />f. pencabutan izin usaha.
<br />BAB XIV
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />Pasal 64
<br />Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
<br />BAB XV
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />Pasal 65
<br />Undang-undang ini berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
<br /> Disahkan di Jakarta
<br />pada tanggal 20 April 1999
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />ttd.
<br />BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
<br />Diundangkan di Jakarta
<br />pada tanggal 20 April 1999
<br />MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
<br />ttd.
<br />AKBAR TANDJUNG
<br />
<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
<br />
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-41958356200337982962009-07-03T06:45:00.000-07:002009-07-03T06:47:55.055-07:00Undang - Undang Kesehatan No. 23UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMER 23 TAHUN 1992
<br />TENTANG
<br /> KESEHATAN
<br />
<br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
<br />
<br />Presiden Republik Indonesia,
<br />
<br />Menimbang :
<br />a. bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;<span class="fullpost">
<br /> bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia;
<br />c. bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan di atas, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
<br />d. bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undang- undang di bidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan;
<br />e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan;
<br />
<br />Mengingat :
<br />Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
<br />
<br />Dengan persetujuan
<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />MEMUTUSKAN:
<br />
<br />Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG KESEHATAN.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />
<br />Pasal 1
<br />Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
<br />1. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
<br />2. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
<br />3. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
<br />4. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
<br />5. Transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
<br />6. Implan adalah bahan berupa obat dan atau alat kesehatan yang ditanamkan ke dalam jaringan tubuh untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan, dan atau kosmetika.
<br />7. Pengobatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
<br />8. Kesehatan matra adalah upaya kesehatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik dan mental guna menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah secara bermakna baik lingkungan darat, udara, angkasa, maupun air.
<br />9. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
<br />10.Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
<br />11. Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
<br />12. Zat aktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis.
<br />13. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep doktcr, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
<br />14. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyclenggarakan upaya kesehatan.
<br />15. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat adalah suatu cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan yang paripurna berdasarkan asas usaha bersama dan kekeluargaan, yang berkesinambungan dan dengan mutu yang terjamin serta pembiayaan yang dilaksanakan secara praupaya.
<br />
<br />BAB II
<br />ASAS DAN TUJUAN
<br />
<br />Pasal 2
<br />Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri.
<br />
<br />Pasal 3
<br />Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
<br />
<br />BAB III
<br />HAK DAN KEWAJIBAN
<br />
<br />Pasal 4
<br />Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
<br />
<br />Pasal 5
<br />Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya.
<br />
<br />BAB IV
<br />TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
<br />
<br />Pasal 6
<br />Pemerintah bertugas mengatur, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan.
<br />
<br />Pasal 7
<br />Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
<br />
<br />Pasal 8
<br />Pemerintah bertugas menggerakkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan keschatan bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.
<br />
<br />
<br />Pasal 9
<br />Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
<br />
<br />BAB V
<br />UPAYA KESEHATAN
<br />
<br />Bagian Pertama
<br />Umum
<br />
<br />Pasal 10
<br />Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menycluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
<br />
<br />Pasal 11
<br />(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilaksanakan melalui kegiatan :
<br />a. kesehatan keluarga;
<br />b. perbaikan gizi;
<br />c. pengamanan makanan dan minuman;
<br />d. kesehatan lingkungan;
<br />e. kesehatan kerja;
<br />f. kesehatan jiwa;
<br />g. pemberantasan penyakit;
<br />h. penyembuhan penyakit dan pemulihan kcschatan;
<br />i. penyuluhan kesehatan masyarakat;
<br />j. pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
<br />k. pengamanan zat adiktif;
<br />l. kesehatan sekolah;
<br />m. kesehatan olahraga;
<br />n. pengobatan tradisional
<br />o. kesehatan mata.
<br />(2) Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh sumber daya kesehatan.
<br />
<br />Bagian Kedua
<br />Kesehatan Keluarga
<br />
<br />Pasal 12
<br />(1) Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat, kecil, bahagia, dan sejahtera.
<br />(2) Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.
<br />
<br />
<br />Pasal 13
<br />Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran data rangka menciptakan ketuarga yang sehat dan harmonis.
<br />
<br />Pasal 14
<br />Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan.
<br />
<br />Pasal 15
<br />(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
<br />(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
<br />a. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut;
<br />b. oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
<br />c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya;
<br />d. pada sarana kesehatan tertentu.
<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 16
<br />(1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.
<br />(2) Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
<br />a. hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
<br />b. dilakukan oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
<br />c. pada sarana kesehatan tertentu.
<br />(3) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 17
<br />
<br />(1) Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak.
<br />(2) Kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, masa balita, usia prasekolah, dan usia sekolah.
<br />
<br />
<br />Pasal 18
<br />(1) Setiap keluarga melakukan dan mengembangkan kesehatan keluarga dalam keluarganya.
<br />(2) Pemerintah membantu pelaksanaan dan mengembangkan kesehatan keluarga melalui penyediaan sarana dan prasarana atau dengan kegiatan yang menunjang peningkatan kesehatan keluarga.
<br />
<br />Pasal 19
<br />
<br />(1) Kesehatan manusia usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap produktif.
<br />(2) Pemerintah membantu penyelenggaraan upaya kesehatan manusia usia lanjut untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara optimal.
<br />
<br />Bagian Ketiga
<br />Perbaikan Gizi
<br />
<br />Pasal 20
<br />(1) Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi.
<br />(2) Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan, dan atau pemulihan akibat gizi salah.
<br />
<br />Bagian Keempat
<br />Pengamanan Makanan dan Minuman
<br />
<br />Pasal 21
<br />(1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan.
<br />(2) Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :
<br />a. bahan yang dipakai;
<br />b. komposisi setiap bahan;
<br />c. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa;
<br />d. ketentuan lainnya.
<br />(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />(4) Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayal (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Kelima
<br />Kesehatan Lingkungan
<br />
<br />Pasal 22
<br />(1) Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat.
<br />(2) Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum, dan lingkungan lainnya.
<br />(3) Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit, dan penyehatan atau pengamanan lainnya.
<br />(4) Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai dengan standar dan persyaratan.
<br />(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Keenam
<br />Kesehatan Kerja
<br />
<br />Pasal 23
<br />(1) Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal.
<br />(2) Kesehatan kerja meliputi pclayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan kerja.
<br />(3) Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja.
<br />(4) Ketentuan mengenai kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Ketujuh
<br />Kesehatan Jiwa
<br />
<br />Pasal 24
<br />(1) Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal baik intelektual maupun emotional.
<br />(2) Kesehatan jiwa meliputi pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa, pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan jiwa.
<br />(3) Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya.
<br />
<br />Pasal 25
<br />(1) Pemerintah melakukan pengobatan dan perawatan, pemulihan, dan penyaluran bekas penderita gangguan jiwa yang telah selesai menjalani pengobatan dan atau perawatan ke dalam masyarakat.
<br />(2) Pemerintah membangkitkan, membantu, dan membina kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan jiwa, pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa, pemulihan serta penyaluran bekas penderita ke dalam masyarakat.
<br />
<br />Pasal 26
<br />(1) Penderita gangguan jiwa yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum wajib diobati dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan jiwa atau sarana pelayanan kesehatan lainnya.
<br />(2) Pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa dapat dilakukan atas permintaan suami atau istri atau wali atau anggota keluarga penderita atau atas prakarsa pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di wilayah setempat atau hakim pengadilan bilamana dalam suatu perkara timbul persangkaan bahwa yang bersangkutan adalah penderita gangguan jiwa.
<br />
<br />Pasal 27
<br />
<br />Ketentuan mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kedelapan
<br />Pemberantasan Penyakit
<br />
<br />Pasal 28
<br />(1) Pemberantasan penyakit diselenggarakan untuk menurunkan angka kesakitan dan atau angka kematian.
<br />(2) Pemberantasan penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan penyakit tidak menular.
<br />(3) Pemberantasan penyakit menular atau penyakit yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan atau angka kematian yang tinggi dilaksanakan sedini mungkin.
<br />
<br />Pasal 29
<br />Pemberantasan penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi penyakit dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakat dan dengan cara lain.
<br />
<br />Pasal 30
<br />Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.
<br />
<br />Pasal 31
<br />Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Kesembilan
<br />Penyembuhan Penyakit dan
<br />Pemulihan Kesehatan
<br />
<br />Pasal 32
<br />(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan keschatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.
<br />(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.
<br />(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
<br />(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
<br />(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
<br />
<br />Pasal 33
<br />(1) Dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, transfuse darah, implan obat dan atau alat kesehatan, serta bedah plastik dan rekonstruksi.
<br />(2) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
<br />
<br />Pasal 34
<br />(1) Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
<br />(2) Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 35
<br />(1) Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
<br />(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 36
<br />(1) Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
<br />(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan implan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 37
<br />
<br />(1) Bedah plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.
<br />(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kesepuluh
<br />Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
<br />
<br />Pasal 38
<br />(1)Penyuluhan kesehatan masyarakat diselenggarakan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan.
<br />(2) Ketentuan mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kesebelas
<br />
<br />Pengamanan Sediaan Farmasi
<br />dan Alat Kesehatan
<br />
<br />Pasal 39
<br />Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.
<br />
<br />Pasal 40
<br />(1) Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya.
<br />(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.
<br />
<br />
<br />
<br />Pasal 41
<br />(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan sctelah mendapat izin edar.
<br />(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
<br />(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau kcamanan dan atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />
<br />Pasal 42
<br />Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.
<br />
<br />Pasal 43
<br />Ketentuan tentang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kedua Belas
<br />Pengamanan Zat Adiktif
<br />
<br />Pasal 44
<br />(1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
<br />(2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.
<br />(3) Ketentuan mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Ketiga Belas
<br />Kesehatan Sekolah
<br />
<br />Pasal 45
<br />(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih bcrkualitas.
<br />(2) Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah atau melalui lembaga pendidikan lain.
<br />(3) Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Keempat Belas
<br />Kesehatan Olahraga
<br />
<br />Pasal 46
<br />(1) Kesehatan olahraga diselenggarakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olahraga.
<br />(2) Kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan melalui sarana olahraga atau sarana lain.
<br />(3) Ketentuan mengenai kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kelima Belas
<br />Pengobatan Tradisional
<br />
<br />Pasal 47
<br />(1) Pengobatan traditional merupakan salah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan.
<br />(2) Pengobatan traditional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perlu dibina dan diawasi untuk diarahkan agar dapat menjadi pengobatan dan atau perawatan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya.
<br />(3) Pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan kcamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk digunakan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.
<br />(4) Ketentuan mengenai pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Keenam Belas
<br />Kesehatan Matra
<br />
<br />Pasal 48
<br />(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang serba berubah.
<br />(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
<br />(3) Ketentuan mengenai kesehatan Matra sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />BAB VI
<br />SUMBER DAYA KESEHATAN
<br />Bagian Pertama
<br />Umum
<br />
<br />Pasal 49
<br />Sumber daya kesehatan merupakan semua perangkat keras dan perangkat lunak yang diperlukan sebagai pendukung penyelenggaraan upaya kesehatan, meliputi :
<br />a. tenaga kesehatan;
<br />b. sarana kesehatan;
<br />c. perbekalan kesehatan;
<br />d. pembiayaan kesehatan;
<br />e. pengelolaan kesehatan;
<br />f. penelitian dan pengembangan kesehatan,
<br />
<br />Bagian Kedua
<br />Tenaga Kesehatan
<br />
<br />Pasal 50
<br />(1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bcrsangkutan.
<br />(2) Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga keschatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 51
<br />(1) Pengadaan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhan diselenggarakan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan olch pemerintah dan atau masyarakat.
<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyclenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />
<br />Pasal 52
<br />(1) Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.
<br />(2) Ketentuan mengenai penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 53
<br />(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
<br />(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
<br />(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pcmbuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
<br />(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dcngan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 54
<br />(1) Terhadap tenaga keschatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian data melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
<br />(2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kalalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.
<br />(3) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Keschatan ditetapkan dcngan Keputusan Presiden.
<br />
<br />Pasal 55
<br />
<br />(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
<br />(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />
<br />Bagian Ketiga
<br />Sarana Kesehatan
<br />
<br />Pasal 56
<br />(1) Sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter, praktik dokter gigi, praktik dokter spcsialis, praktik dokter gigi spesialis, praktik bidan, toko obat, apotek, pedagang besar farmasi, pabrik obat dan bahan obat, laboratorium, sekolah dan akademi kesehatan, balai pelatihan kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya.
<br />(2) Sarana kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diselenggarakan oleh pemerintah dan atau masyarakat.
<br />
<br />Pasal 57
<br />(1) Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang.
<br />(2) Sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap memperhatikan fungsi sosial.
<br />(3) Sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta penclitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
<br />
<br />Pasal 58
<br />(1) Sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan masyarakat harus berbentuk badan hukum.
<br />(2) Sarana kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah.
<br />
<br />Pasal 59
<br />(1) Semua penyelenggaraan sarana kesehatan harus memiliki izin.
<br />(2) Izin penyelenggaraan sarana kesehatan diberikan dengan memperhatikan pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraan sarana kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />
<br />
<br />Bagian Keempat
<br />Perbekalan Kesehatan
<br />
<br />Pasal 60
<br />Perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan lainnya.
<br />
<br />Pasal 61
<br />(1) Pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya yang terjangkau oleh masyarakat.
<br />(2) Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan pemerataan penyediaan perbekalan kesehatan.
<br />(3) Pemerintah membantu penyediaan perbekalan kesehatan yang menurut pertimbangan diperlukan olch sarana kesehatan.
<br />
<br />Pasal 62
<br />(1) Pengadaan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dibina dan diarahkan agar menggunakan potensi nasional yang tersedia dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup termasuk sumber daya alam dan sosial budaya.
<br />(2) Produksi sediaan farmasi dan alat keschatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik yang berlaku dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan atau syarat lain yang ditetapkan.
<br />(3) Pemerintah mendorong, membina, dan mengarahkan pemanfaatan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
<br />
<br />Pasal 63
<br />(1) Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan olch tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
<br />(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 64
<br />Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kelima
<br />Pembiayaan Kesehatan
<br />
<br />Pasal 65
<br />(1) Penyelenggaraan upaya kesehatan dibiayai olch pemerintah dan atau masyarakat.
<br />(2) Pemerintah membantu upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama upaya kesehatan bagi masyarakat rentan.
<br />
<br />Pasal 66
<br />(1) Pemerintah mengembangkan, membina, dan mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagai cara, yang dijadikan landasan setiap penyerlenggaraan pemeliharaan kesehatan yang pembiayaannya dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan.
<br />(2) Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat merupakan cara penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan dan pembiayaannya, dikelola secara terpadu untuk tujuan meningkatkan derajat kesehatan, wajib dilaksanakan olch setiap penyelenggara.
<br />(3) Penyelenggara jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat harus berbentukbadan hukum dan memiliki izin operasional serta kepesertaannya bersifat aktif.
<br />(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Keenam
<br />Pengelolaan Kesehatan
<br />
<br />Pasal 67
<br />(1) Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pcmerintah dan atau masyarakat diarahkan pada pengembangan dan peningkatan kemampuan agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasilguna.
<br />(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian program serta sumber daya yang dapat menunjang peningkatan upaya kesehatan.
<br />
<br />Pasal 68
<br />Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah dilaksanakan oleh perangkat kesehatan dan badan pemerintah lainnya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
<br />
<br />Bagian Ketujuh
<br />Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
<br />
<br />Pasal 69
<br />(1) Penelitian dan pengembangan kcsehatan dilaksanakan untuk memilih dan menetapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang diperlukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan.
<br />(2) Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian pada manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
<br />(3) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.
<br />(4) Ketentuan mengenai penclitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 70
<br />(1) Dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga keschatan.
<br />(2) Bedah mayat hanya dapat dilakukan koleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
<br />(3) Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />BAB VII
<br />PERAN SERTA MASYARAKAT
<br />
<br />Pasal 71
<br />(1) Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya.
<br />(2) Pemerintah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya masyarakat yang bergerak di bidang keschatan agar dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna.
<br />(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara peran sertla masyarakat di bidang kesehatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Pasal 72
<br />
<br />(1) Peran serta masyarakat untuk memberikan pertimbangan dalam ikut menentukan kebijaksanaan pemerintah pada penyelenggaraan kesehatan dapat dilakukan melalui Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, yang beranggotakan tokoh masyarakat dan pakar lainnya.
<br />(2) Ketentuan mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
<br />
<br />BAB VIII
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />
<br />Bagian Pertama
<br />Pembinaan
<br />
<br />Pasal 73
<br />Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.
<br />
<br />Pasal 74
<br />Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diarahkan untuk:
<br />1. mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal;
<br />2. terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan perbekalan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat;
<br />3. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian yang
<br /> dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap kesehatan;
<br />4. memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya kesehatan;
<br />5. meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
<br />
<br />Pasal 75
<br />Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 74 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />Bagian Kedua
<br />Pengawasan
<br />
<br />Pasal 76
<br />Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.
<br />
<br />Pasal 77
<br />Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini.
<br />
<br />Pasal 78
<br />Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
<br />
<br />BAB IX
<br />PENYIDIKAN
<br />
<br />Pasal 79
<br />(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di Departemen Kesehatan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
<br />(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
<br />a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />d. melakukan pemeriksaan atas surat dan atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan;
<br />g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang kesehatan.
<br />(3) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
<br />
<br />BAB X
<br />KETENTUAN PIDANA
<br />
<br />Pasal 80
<br />(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
<br />(2) Barang siapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum dan tidak memiliki izin operasional serta tidak melaksanakan ketentuan tentang jaminan pemeliharaan keschatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
<br />(3) Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
<br />(4) Barang siapa dengan sengaja:
<br />a. mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
<br />b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 81
<br />(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
<br />a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1);
<br />b. melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
<br />c. melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh jula rupiah).
<br />(2) Barang siapa dengan sengaja :
<br />a. mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2);
<br />b. memproduksi dan atau mengedarkan alat keschatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
<br />c. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
<br />d. menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (scratus empat puluh juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 82
<br />(1) Barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja :
<br />a. melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4);
<br />b. melakukan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1);
<br />c. melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1);
<br />d. melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1);
<br />e. melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
<br />(2) Barang siapa dengan sengaja :
<br />a. melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
<br />b. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
<br />c. memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2);
<br />d. mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2);
<br />e. memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 83
<br />Ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian.
<br />
<br />Pasal 84
<br />Barang siapa :
<br />1. mengedarkan makanan dan atau minuman yang dikemas tanpa mencantumkan tanda atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
<br />2. menyelenggarakan tempat atau sarana pelayanan umum yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan lingkungan yang sehat sebagamna dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4);
<br />3. menyelenggarakan tempat kerja yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
<br />4. menghalangi penderita gangguan jiwa yang akan diobati dan atau dirawat pada sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);
<br />5. menyelenggarakan sarana kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1); dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
<br />
<br />Pasal 85
<br />(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82 adalah kejahatan.
<br />(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 adalah pelanggaran.
<br />
<br />Pasal 86
<br />Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang-undang ini dapat ditetapkan denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
<br />
<br />BAB XI
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />
<br />Pasal 87
<br />Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari :
<br />1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
<br />2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 48);
<br />3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
<br />4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
<br />5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576);
<br />6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
<br />7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);
<br />8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2804);
<br />9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.
<br />
<br />Pasal 88
<br />(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini sarana kesehatan tertentu yangdiselenggarakan oleh masyarakat yang belum berbentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), tetap dapat melaksanakan fungsinya sampai dengan disesuaikan bentuk badan hukumnya.
<br />(2) Penyesuaian bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini.
<br />
<br />BAB XII
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />
<br />Pasal 89
<br />Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka :
<br />1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotek (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 18);
<br />2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1953 tentang Penunjukan Rumah Sakit-Rumah Sakit Partikulir Yang Merawat Orang-orang Miskin dan Orang-orang Yang Kurang Mampu (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 48);
<br />3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2068);
<br />4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usahausaha Bagi Umum (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2475);
<br />5. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2576);
<br />6. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2580);
<br />7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1964 tentang Wajib Kerja Tenaga Paramedis (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2698);
<br />8. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara, Nomor 2804);
<br />9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran Negara Tahun 1966 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2805); dinyatakan tidak berlaku lagi.
<br />
<br />Pasal 90
<br />Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
<br />
<br />Disahkan di Jakarta
<br />pada tanggat 17 September 1992
<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />SOEHARTO
<br />
<br />Diundangkan di Jakarta
<br />pada tanggal 17 September 1992
<br />MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
<br />REPUBLIK INDONESIA
<br />
<br />MOERDIONO
<br />
<br />
<br />LEMBARAN NEGARA 1992 NOMOR 100NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-72702830359140750702009-07-02T10:16:00.000-07:002009-07-02T10:22:40.574-07:00Perawat dan Strategi Pencegahan DM Tipe 2Meningkatnya konsumsi makanan yang tidak sehat dan kurangnya olahraga di masyarakat memicu meningkatnya angka penderita DM terutama DM tipe 2 yang jumlahnya 90 – 95% dari seluruh penderita DM. DM juga mempunyai dampak yang serius seperti gagal ginjal, amputasi, kebutaan, penyakit jantung , kecacatan dan kematian.
<br />
<br />Sebagai tenaga kesehatan perawat harus mengambil peran penting dalam mencegah terjadinya DM tipe 2 karena penyakit tersebut dapat dicegah.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">Terdapat 3 strategi untuk pencegahan terjadinya penyakit DM tipe 2</span><span class="fullpost">yaitu ; populasi; identifikasi risiko tinggi dan diagnosis segera dan managemen
<br />
<br />1. <span style="font-weight:bold;">Strategi populasi </span>
<br />Strategi ini bertujuan untuk promosi kesehatan di masyarakat misalnya dengan :
<br />- Memilih makanan yang sehat
<br />- Meningkatkan aktivitas fisik dengan berjalan dan bersepeda , senam pagi , melakukan perawatan rumah setiap hari sehingga dapat mengimbangi kalori yang dikonsumsi
<br />
<br />Untuk melaksanakan strategi ini dapat dilakukan dengan penyuluhan atau pendidikan kepada masyarakat bagaimana hidup sehat
<br />
<br />2. <span style="font-weight:bold;">Strategi Risiko Tinggi </span>
<br />Strategi ini dilakukan untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang berisiko terkena penyakit DM di masa yang akan datang atau 10 tahun kedepan.
<br />Hal ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan pada masyarakat yang mempunyai risiko seperti :
<br />- Umur
<br />- BMI Kg/ m2
<br />- Lingkar lengan
<br />- Glukosa plama ,0h
<br />- Glukosa plasma ,2 jam pp
<br />- Serum insulin
<br />- Koleterol total
<br />- HDL Cholesterol
<br />- Triglycerides
<br />- Tekanan darah sistolik
<br />- Tekanan darah diastolik
<br />- Sindrom metabolik
<br />Setelah diketahui orang yang berisiko maka dapat dilakukan konsultasi di puskesmas atau pelayanan kesahatan .
<br />
<br />3. <span style="font-weight:bold;">Strategi Diagnosa segera dan managemen </span>
<br />Diagnosa segera bertujuan untuk mengidentifikasi orang dengan diabetes tipe 2 segera diberikan pengobatan tanpa penundaan. Mencegah komplikasi yang berat
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">PERAN PERAWAT </span>
<br />Peran perawat diantaranya:
<br />- Memberikan pendidikan keseahatan dan informasi di puskesmas dalam melaksakan strategi populasi
<br />- Melakukan screening orang yang berisiko terkenan dan selanjutnya diberikan informasi yang akurat dan sistematik
<br />- Topik pendidikan kesehatan yang dapat diangkat diantaranya :
<br />o Sindrom metabolic
<br />o Diabetes tipe 2
<br />o Penyakit jantung
<br />o Pentingnyan kesehatan
<br />o Pengobatan
<br />o kontrol berat badan
<br />o Makanan yang sehat
<br />o Waktu makan
<br />o Alcohol
<br />o Perubahan gaya hidup
<br />o Sikap
<br />o Stress
<br />o Pentingnya latihan atau olah raga
<br />o Kebiasan latihan atau olah raga
<br />
<br />Mencegah lebih baik daripada mengobati
<br />
<br />
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-23992422706226294422009-07-01T18:43:00.000-07:002009-07-01T18:51:13.852-07:00PROGRAM KONGRES KONSIL PERAWAT INTERNASIONAL (ICN) KE-24Kongres ICN ke -24 di Afrika Selatan telah dimulai sejak 27 Juni 2009 dan akan selesai pada tanggal 4 Juli 2009. Dengan mengangkat tema :Leading Change : Building Healtier Nasions atau kurang lebih kalau diterjemahkan Terdepan dalam perubahan : Membangun Bangsa – bangsa yang sehat . banyak hal – hal yang menarik dalam program kongres ini diantaranya :
<br />- MDGs (Millennium Development Goals)
<br />- Kekerasan dan gender
<br />- Perubahan iklim dan konsekuensinya
<br />- Pensiun perawat dan perencanaan pensiun<span class="fullpost">
<br />- Kesehatan mental lansia
<br />- Pembelajaran klinik dan simulasi
<br />- Stress post traumatic dan pencegahannya
<br />- Peran baru perawat (spesialis, entrepreneurial)
<br />- Penyakit genetik dan implikasi terhadap perawat
<br />- Hipertensi dan efektifitas pengobatan
<br />- Peran perawat di primary health care
<br />- Diabetes (strategi pencegahan)
<br />- Pengembangan kapasitas fakultas (menyediakan perawat klinik yang mahir)
<br />- Kontrol infeksi (strategi dan keamanan bagi pekerja kesehatan)
<br />- Telenursing
<br />- Penulisan jurnal
<br />- Kompetensi perawat bencana
<br />- HIV dan AIDS
<br />- TBC
<br />- Patient safety
<br />
<br />Kalau dilihat dari temanya sangat update dan menunjukan proaktif perawat terhadap kesehatan dunia dan kita juga patut berbangga karena dari Indonesia juga ada yang menjadi pembicara yaitu ketua PPNI ibu Prof Achir Yani DNSc membahas tentang stress post traumatic. Tentunya isu dan program perawat internasional diatas bukan hanya sebatas kita ketahui tetapi perlu diimplementasikan segera dalam bentuk nyata di lapangan sehingga akan dirasakan manfaatnya.
<br />
<br />Untuk lebih jelas dapat kita lihat lebih rinci program dari kongres ICN dibawah ini :
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">SELASA, 30 JUNI 2009</span>
<br />P1 l (1 ICNEC)
<br />Keynote Address: Leading Change:
<br />Building Healthier Nations
<br />Speaker: His Excellency Festus G. Mogae
<br />(Botswana)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 09:00-09:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Nurses and nursing are constantly faced with the
<br />challenge of change and therefore innovative,
<br />proactive and dynamic leadership is required to
<br />enable them to contribute to the health and well
<br />being of patients and citizens. Complex work
<br />situations, rapidly shifting health priorities and
<br />powerful external socio-economic factors require
<br />nurses to apply creative and effective problemsolving
<br />skills and sophisticated interpersonal skills
<br />on a daily basis.
<br />Nurses at all levels of the health system are
<br />required to provide leadership, whether in their
<br />personal or professional life. This includes working
<br />with patients, families and communities, as part
<br />of uni- and multi-professional teams, as members
<br />of their own families and as respected members
<br />of society.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the range of issues that constitute
<br />leadership.
<br />2. Understand the scope and impact of leadership
<br />on health and wellbeing and services redesign.
<br />3. Identify areas where nursing needs to increase
<br />its focus or influence.
<br />
<br />M1l (1.5 ICNECs)
<br />Health Professionals Leading
<br />Health Care
<br />Speakers: Alexandre Bischoff (Switzerland);
<br />Janet Davies (UK); Jennifer Dohrn (USA)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Worldwide nurses are challenged by complex health
<br />care environments characterised by health care
<br />reform, privatisation, globalisation, human resource
<br />shortages and new technologies that impact on
<br />access to health care, patient safety and quality of
<br />care. Despite these challenges nurses have
<br />demonstrated commitment to improving access and
<br />coverage through primary health care and other
<br />models. Nurses continue to implement innovative
<br />programmes for delivering care by working singly
<br />or in partnership with other professionals and other
<br />sectors. The session will address nurse-led best
<br />practices, innovations and programmes in nursing
<br />including service delivery, education, research
<br />and management. Such best practices will include
<br />nurses working in collaboration with other
<br />health professionals.
<br />Learning objectives:
<br />1. Discuss key challenges impacting on health
<br />care delivery.
<br />2. Highlight best practices of nurse-led initiatives
<br />in health care.
<br />
<br />M2l (1.5 ICNECs)
<br />How does Health Relate to the
<br />Millennium Development Goals?
<br />Speakers: Gary Cohen (BD); Sheila Tlou
<br />(Botswana)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Language: English
<br />In 2000, 189 countries signed the Millennium
<br />Declaration, committing to tackle poverty and injustice,
<br />reduce illiteracy and improve the health of the world’s
<br />poorest people within 15 years. These commitments
<br />underpin the Millennium Development Goals (MDGs).
<br />Whilst only three of the Millennium Development
<br />Goals (MDGs) relate directly to health (to reduce child
<br />mortality, improve maternal health, and combat HIV
<br />and AIDS, malaria and other diseases) health is central
<br />to achieving all eight goals, especially those relating to
<br />eradicating extreme poverty and hunger and
<br />promoting gender equality. Building up and
<br />strengthening health systems is vital if more progress
<br />is to be made towards achieving the MDGs.
<br />Learning objectives:
<br />1. Examine the relationship between health and
<br />the MDGs.
<br />2. Better understand how nurses and nursing can
<br />impact the achievement of the MDGs.
<br />
<br />M3l (1.5 ICNECs)
<br />Gender Equity, Violence and Society
<br />Speakers: Paula Donovan (AIDS-Free World);
<br />Nthabiseng Lebaka (Lesotho)
<br />Room: Hall 2C
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Language: English
<br />According to the UN, at least one in three women
<br />will be beaten, coerced into sex or otherwise abused
<br />in her lifetime.Women between the ages of 15 and
<br />44 are at greater risk from rape and domestic
<br />violence than from cancer, traffic accidents, war and
<br />malaria, indicating a “global pandemic” of abuse of
<br />women. Violence against women has been reported
<br />in all conflict zones and half of all women murdered
<br />are killed by their current or former partner. Health
<br />care workers, the vast majority female, are at
<br />particular risk of workplace violence, with one author
<br />estimating that health-care workers face 16 times
<br />the risk of violence from patients/clients that other
<br />service-sector workers face.
<br />Learning objectives:
<br />1. Better understand the extent, impact and
<br />responses to gender violence.
<br />2. Critically reflect on action & policy to address
<br />gender inequity and violence.
<br />3. Learn effective strategies for reducing workplace
<br />violence in the health sector.
<br />
<br />M4l (1.5 ICNECs)
<br />Climate Change
<br />Speakers: Anna Gilmore (USA); Ellen M.
<br />Sanders (USA); Chipfakacha Vitalis (SADC -
<br />Southern African Development Community)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Climate changes are taking place in almost every
<br />part of the world. Industrialised as well as
<br />developing countries are experiencing significant
<br />changes in seasons, shifting rainfall patterns,
<br />climbing temperatures and rising sea levels. Global
<br />warming is causing glaciers to melt, increasing the
<br />risk of floods, while other countries are experiencing
<br />the worst droughts in their history. Current climate
<br />changes pose a serious threat to public health as
<br />they affect the fundamental determinants of health
<br />- food, air and water. The rise in temperatures will
<br />accelerate the proliferation of vector born diseases
<br />such as malaria and dengue while ozone air
<br />pollution will increase the prevalence of bronchial
<br />asthma and respiratory infections.
<br />Learning objectives:
<br />1. Have an overview of climate change and its
<br />consequences.
<br />2. Take stock of its adverse effects on health in
<br />general and nursing in particular.
<br />3. Engage in concrete actions to mitigate any
<br />negative impacts.
<br />
<br />M5l (1.5 ICNECs)
<br />Nurses’ Pensions
<br />Speakers: Ahmad Ramziah (Malaysia);
<br />Sebenzile Thwala (Swaziland); Vibeke Westh
<br />(Denmark)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Language: English
<br />Retirement planning is important for all nurses
<br />today. Having a plan in place will help to ensure a
<br />more fulfilling and secure retirement. Pensions are
<br />an important aspect of retirement planning and a
<br />key source of income for nurses after they retire.
<br />However, insufficient pension income and
<br />inequitable policies are key concerns for many
<br />nurses. In some countries, state or private pension
<br />plans do not exist.
<br />Learning objectives:
<br />1. Learn about nurse pensions and current key
<br />issues.
<br />2. Explore best practices in pension schemes.
<br />3. Understand the key aspects of retirement
<br />planning.
<br />
<br />M6l (1.5 ICNECs)
<br />Mental Health of the Older Person
<br />Speakers: Alice Asare Darkoa (Ghana); Silvina
<br />Malvarez (WHO); Lauren Marangell (USA)
<br />Room: Hall 2C
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Language: English
<br />The world’s population is ageing. With the
<br />exception of 18 countries, this process is taking
<br />place in every country and region across the globe.
<br />Asia and Europe are the two regions where a
<br />significant number of countries face severe
<br />population ageing – within twenty years many
<br />countries will face a situation where the largest
<br />population cohort will be those over 65 and
<br />average age will be approaching 50. Mental health
<br />issues are extremely important, as mental disorders,
<br />notably dementia and depression, are common in
<br />old age. Mental ill health can profoundly affect the
<br />quality of people's old age and has a significant
<br />impact upon the use of health and social services.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand global ageing patterns.
<br />2. Consider the link between ageing and
<br />mental health.
<br />3. Discuss strategies to improve mental
<br />health services for older persons.
<br />
<br />M7l (1.5 ICNECs)
<br />Clinical Learning Environments
<br />and Simulation
<br />Speakers: Kathy George (UK); Elizabeth
<br />Watt (Australia); Thomas Wong (Hong Kong)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Many countries are experiencing a nursing shortage
<br />and as a result have increased the numbers of
<br />students in education. This increase in numbers has
<br />however in a number of countries resulted in
<br />unacceptably high dropout rates. Clinical practice
<br />settings are often overloaded, supervised practice
<br />limited and consequently the questions of how
<br />supportive clinical learning environments can be
<br />created and augmented by simulation is being
<br />raised. This session should explore this important
<br />area.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the factors associated with a
<br />positive clinical learning environment and
<br />successful simulation.
<br />2. Describe the role that educators, the regulator,
<br />the employer and the student/practitioner should
<br />play in developing a positive learning environment.
<br />3. Provide examples of the impact that positive
<br />clinical learning environments and the use of
<br />simulation can have on clinical competence.
<br />
<br />M8l (1.5 ICNECs)
<br />Post-traumatic Stress: Causes,
<br />Prevention and Treatment
<br />Speakers: Yani S. Achir Hamid (Indonesia);
<br />Esther Mokhuane (South Africa); Branka
<br />Rimac (Croatia)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Language: English
<br />Disasters, natural or human made, are occurring
<br />worldwide and causing widespread destruction and
<br />distress. Violence in society is increasing. Nurses are
<br />at the forefront caring for those affected, often long
<br />after the disaster occurs. Disaster victims as well as
<br />health care providers often suffer from post-traumatic
<br />stress. This condition affects their physical as well as
<br />mental health. It affects their performance and, in
<br />the case of nurses, may affect the quality of care
<br />they can provide to disaster victims.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand post-traumatic stress syndrome and
<br />the link to traumatic life events.
<br />2. Learn strategies to prevent and treat PTSS.
<br />
<br />M9l (1.5 ICNECs)
<br />Nursing Workforce: New Roles
<br />Speakers: Christine Duffield (Australia); Ellen
<br />M. Sanders (USA); Sheila Tlou (Botswana)
<br />Room: Hall 4B
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Language: English
<br />Internationally, nurses are evolving their roles and
<br />reconfiguring their practice to meet the complex
<br />challenges facing health systems and the changing
<br />health and social needs of individuals, families,
<br />groups, populations and communities. The nursing
<br />profession must continue to recognize and seize
<br />opportunities to create new and expanded roles for
<br />nurses within the health care industry.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the main forces influencing
<br />transformations in nursing practice/roles.
<br />2. Learn about specialist, advanced and
<br />entrepreneurial practice roles in nursing.
<br />3. Explore some of the nursing roles that are
<br />emerging or have already been implemented
<br />internationally.
<br />
<br />M10l (1.5 ICNECs)
<br />Genetics; Implications for Nurse
<br />and Society
<br />Speakers: Merlyn Glass (South Africa);
<br />Carole Kenner (USA); Maggie Kirk (UK)
<br />Room: Hall 2C
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Language: English
<br />Genetics and its application in clinical practice have
<br />direct impact on nursing. Advances in genetics
<br />screening have made it possible to identify individuals at
<br />risk of certain genetic diseases.This has enhanced
<br />prevention, diagnosis and treatment of genetic diseases.
<br />However, genetic advances also raise ethical, legal and
<br />
<br />social issues related to confidentiality of genetic data
<br />and potential discrimination based on genetic grounds.
<br />The risks and benefits of disease prevention, early
<br />detection and treatment must be weighed by the
<br />individual from an informed base. Nurses should provide
<br />leadership in simplifying the complex issues in genetics
<br />and in clarifying the implications to the public and policy
<br />makers.At the same time nurses are challenged to
<br />understand the ethical, legal, and social issues raised by
<br />the application of genetics in health care.The session
<br />will highlight current issues in genetics and implications
<br />for nursing and health care.
<br />Learning objectives:
<br />1. Discuss the contribution of genetics to disease
<br />prevention, early diagnosis and treatment.
<br />2. Identify key nursing roles in genetic nursing.
<br />3. Discuss ethical, legal and social implications
<br />in genetics.
<br />M11l (1.5 ICNECs)
<br />Hypertension: A Worldwide Call to Action
<br />Speakers: Martha N. Hill (USA); Vicki
<br />Pinkney Atkinson (South Africa); Krisela
<br />Steyn (South Africa)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Hypertension is a global health problem. Despite the
<br />availability of effective treatment, many people go
<br />untreated due to many different factors. Nurses are
<br />frequently at the forefront of caring for patient and
<br />their families, participating in screening, diagnosing,
<br />treating, and controlling hypertension. Successful
<br />treatment often requires life style changes. Partnering
<br />with patients and families can promote adherence to
<br />treatment for hypertension and result in better
<br />outcomes. Nurses can also influence policy makers to
<br />understand and address this escalating problem.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the trends in prevalence of hypertension
<br />across the world.
<br />2. Discuss the barriers to more effective blood
<br />pressure control.
<br />3. Propose actions for health care professionals to
<br />address barriers to effective treatment.
<br />
<br />M12l (1.5 ICNECs)
<br />Primary Health Care: the Next 30 Years
<br />Speakers: Marion Guy (New Zealand); Sally
<br />Kendall (UK); Wim Van Lerberghe (WHO)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Language: English
<br />Primary Health Care (PHC) as an approach to
<br />achieving ‘Health for All’ was adopted in 1978.
<br />During the last years there have been a number of
<br />global and economic trends that undermined
<br />support for PHC delivery. After some absence from
<br />the global health agenda, there is a renewed
<br />interest in PHC and it has made a comeback. But
<br />what are the projections and trends that will
<br />facilitate or hamper PHC in the future? Will PHC
<br />survive the next 30 years? What will it look like?
<br />What will nursing role be? The session will scan the
<br />future of primary health care and nursing role in the
<br />next 30 years.
<br />Learning objectives:
<br />1. Discuss the concept of primary health care.
<br />2. Identify some barriers for PHC implementation.
<br />3. Discuss the future of PHC and the nursing role.
<br />
<br />ICN NETWORK MEETING
<br />N1 l (2 ICNECs)
<br />Student Nurse Network: ‘Students
<br />informing the Policy Debate’
<br />Moderators: Allison Webel and Jennifer
<br />Davis (Network Chairs); ICN staff
<br />Room: Hall 3C
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />The title of this network session has been chosen
<br />to reflect the network’s ambitions for the short and
<br />medium term. In addition to focusing on how
<br />students can inform the policy debate it is the
<br />intention of the Student Nurse Network to identify
<br />the leadership group for the coming two years. The
<br />launching of this network at the ICN Conference
<br />in Yokohama in 2007 recognized the important
<br />role students play, while undertaking educational
<br />programmes and as future members of the
<br />nursing profession.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key issues related to the role and
<br />contribution of student nurses to policy.
<br />2. Share experiences of student nurses learning in
<br />different settings in different countries.
<br />3. Identify how students can engage in the
<br />networks activities.
<br />
<br />WORKSHOP
<br />W1l (2 ICNECs)
<br />Workplace Violence Prevention
<br />Moderators: Carmen Anazor (Mauritius);
<br />Sebenzile Thwala (Swaziland)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />Workplace violence, be it physical or psychological,
<br />is a global problem and has dramatically gained
<br />momentum in recent years affecting industrialized
<br />as well as developing countries. Health workers in
<br />general and nurses in particular are at higher risk
<br />compared to workers in other sectors. This is
<br />seriously affecting the quality of care delivered in
<br />many health institutions and impacts negatively on
<br />staff morale thus contributing to attrition, turnover
<br />and migration.
<br />Learning objectives:
<br />1. Create an awareness of the seriousness of the
<br />problem and its negative impacts.
<br />2. Identify priority issues.
<br />3. Discuss effective workplace violence reduction
<br />strategies.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">RABU, 1 JULI 2009 </span>
<br />P2 l (1 ICNEC)
<br />Health and Human Rights
<br />Speaker: Miriam K. Were (Kenya)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 09:00-09:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Promoting and protecting health and respecting,
<br />protecting and fulfilling human rights are
<br />inextricably linked. Human rights violations can
<br />have serious health consequences (e.g. harmful
<br />traditional practices, torture and degrading
<br />treatment, violence against women and children).
<br />Health policies and programmes can promote or
<br />violate human rights in their design or
<br />implementation and vulnerability to ill-health can
<br />be reduced by taking steps to respect, protect and
<br />fulfil human rights. Internationally respected
<br />human right defender and health activist Dr Miriam
<br />Were will explore why “the enjoyment of the
<br />highest attainable standard of health is one of the
<br />fundamental rights of every human being...”
<br />Learning objectives:
<br />1. Build/strengthen capacity to integrate a human
<br />rights-based approach in nursing practice.
<br />2. Better understand how to support governments
<br />to integrate a human rights-based approach in
<br />health development.
<br />MAIN SESSIONS
<br />M13l (1.5 ICNECs)
<br />Values and Nurse Management
<br />Speakers: Fatima Al Rifai (UAE); Christophe
<br />Debout (France); Elizabeth Iro (Cook Islands)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />A number of factors are being suggested as
<br />impacting on the motivation of staff and the quality
<br />of services they can provide. There is some evidence
<br />that the culture and approach of nurse management
<br />can impact on the core values of care and the
<br />motivation and behaviour of staff. This session
<br />provides an opportunity to explore these issues,
<br />identify the evidence and highlight exemplars of
<br />where good nurse management, even when
<br />workload is high, can make an impact of the core
<br />values amongst the care team and the services
<br />they offer.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the values that nurse managers need
<br />to support their staff and facilitate quality
<br />care delivery.
<br />2. Consider the evidence underpinning a values
<br />based approach to management.
<br />3. Highlight ways that a values based model of
<br />management can be implemented.
<br />M14l (1 ICNEC)
<br />ICN Programme
<br />Speaker: David Benton (ICN)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 10:00-10:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />ICN has a wide range of activities relating to the
<br />three key pillars of Professional Development,
<br />Regulation and Socio-economic welfare. Whilst
<br />some of these activities apply widely across all
<br />member associations others are targeted towards
<br />the specific needs and challenges being faced in the
<br />member country. ICN works in partnership, not only
<br />with its member associations and affiliates but also
<br />a wide range of intergovernmental organisations,
<br />sponsors and industry partners. This session
<br />provides an opportunity to highlight the diverse and
<br />wide-ranging activities of the organisation and the
<br />impact they are having at local, country and
<br />international levels.
<br />Learning objectives:
<br />1. Raise awareness of ICN programmes and
<br />their impact.
<br />2. Discuss the value of partnerships.
<br />3. Highlight facts that contribute to successful
<br />ICN programme activity.
<br />M15l (1.5 ICNECs)
<br />Diabetes
<br />Speakers: David Gold (Switzerland); Jill Hill
<br />(UK); Lauren Marangell (USA)
<br />Room: Hall 4C
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Language: English
<br />Diabetes is a growing global public health problem
<br />largely associated with unhealthy diet and lack of
<br />physical activity. Yet, the most common type of
<br />diabetes (Type 2) which accounts for 90-95% of all
<br />diabetes is preventable. If current trends continue,
<br />the number of people with diabetes will double by
<br />2030. Much of this increase in diabetes will occur
<br />in developing countries, due to population growth,
<br />ageing, unhealthy diet, sedentary lifestyles and
<br />obesity. Diabetes has serious side-effects including
<br />kidney failure, amputations, blindness,
<br />cardiovascular disease, and other causes of death
<br />and disability. There is growing evidence on the link
<br />between diabetes and mental health problems
<br />including depression. The disease impacts the
<br />individual, the family and the community. Nurses
<br />have a unique opportunity to formulate and
<br />implement an effective strategy to prevent diabetes
<br />and reduce the burden of diseases and deaths
<br />worldwide. The session will address current status
<br />of diabetes epidemic, its link to other conditions
<br />and prevention strategies.
<br />Learning objectives:
<br />1. Describe current status of diabetes as a global
<br />public health problem.
<br />2. Consider the link between diabetes and
<br />associated disorders.
<br />3. Discuss strategies to prevent diabetes.
<br />M16l (1.5 ICNECs)
<br />Faculty Capacity Development
<br />Speakers: Toshiko Ibe (Japan); Julita Sansoni
<br />(Italy); Anne Sliney (William J. Clinton
<br />Foundation)
<br />Room: Hall 4B
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Language: English
<br />The limiting factor in many countries in terms of
<br />rapid scale-up is the shortage of motivated and
<br />skilled educationalists. In many countries, often as a
<br />result of the need to increase the level of
<br />educational preparation of nurses, educators have
<br />found themselves pressurised to keep one step
<br />ahead. So those teaching diploma programmes are
<br />pursing degrees and those teaching for graduate
<br />preparation find themselves often simultaneously
<br />studying for higher degree qualifications. This
<br />session should explore how faculty capacity
<br />development is being addressed in a range of
<br />countries and settings.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the factors associated with motivated
<br />and competent faculty.
<br />2. Describe different approaches to faculty scale-up.
<br />3. Identify creative career paths that enable expert
<br />clinicians to contribute to educational capacity
<br />scale-up.
<br />M17l (1.5 ICNECs)
<br />South Africa’s Health System
<br />Speakers: Ephraim Mafalo (South Africa);
<br />Nonhlanhla Makhanya (South Africa);
<br />Representative of the Ministry of Health
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Each nation analyzes the health needs of its
<br />population and creates the most effective health
<br />system possible to meet those needs. The methods
<br />of work, finance system and the skill mix of its
<br />health sector labour force will be determined by the
<br />national realities and context. Reviewing the
<br />underlying principles and challenges that frame
<br />national health systems is a useful and thoughtprovoking
<br />exercise that contributes to the search for
<br />excellence in providing health services.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the health system goals in South Africa.
<br />2. Understand the structure, method of work and
<br />skill mix of the South African health system.
<br />3. Determine the role of nurses and nursing in the
<br />South African health sector.
<br />M18l (1.5 ICNECs)
<br />HIV/AIDS
<br />Speakers: Bill Holzemer (USA); Alice Njoroge
<br />(Kenya); Leanna Uys (South Africa)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />HIV/AIDS remains a global public health threat with
<br />an estimated 33.2 million people living with HIV.
<br />Globally, only about 20% population at risk of HIV
<br />have access to basic HIV prevention services, and
<br />ARV coverage remains low – 31% of people who
<br />needed HIV treatment had access by end-2007.
<br />Stigma has complicated access to prevention, care
<br />and treatment. The high rate – up to 80% – of coinfections
<br />with HIV and TB has complicated the care,
<br />treatment and infection control approaches and
<br />highlighted the importance of collaborative HIV/TB
<br />strategies. There is a growing concern about the rate
<br />of HIV infections in the health workforce and its
<br />impact on risk perception and risk reduction,
<br />retention, burnout and staff morale.
<br />Learning objectives:
<br />1. Describe current status of HIV/AIDS.
<br />2. Discuss HIV prevention strategies.
<br />3. Discuss HIV/TB co-infections and strategies
<br />for care.
<br />M19l (1.5 ICNECs)
<br />Industrial Action: Last Resort?
<br />Speakers: Peter Carter (UK); Alice Asare
<br />Darkoa (Ghana); Janet Davies (UK); Pierre
<br />Théraulaz (Switzerland)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Although faced with a global shortage of nurses,
<br />health systems often provide less than satisfactory
<br />pay and working conditions so as to recruit and
<br />retain nurses in active practice. In a significant
<br />number of countries, professional nurses' unions
<br />have taken industrial action to improve their
<br />members’ worklife and living conditions. What has
<br />led to this impasse in negotiations? What strategies
<br />have been put in place to protect patients’
<br />wellbeing? What impact has industrial action had
<br />for nurses and health systems concerned? What
<br />other mechanisms exist to improve nurses’ pay and
<br />working conditions?
<br />Learning objectives:
<br />1. Provide rationale for industrial action.
<br />2. Discuss different strategies taken to improve
<br />nurses’ pay and working conditions.
<br />M20l (1 ICNEC)
<br />Nursing Versus General Management
<br />in Health Services
<br />Speakers: Rúben Etcheverry (Uruguay);
<br />Sheuan Lee (Taiwan); Paul Martin (UK)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 16:30-17:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Over the years and across countries the model of
<br />managing the nursing profession has changed.
<br />Historically a hierarchical model of nursing
<br />managing itself was prevalent. However this is no
<br />longer the case and in many countries health
<br />systems have introduced ‘Professional Managers’
<br />who control resources and directly manage nurses
<br />and other groups. There are mixed views on these
<br />approaches and this session should explore the
<br />relative advantages and disadvantages.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the advantages and disadvantages
<br />of having a nurse or general manager
<br />controlling resources.
<br />2. Consider the evidence underpinning these two
<br />approaches management.
<br />3. Explore the career pathway and succession
<br />planning implications of the two approaches.
<br />M21l (1.5 ICNECs)
<br />Infection Control
<br />Speakers: Rudolph Cini (Malta);
<br />Carlo Colombo (Switzerland); Pauline Philipp
<br />(WHO)
<br />Room: Hall 4B
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Language: English
<br />Infection control and patient safety are important
<br />aspects of health care delivery. Infection rates are
<br />markers of the quality of care. Hospital stays can be
<br />longer as a result of nosocomial infections with
<br />clear implications for cost and quality of care.
<br />Prevention of infections is a major concern of health
<br />policy makers, health professionals, managers and
<br />patients. Nurses have a key role in infection control
<br />and in reducing antimicrobial resistance. Infection
<br />control and prevention of hospital acquired
<br />infections such as MRSA are important aspects of
<br />the nursing role in patient safety and quality
<br />management. The protection of and safety of health
<br />professionals is also a vital component of infection
<br />control policies.
<br />Learning objectives:
<br />1. Discuss current issues in infection control.
<br />2. Describe infection control strategies.
<br />3. Link infection control to patient and health
<br />worker safety.
<br />ICN NETWORK MEETINGS
<br />N2 l (2 ICNECs)
<br />ICN Regulation Network
<br />Moderators: Elizabeth Owyer (Kenya);
<br />ICN staff
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Across the world the regulation of the nursing
<br />profession and other disciplines are changing. In
<br />some cases there are countries where regulation is
<br />either non-existent or at a very early stage of
<br />development. In other countries, governments, the
<br />public and the media have been critical of the
<br />current arrangements due to high profile cases and
<br />as a result professional regulation is coming under
<br />increased scrutiny. Different models of regulation
<br />exist and the means by which governments address
<br />patient safety matters are becoming increasingly
<br />complex and inter-related.
<br />The session will provide an opportunity to gather
<br />information on regulatory change from around the
<br />world. A panel of speakers will update participants
<br />on the key issues impacting regulation in their part
<br />of the world. The audience will be invited to
<br />dialogue with the panel on their experiences in
<br />their own countries.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key issues impacting on the
<br />regulation of nurses and the policy responses
<br />from around the world.
<br />2. Consider and reflect on how nurses can are
<br />engaging with these changes.
<br />3. Identify ways of contributing to the work of
<br />the network.
<br />N3 l (2 ICNECs)
<br />ICN Socio-Economic Welfare Network:
<br />The Value of Nursing
<br />Speakers: Beatriz Carvallo Suarez
<br />(Colombia); Geetha Feringa (Botswana);
<br />Euisook Kim (South Korea); Linda Silas
<br />(Canada)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 11:00-12:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Pay, working conditions, organisational climate and
<br />work environment are all factors that have significant
<br />impact on nurses’ wellbeing and performance. The
<br />chronic underinvestment in the health sector
<br />workplace has weakened service delivery and patient
<br />outcomes. In an époque of critical financial
<br />constraints, what is the business case for nursing?
<br />How is the value of nursing reflected in nurses’ pay
<br />and financial incentives?
<br />Learning objectives:
<br />1. Present the business case for nursing.
<br />2. Identify bargaining strategies that support
<br />improvements in nurses’ pay and working
<br />conditions.
<br />N4 l (2 ICNECs)
<br />ICN Advanced Practice Nurses Network
<br />Moderators: Petrie Roodbol (Network
<br />Chair); ICN staff
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />The development of the Nurse Practitioner/Advanced
<br />Practice Nurse (NP/APN) role is gaining momentum
<br />globally due to changes in health care systems
<br />allocation of resources, technological advancements,
<br />more informed consumers and the increasing
<br />recognition that nurses contribute in various health
<br />care models. Further, the role has evolved in
<br />response to the health needs of underserved and
<br />communities. This session provides an opportunity
<br />for network members and others to learn about the
<br />education, practice and regulatory development
<br />from around the world, share country fact sheets
<br />and receive updates.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key education, practice and
<br />regulatory development in the role of nurse
<br />practitioners/advanced practice nurses from a
<br />range of countries.
<br />2. Discuss the fact-sheets and the future planning
<br />of the NP/APN network.
<br />3. Gain an understanding of the priorities for the
<br />NP/ANP network working groups.
<br />N5 l (2 ICNECs)
<br />ICN Leadership for ChangeTM Network
<br />Moderators: ICN staff
<br />Room: 1A
<br />Time: 14:30-16:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Since 1996 nearly 70 countries have been involved
<br />in the ICN Leadership for ChangeTM Programme.
<br />Nurse leaders face many similar challenges the
<br />world over regardless of culture, geography and the
<br />level of development of the country. There is great
<br />value in sharing strategies and successes with
<br />others. A network of nurse leaders within a common
<br />framework (the LFCTM) helps fulfil part of the
<br />mentoring and support role that is needed by
<br />leaders. This meeting will also be an opportunity for
<br />network members to meet and hear from the new
<br />Director of the LFCTM.
<br />Learning objectives:
<br />1. Learn and ask about the LFCTM and TOT
<br />programmes.
<br />2. Have perspectives on the value and importance
<br />of leadership development.
<br />3. Network within a focus group setting whilst
<br />providing ICN with valuable impact data.
<br />N6 l (2 ICNECs)
<br />ICN Telenursing Network:
<br />Technology & E-Health
<br />Speakers: Claudia Bartz (ICN); Amy Coenen
<br />(ICN); Hiroko Minami (ICN)
<br />Room: 11AB
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />Throughout the world, telenursing is expanding the
<br />nursing role and improving access to healthcare.
<br />Telenursing activities include programme
<br />development and implementation; patient
<br />acceptance, triage, development of policies and
<br />procedures; coordination with facility support teams,
<br />information technology staff and administration;
<br />team education and skills development; and
<br />establishing telehealth facilities.
<br />Learning objectives:
<br />1. Describe the history and current use of
<br />telenursing and e-health globally.
<br />2. Describe the Telenursing and E-Health network.
<br />3. Learn how to participate in the new network.
<br />
<br />WORKSHOPS
<br />W2l (2 ICNECs)
<br />Writing for Professional Journals
<br />– Spanish
<br />Speaker: Alina Souza (Spain)
<br />Room: 21G
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: Spanish
<br />The Writing for Professional Journals Workshop is
<br />intended for new nursing authors. It is designed to
<br />help nurses who wish to publish their research or, in
<br />the case of the International Nursing Review, articles
<br />on innovative practice, audits, and human-interest or
<br />opinion pieces of international interest. This workshop
<br />will also be held in French (W5) and English (W7).
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the main principles involved in
<br />writing for journals.
<br />2. Gain confidence in applying those principles to
<br />an individual article.
<br />3. Develop a strategy for writing and submitting a
<br />particular manuscript.
<br />W3l (3 ICNECs)
<br />International Classification for Nursing
<br />Practice Consortium (invitational)
<br />Moderators: Claudia Bartz (ICN); Amy
<br />Coenen (ICN)
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 09:00-11:50
<br />Language: English
<br />Attendance at this workshop is by invitation only.
<br />W4l (2 ICNECs)
<br />Health and Human Rights
<br />Moderators: Robert Simons (International
<br />Federation of Health and Human Rights
<br />Organisation); Miriam Wernicke
<br />(International Rehabilitation Council on
<br />Torture Victims)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Health and human rights are closely linked such that
<br />those whose rights are violated will face challenges to
<br />their health and well-being. Nurses and other health
<br />professionals play an important role in integrating
<br />human rights into in their daily activities. The work of
<br />nurses and other health professionals is supported by
<br />policy guidelines and regulations that strengthen their
<br />role in raising their voice against violations of human
<br />rights and defending the people who require or seek
<br />care. The workshop will allow for interactive
<br />information sharing on the role of nurses and other
<br />health professionals in human rights and in defending
<br />the rights of populations.
<br />Learning objectives:
<br />1. Discuss the relationship between health and
<br />human rights.
<br />2. Identify key international instruments and tools
<br />for promoting human rights.
<br />3. Identity the role of nurses and other health
<br />professionals in defending human rights.
<br />W5l (2 ICNECs)
<br />Writing for Professional Journals
<br />– French
<br />Speaker: Yasmina Ouharzoune (Elsevier
<br />Masson, France)
<br />Room: 21G
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: French
<br />The Writing for Professional Journals Workshop is
<br />intended for new nursing authors. It is designed to
<br />help nurses who wish to publish their research or, in
<br />the case of the International Nursing Review, articles
<br />on innovative practice, audits, and human-interest or
<br />opinion pieces of international interest. This workshop
<br />will also be held in Spanish (W2) and English (W7).
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the main principles involved in
<br />writing for journals.
<br />2. Gain confidence in applying those principles to
<br />an individual article.
<br />3. Develop a strategy for writing and submitting a
<br />particular manuscript.
<br />W6l (2 ICNECs)
<br />Assessing Performance of Regulators
<br />Speaker: Anne Carrigy (Republic of Ireland)
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />Recent high profile failures within regulatory systems
<br />have resulted in media, governmental and public
<br />concerns about the ability of the professions to
<br />regulate themselves. These well publicized cases
<br />represent an extreme deviation from the norm and
<br />consist of a small percentage of the total population
<br />of practitioners. However, the reputation of
<br />regulators has been tarnished and relationship of
<br />trust that professionals enjoy damaged. As a result
<br />what has been seen is a shift of power from the
<br />regulator to government.
<br />Learning objectives:
<br />1. Outline the main drivers for the increasing
<br />interest in the performance of regulators.
<br />2. Identify the key stakeholders which may be
<br />affected by the actions or inactions of a
<br />regulatory body.
<br />3. Identify examples of key performance measures
<br />across the range of responsibilities of a
<br />regulatory body.
<br />W7l (2 ICNECs)
<br />Writing for Professional Journals
<br />– English
<br />Speaker: Alison Tierney (Journal of
<br />Advanced Nursing, UK)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />The Writing for Professional Journals Workshop is
<br />intended for new nursing authors. It is designed to
<br />help nurses who wish to publish their research or, in
<br />the case of the International Nursing Review, articles
<br />on innovative practice, audits, and human-interest or
<br />opinion pieces of international interest. This workshop
<br />will also be held in Spanish (W2) and French (W5).
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the main principles involved in
<br />writing for journals.
<br />2. Gain confidence in applying those principles to
<br />an individual article.
<br />3. Develop a strategy for writing and submitting a
<br />particular manuscript.
<br />W8l (2 ICNECs)
<br />Board Orientation – French
<br />Moderator: Yves Mengal (ICN)
<br />Room: 21G
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: French
<br />Election of the association board members is a
<br />significant element for ensuring good governance,
<br />efficiency and corporate renewal. Once the election
<br />process is complete it is critical that newly elected
<br />board and/or executive committee members are
<br />appropriately orientated to their role. However,
<br />evidence indicates the majority of new board and
<br />executive committee members have no preparation
<br />for their new role and this lack of preparation is
<br />bound to reflect in the board performance as a
<br />whole. It is therefore critical that boards establish a
<br />system of induction/orientation for new members,
<br />to include corporate governance, structure and
<br />culture of the organisation and the personal
<br />qualities they are expected to bring to the role.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the theoretical underpinnings and
<br />current challenges in contemporary corporate
<br />governance.
<br />2. Identify the critical elements of an orientation
<br />programme for new and existing board/executive
<br />committee members, organisational culture and
<br />skills and qualities.
<br />3. Develop a board orientation programme for new
<br />and existing board members.
<br />W9l (2 ICNECs)
<br />Regulation of Support Workers
<br />Moderator: Stephanie Fox Young (Australia)
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />Changes in the health care environment have resulted
<br />in the proliferation of new categories of health
<br />workers at all levels, including assistive or support
<br />personnel functioning as specific helpers to nurses.
<br />This has given the additional challenge of ensuring
<br />that effective controls are in place so that the public
<br />has access to safe and competent nursing care. While
<br />there has been much debate about the need to
<br />regulate this category of worker, there has been little
<br />evidence of this challenge being met. As the numbers
<br />within this category of worker are increasing around
<br />the world, there are also calls for opportunities to be
<br />created for them.
<br />Learning objectives:
<br />1. Outline the main issues in relation to the
<br />regulation of the support worker.
<br />2. Identify opportunities this category of worker
<br />presents to the health care workforce.
<br />3. Identify challenges which must be addressed if
<br />this group is to be regulated.
<br />4. Analyse strategies and solutions associated with
<br />regulating support workers.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">KAMIS, 2 JULI 2009</span>
<br />PLENARY SESSION
<br />P3 l (1 ICNEC)
<br />Virginia Henderson Lecture
<br />Speaker: Edward J. Halloran (USA)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 09:00-09:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />This keynote address was initiated in 1997, in
<br />honour of Miss Henderson. Built on the theme of
<br />the meeting, the lecture illustrates how Miss
<br />Henderson’s work contributes to the theme of
<br />Leading Change; Building Healthier Nations.
<br />Learning objectives:
<br />1. Increase awareness of the importance/value of
<br />Henderson’s work.
<br />2. Acquire an improved understanding of the
<br />contribution nurses make to building healthier
<br />nations.
<br />3. Understand how Henderson’s approach can
<br />be used in leading change and building
<br />healthier nations.
<br />MAIN SESSIONS
<br />M22l (1.5 ICNECs)
<br />Debate: Task-shifting: Solution or Problem?
<br />Speakers: Eric Buch (South Africa); Mitchell
<br />Clarke (Barbados); Masitsela Mhlanga
<br />(Swaziland); Liz Wagner (Denmark)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Increasing attention is being focused on taskshifting
<br />as a possible solution to the global
<br />shortage of health personnel. How will task-shifting
<br />ultimately affect human resources recruitment and
<br />retention in the health sector? What will be the
<br />impact on the quality of services provided? These
<br />are critical questions that need urgent responses.
<br />Learning objectives:
<br />1. Raise awareness of the rationale behind task-shifting.
<br />2. Discuss the pros and cons of task-shifting.
<br />3. Determine the suitability of task-shifting as a means
<br />to address the shortage of health human resources.
<br />M23l (1.5 ICNECs)
<br />Disaster Nursing Competencies
<br />Speakers: Claudia Bartz (ICN); Donna Dorsey
<br />(USA); Lee Ogcheol (South Korea)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Disasters, natural or human made, are occurring
<br />worldwide and causing widespread destruction and
<br />distress. Nurses are at the forefront caring for those
<br />affected by disasters. Identifying disaster nursing
<br />competencies serves as the basis for creating
<br />curricula, certifying expertise, drafting realistic job
<br />descriptions and rewarding special skill sets.
<br />Increasingly there is an international response to
<br />disasters. It is urgent to have a global consensus on
<br />disaster nursing competencies.
<br />Learning objectives:
<br />1. Present disaster nursing competencies.
<br />2. Understand the link between competencies and
<br />curricula development/ professional regulation.
<br />3. Discuss universal disaster nursing terminology.
<br />M24l (1.5 ICNECs)
<br />Accreditation
<br />Speakers: Anne Carrigy (Republic of Ireland);
<br />Veronica Darko (Ghana); Pauline Tan
<br />(Singapore)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, French and Spanish
<br />There is an ever increasing demand for nurse
<br />education. Irrespective of whether public or private
<br />funds are used to deliver education funders wish to
<br />assure themselves that they are getting value for
<br />money and the public want to be assured that the
<br />nurses caring for them are clinically competent.
<br />Many countries have both educational and
<br />professional accreditation systems.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the approaches that can be used to
<br />accredit nurse education.
<br />2. Describe the role that education, the regulator,
<br />the provider and funder of care can play.
<br />3. Provide examples of the impact that
<br />accreditation has had on clinical competence and
<br />the learning environment.
<br />M25l (1.5 ICNECs)
<br />Migration: Intranational and
<br />International
<br />Speakers: Anita Alero Davies (International
<br />Organisation for Migration); Geetha Feringa
<br />(Botswana); Mireille Kingma (ICN)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, French and Spanish
<br />Migration is now considered one of the realities of
<br />today’s world. Globalisation facilitates international
<br />nurse migration which is likely to increase in the
<br />next decade. Efforts to stop migration have been
<br />replaced with strategies to maximize the benefits
<br />and mitigate any negative aspects. Have we
<br />accepted the concept that migration may result in
<br />brain gain rather than brain drain? What is the link
<br />between intra-national and international migration?
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand evolving trends in nurse migration.
<br />2. Discuss issues raised by return migration.
<br />3. Evaluate the incidence and impact of brain
<br />circulation.
<br />
<br />M26l (1.5 ICNECs)
<br />Continuing Competence and its
<br />Assessment
<br />Speakers: Marlene Smadu (Canada); Maria
<br />Augusta Sousa (Portugal); Anthony R. Zara
<br />(Pearson VUE)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 14.30-15:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />With rapid changes in knowledge and changing
<br />demographics and the emergence of new diseases
<br />the need for nurses to maintain their competence
<br />has never been greater. A number of high profile
<br />cases mainly in the medical profession has raised
<br />concerns with the public as to the competence of
<br />practitioners. Accordingly there is considerable
<br />interest on how competence can be assessed and
<br />what educational approaches make the most
<br />difference to continuing competence.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify the approaches that can be used to
<br />assess competence.
<br />2. Describe the role that education can play in
<br />providing learning experiences that maintain
<br />competence.
<br />3. Describe the role that the practitioner and their
<br />manager can play in ensuring continuing
<br />competence.
<br />M27l (2 ICNECs)
<br />Incentives: Retention of Health
<br />Professionals
<br />Speakers: Dorothy G. Ngoma (Malawi);
<br />Rebecca M. Patton (USA); Bridget Weller
<br />(ICHRN/ICN)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 14:30-15:50
<br />Languages: English, French and Spanish
<br />The growing gap between the supply of health care
<br />professionals and the demand for their services is
<br />recognised as a key issue for health and
<br />development worldwide. The World Health
<br />Organization reports a global shortage of 4.3
<br />million health workers, including approximately 3
<br />million health professionals. An effective health
<br />workforce strategy addresses three core challenges
<br />- improving recruitment, enhancing the
<br />performance of the existing workforce, and
<br />reducing the attrition rate of health sector workers.
<br />Incentives can play a role in all three of these areas.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand what links incentives, motivation,
<br />satisfaction, retention and performance.
<br />2. Learn about examples of innovative incentive
<br />systems in use or in development.
<br />3. Determine the key elements of effective incentive
<br />schemes.
<br />
<br />M28l (1.5 ICNECs)
<br />Dialogue between Service Education
<br />and NNAs: Are Newly Qualified Nurses
<br />Fit for Purpose?
<br />Speakers: Bill Holzemer (USA); Silvina
<br />Malvarez (WHO); Branka Rimac (Croatia)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Research in several countries provides consistent
<br />evidence that newly qualified nurses often find it
<br />difficult to meet the challenges placed upon them
<br />as newly qualified practitioners. Clear disparities
<br />have been demonstrated between the best practice
<br />ideals and values that are taught and those actually
<br />encountered in everyday practice. The three papers
<br />presented will look at the role that education
<br />service and NNAs can play in ensuring newly
<br />qualified nurses have a supported transition from
<br />their role as student to that of a fully accountable
<br />nurse member of the care team.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key issues related to how nursing
<br />leadership addresses the transition for student to
<br />licensed nurse.
<br />2. Compare the experiences of three different
<br />approaches to identifying and addressing the
<br />transition.
<br />3. Consider how the experiences and lessons
<br />learned from these countries may be applied
<br />within your own health system.
<br />M29l (1.5 ICNECs)
<br />International Classification for Nursing
<br />Practice (ICNP)®
<br />Speakers: Claudia Bartz (ICN); Amy Coenen
<br />(ICN); Nicholas Hardiker (ICN); Robert Haskell
<br />& Rosemary Kennedy (Siemens Medical);
<br />Hiroko Minami (ICN); Franziska Perhab (Austria)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 16:00-17:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />ICNP® Version 1.0 was released at ICN Congress
<br />2005. Since then, the ICNP® research, maintenance
<br />and dissemination processes and products have
<br />continued to grow, validate and document the
<br />importance and applicability of a worldwide
<br />terminology for nursing. The ICNP® lifecycle model
<br />provides systematic predictability and sustainability
<br />to the continued development of ICNP®. The release
<br />of Version 2.0 in 2009 signals regular, biennial
<br />terminology releases of ICNP®, an important step in
<br />terminology viability for users worldwide.
<br />Learning objectives:
<br />1. Describe the history of ICNP® development.
<br />2. Understand ontology and web ontology
<br />language as applied to ICNP®.
<br />3. Describe Version 2.0 and its fitness for use.
<br />4. Describe ways of participating in ICNP®
<br />development and application.
<br />ICN NETWORK MEETINGS
<br />N7 l (2 ICNECs)
<br />ICN Research Network: Sharing
<br />Experiences and Best Practices
<br />Speakers: Carlo Colombo (Switzerland);
<br />Peter Johnson (USA); Claire Kilpatrick (WHO);
<br />Anne-Marie Mottaz (France); Alison Tierney
<br />(Australia); Jean Yan (WHO)
<br />Room: Hall 2F
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Nursing research provides opportunities for linkages
<br />between those involved in the research process,
<br />practising nurses, other health professionals, policy
<br />makers and the public. With rapid advances in
<br />knowledge and technology, nursing research serves
<br />as a framework for organising facts and evidence
<br />into a coherent and usable format to improve care
<br />outcomes and cost effectiveness. A Research
<br />network provides a vehicle for continual exchange
<br />of knowledge and experience.
<br />Learning objectives:
<br />1. Share country experiences in nursing and health
<br />research.
<br />2. Discuss ways of optimising the work of the
<br />Research network.
<br />N8 l (2 ICNECs)
<br />ICN Nursing Education Network:
<br />New Network Launch and Key Topic
<br />‘International Nursing Faculty’
<br />Moderators: Virginia Adams (Network
<br />Chair); ICN staff
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />The title of this network session has been chosen to
<br />reflect the network’s ambitions for the short and
<br />medium term. In addition to focusing on how nurse
<br />educators can inform the policy debate it is the
<br />intention of network to identify the leadership
<br />group for the coming two years. The launching of
<br />this network in Durban is significant and recognises
<br />the important role those involved in nurse
<br />education play in all settings and at all levels.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key issues related to the role and
<br />contribution of those involved in nursing
<br />education policy.
<br />2. Understand the proposed and potential role of
<br />the ICN Nursing Education network.
<br />3. Identify ways of contributing to the work of the
<br />ICN Nursing Education network.
<br />4. Share experiences of nurse educators in different
<br />settings around the world.
<br />N9 l (2 ICNECs)
<br />ICN Rural and Remote Nurses Network:
<br />Increasing Access to Front Line Services
<br />Moderator: Debra Cerasa & Barb Shellian
<br />(Network Chairs); ICN staff
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />As of 2003 more than 3 billion people or about half
<br />of the world’s population lived in rural areas. These
<br />population trends have significant health service
<br />implications for the world’s rural populations, as
<br />health systems are often not well placed to meet the
<br />health needs of rural and remote populations. The
<br />ICN Rural and Remote Nurses Network is very keen
<br />to engage with the wider international nursing
<br />community to develop the science of rural nursing in
<br />the global context and inform policy developments
<br />that increase access to services.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand key issues related to the role of
<br />nurses working in rural and remote areas.
<br />2. Share experiences of nurses working in rural and
<br />remote settings in different countries and how
<br />they contribute to increased access to services.
<br />3. Identify ways of contributing to the work of the
<br />network.
<br />N10 l (2 ICNECs)
<br />ICN HIV/AIDS Network: Challenges and
<br />Opportunities in HIV Care
<br />Speakers: Carmen Anazor (Mauritius);
<br />Catrin Evans (UK); Nelouise Geyer (South
<br />Africa); Nyangi Philemon Ngomu (South
<br />Africa); Adele Webb (USA)
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />As key health care providers nurses are challenged
<br />to be in the forefront of HIV prevention, care,
<br />treatment and support. Yet the current staff
<br />shortages and lack of resources including access to
<br />antiretrovirals, protective equipment and post
<br />exposure prophylaxis compound the caring role. The
<br />HIV/AIDS network can be a resource for continual
<br />exchange of knowledge and best practices. However
<br />the members must contribute to its functioning and
<br />effectiveness.
<br />Learning objectives:
<br />1. Share country experiences in HIV and AIDS.
<br />2. Discuss ways of optimising the work of the
<br />HIV/AIDS network.
<br />WORKSHOPS
<br />W11l (2 ICNECs)
<br />Project Reporting and Management
<br />Speaker: Paula DeCola (Pfizer)
<br />Room: 21G
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />The goal of project management is to control for
<br />the unexpected and unpredictable through the
<br />application of systematic processes in order to meet
<br />the cost, quality, and time expectations of all
<br />invested parties. This workshop will provide
<br />foundational knowledge so learners can effectively
<br />put principles to work at their own organizations.
<br />The focus of the workshop will be on the project
<br />lifecycle, project network, resourcing,
<br />documentation, teamwork, leadership, risk
<br />management and effective communication.
<br />Learning objectives:
<br />1. Build capacity in project management and
<br />reporting.
<br />2. Understand how to apply principles and good
<br />practice in project management.
<br />W12l (2 ICNECs)
<br />Tuberculosis Project Trainers and
<br />Managers (invitational)
<br />Speaker: Frederick Omiah (Kenya)
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Attendance at this workshop is by invitation only.
<br />W13l (2 ICNECs)
<br />Coaching Skills to Advance Nursing
<br />Speaker: Mary Wheeler (Canada)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Coaching is an interactive, interpersonal process
<br />that supports continuing personal and professional
<br />development through the acquisition of appropriate
<br />skills, actions and abilities that are key to
<br />professional practice. It is a key competency for
<br />leaders, managers, educators, researchers and
<br />practitioners. Coaching enables nurses to engage in
<br />conversations and relationships with others that are
<br />directed at enhancing professional development,
<br />career commitment and practice.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the relationship between coaching
<br />and career/professional development.
<br />2. Learn how coaching supports nurses and nursing
<br />practice.
<br />3. Explore key components of a coach training
<br />programme.
<br />W14l (1 ICNEC)
<br />International Classification for Nursing
<br />Practice (ICNP®): Catalogues and
<br />Collaborative Development
<br />Moderators: Claudia Bartz (ICN); Amy Coenen
<br />(ICN); Nicholas Hardiker (ICN); Kay Jansen (ICN)
<br />Room: 11AB
<br />Time: 13:30-14:20
<br />Language: English
<br />Catalogues are subsets of ICNP® developed for
<br />specialties, settings, nurse-sensitive phenomena and
<br />health conditions. ICN is encouraging worldwide
<br />development of catalogues for use at the point of
<br />care. The description of the web-based tool will be
<br />timely in that it will be implemented in early 2009.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the purpose and development
<br />process for ICNP® catalogues.
<br />2. Describe the web-based collaborative
<br />development tool.
<br />3. Describe how the tool can be accessed and used.
<br />4. Identify one or ways in which one can contribute
<br />to ICNP® development.
<br />W15l (2 ICNECs)
<br />Board Orientation – Spanish
<br />Moderator: Judith De Centeno (ICN)
<br />Room: 21G
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: Spanish
<br />Election of the association board members is a
<br />significant element for ensuring good governance,
<br />efficiency and corporate renewal. Once the election
<br />process is complete it is critical that newly elected
<br />board and/or executive committee members are
<br />appropriately orientated to their role. However,
<br />evidence indicates the majority of new board and
<br />executive committee members have no preparation
<br />for their new role. It is therefore critical that boards
<br />establish a system of induction/orientation for new
<br />members, to include corporate governance, structure
<br />and culture of the organisation and the personal
<br />qualities they are expected to bring to the role.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the theoretical underpinnings and
<br />current challenges in contemporary corporate
<br />governance.
<br />2. Identify the critical elements of an orientation
<br />programme for new and existing board/executive
<br />committee members, organisational culture and
<br />skills and qualities.
<br />3. Develop a board orientation programme for new
<br />and existing board members.
<br />W16l (2 ICNECs)
<br />Mobile Library (invitational)
<br />Moderator: ICN staff
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />Attendance at this workshop is by invitation only.
<br />W17l (2 ICNECs)
<br />Handling Professional Complaints
<br />– English
<br />Moderator: Kathy George (UK)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 13:30-15:20
<br />Language: English
<br />Complaints management highlights the overlap in
<br />responsibilities and accountabilities between the
<br />regulator, employer and individual nurse. It is
<br />frequently the source of questions about who, what
<br />and when to report. In many cases, a nurse whose
<br />conduct does not meet acceptable standards may
<br />be managed appropriately in the workplace
<br />through sound performance planning processes.
<br />However, there are other instances when the matter
<br />should be reported immediately to the regulatory
<br />body. The dilemma exists for complaints arising in
<br />between these two extremes.
<br />Learning objectives:
<br />1. Create an awareness of the challenges faced by
<br />various stakeholders when receiving and
<br />managing complaints about professional
<br />conduct.
<br />2. Identify principles for managing complaints
<br />effectively.
<br />3. Identify strategies to support effective
<br />communication between various stakeholders
<br />involved in managing complaints.
<br />W18l (2 ICNECs)
<br />Handling Professional Complaints
<br />– Spanish
<br />Speaker: Máximo González Jurado (Spain)
<br />Room: Hall 2F
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: Spanish
<br />Complaints management highlights the overlap in
<br />responsibilities and accountabilities between the
<br />regulator, employer and individual nurse. It is
<br />frequently the source of questions about who, what
<br />and when to report. In many cases, a nurse whose
<br />conduct does not meet acceptable standards may
<br />be managed appropriately in the workplace
<br />through sound performance planning processes.
<br />However, there are other instances when the matter
<br />should be reported immediately to the regulatory
<br />body. The dilemma exists for complaints arising in
<br />between these two extremes.
<br />Learning objectives:
<br />1. Create an awareness of the challenges faced by
<br />various stakeholders when receiving and
<br />managing complaints about professional conduct.
<br />2. Identify principles for managing complaints
<br />effectively.
<br />3. Identify strategies to support effective
<br />communication between various stakeholders
<br />involved in managing complaints.
<br />W19l (2 ICNECs)
<br />Positive Practice Environments
<br />Moderator: Francis Supparayen (ICN)
<br />Room: 21G
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />Today’s health care systems are frequently
<br />challenged by poor quality workplaces. Such
<br />environments directly affect the recruitment and
<br />retention potential of health facilities and contribute
<br />to imbalances in labour supply. Heavy workloads,
<br />lack of professional autonomy, long working hours,
<br />unsafe workplaces and unfair pay are just some of
<br />the numerous factors threatening the quality of
<br />health professionals’ work life, productivity, practice
<br />and performance.Workplace factors that support
<br />excellence and decent work have been identified
<br />and documented. Positive practice environments are
<br />key to attracting and retaining staff, improving
<br />patient outcomes and increasing health systems’
<br />efficiency.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the importance of PPE and the core
<br />elements of a good work environment.
<br />2. Identify workplace priorities and effective
<br />strategies.
<br />3. Learn how to get involved in the PPE Campaign.
<br />W20l (2 ICNECs)
<br />Advocacy – Policy Development
<br />Speakers: Paula Donovan (AIDS-Free World);
<br />Judith A. Oulton (Canada)
<br />Room: 21DEF
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />Capacity to impact and shape policy at the
<br />workplace and at the government/societal level is
<br />key in ensuring the universal access to quality, costeffective
<br />health care. It is a critical activity for nurses
<br />in leading nations to better health. This workshop
<br />will review strategies and tools in defining needed
<br />new /revised policy initiatives and designing and
<br />implementing effective advocacy in support of this
<br />work. Led by two internationally experienced and
<br />successful advocates and policy shapers this session
<br />aims to tool you up for impact and outcomes.
<br />Learning objectives:
<br />1. Better understand the strategic dynamics of
<br />advocacy and policy shaping.
<br />2. Critically reflect on how and when to implement
<br />advocacy campaigns.
<br />3. Acquire/sharpen advocacy skills.
<br />W21l (2 ICNECs)
<br />Board Orientation – English
<br />Moderator: Franz Wagner (ICN)
<br />Room: 22ABC
<br />Time: 15:30-17:20
<br />Language: English
<br />Election of the association board members is a
<br />significant element for ensuring good governance,
<br />efficiency and corporate renewal. Once the election
<br />process is complete it is critical that newly elected
<br />board and/or executive committee members are
<br />appropriately orientated to their role. However,
<br />evidence indicates the majority of new board and
<br />executive committee members have no preparation
<br />for their new role. It is therefore critical that boards
<br />establish a system of induction/orientation for new
<br />members, to include corporate governance, structure
<br />and culture of the organisation and the personal
<br />qualities they are expected to bring to the role.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the theoretical underpinnings and
<br />current challenges in contemporary corporate
<br />governance.
<br />2. Identify the critical elements of an orientation
<br />programme for new and existing board/executive
<br />members, organisational culture and skills and
<br />qualities.
<br />3. Develop a board orientation programme for new
<br />and existing board members.
<br />
<br /><span style="font-weight:bold;">JUMAT, 3 JULI 2009 </span>
<br />PLENARY SESSION
<br />P4 l (1 ICNEC)
<br />Globalisation and Financing
<br />Health Systems
<br />Speaker: Diane McIntyre (South Africa)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 09:00-09:50
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Globalisation is a dynamic process implicating
<br />governments, systems and citizens worldwide.
<br />Human societies have been approaching each other
<br />over centuries but the pace has recently increased
<br />dramatically. The interdependence is greater than
<br />ever. In a rapidly globalizing world, continuing
<br />attention needs to be paid to health sector
<br />financing systems and commitments made by
<br />governments to national and global communities.
<br />Health services, health care workers and patients
<br />worldwide are affected. How can globalisation
<br />support excellence in care and decent work?
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand the process of globalization – its
<br />threats and its opportunities.
<br />2. Discuss various health financing systems.
<br />3. Determine the impact on governments, health
<br />services, health care workers and patients.
<br />4. Promote strategies that will support quality care
<br />and decent work.
<br />P5 l (1 ICNEC)
<br />Motivational Plenary
<br />Speaker: Stella Anyangwe (WHO)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 14:30-15:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />MAIN SESSIONS
<br />M30l (1.5 ICNECs)
<br />Positive Practice Environments
<br />Speakers: Patrick Suleiman Bateganya
<br />(Uganda); Otmar Kloiber (World Medical
<br />Association); Susan Steiman (South Africa)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />Today poor quality workplaces are a current feature
<br />of many health systems around the world. Such
<br />environments weaken an employer’s ability to meet
<br />the organisations’ performance targets and are
<br />strong push factors encouraging migration.
<br />Unrealistic work loads, poorly equipped facilities,
<br />unsafe working conditions and low salaries are
<br />among the many factors affecting the work life,
<br />performance and socio-economic welfare of many
<br />health care workers. Positive Practice Environments
<br />strengthen the performance and cost effectiveness
<br />of the health workforce while improving patient
<br />outcomes and workers’ wellbein
<br />Learning objectives:
<br />1. Have an overview of the present practice
<br />environment in our health settings.
<br />2. Create an awareness of the negative and positive
<br />impacts of work environments.
<br />3. Advocate for strategies that will promote Positive
<br />Practice Environments.
<br />M31l (1.5 ICNECs)
<br />Tuberculosis
<br />Speakers: Gerry Elsdon (South Africa); Tania
<br />Isabel Gil Monteiro (Portugal); Nona Rachel
<br />Mira (Philippines)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 10:00-11:20
<br />Languages: English, Spanish and French
<br />TB is one of the three main diseases of poverty
<br />which have been highlighted in the UN Millennium
<br />Development Goals. There are now a greater
<br />number of cases of TB in the world than ever before
<br />in spite of increased efforts to control the disease.
<br />The increase in levels of multi-drug resistant TB and
<br />the emergence of extensively drug resistant TB are
<br />of renewed concern especially in the face of the
<br />continued alliance between TB and HIV. With
<br />increased foreign travel and migration this is no
<br />longer confined to although it is at its most serious
<br />in the developing world.
<br />Learning objectives:
<br />1. Understand current TB situation and challenges
<br />posed by resistant disease.
<br />2. Discuss potential for nurses to address the
<br />challenges in their local environment.
<br />3. Describe best practice with regard to patient care
<br />and safe management of the disease.
<br />M32l (1.5 ICNECs)
<br />Error Management and Patient Safety
<br />Speakers: Anne-Karine Hjortnaes and Marit
<br />Solhaug (Norway); Elba Olivera (Bolivia)
<br />Room: Hall 5 & 6
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, French and Spanish
<br />Whilst a basic tenet of all professionals involved in
<br />care is that we do no harm, errors do occur, and as
<br />a result complications resulting in prolongation of
<br />treatment or even death can result. Systematic
<br />approaches can be taken to address some of the
<br />commonly recognised problems and risks that are
<br />part and parcel of health care delivery.
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify sources of errors and iatrogenic risk
<br />to patients.
<br />2. Consider approaches that can be used to
<br />address error and iatrogenic effects of health
<br />care delivery.
<br />3. Critically reflect on the experiences of the
<br />presenters and how such approaches might
<br />apply to your setting.
<br />M33l (1.5 ICNECs)
<br />Strengthening National Nurses
<br />Associations
<br />Speakers: Peter Carter (UK); Janet Obuni
<br />(Uganda); Prescola Rolle (Bahamas)
<br />Room: Hall 1A
<br />Time: 11:30-12:50
<br />Languages: English, French and Spanish
<br />There is significant variation across countries in
<br />relation to the size (percentage of nurses in
<br />membership as a proportion of those qualified),
<br />participation (those that are actively engaged in the
<br />activities of the association), functions (whether
<br />encompassing one or more of the ICN pillars -
<br />regulation, professional development and socioeconomic
<br />welfare of the members) and influence
<br />(the degree to which the organisation is part of
<br />policy making and shaping processes).
<br />Learning objectives:
<br />1. Identify how NNAs can assess their current
<br />performance.
<br />2. Consider approaches that can be used to
<br />address: membership growth, governance
<br />processes, policy influence and member
<br />engagement.
<br />3. Critically reflect on how goals can be set and
<br />progress assessed against priority areas for
<br />development.
<br />ICN NETWORK MEETING
<br />N11 l (2 ICNECs)
<br />ICN Disaster Response Network
<br />Moderators: Eric Chan (Hong Kong); Anita
<br />Alero Davies (IOM); Donna Dorsey (USA)
<br />Room: 22DEFG
<br />Time: 10:00-11:50
<br />Language: English
<br />Disaster preparedness is critical to the delivery of
<br />effective responses to the short, medium, and longterm
<br />health needs of a disaster-stricken population
<br />and critical for sustainable and continued
<br />development. Nurses with their technical skills and
<br />knowledge can assist in disaster preparedness
<br />programmes, as well as during disasters. The second
<br />meeting of this network will provide the
<br />opportunity to raise awareness of disaster-relief
<br />issues to encourage healthy professional responses
<br />to emergency situations.
<br />Learning objectives:
<br />1. Present an overview of disaster response issues.
<br />2. Appreciate the development and implementation
<br />of disaster nursing competencies.
<br />3. Look at the obstacles and facilitators of nurses
<br />responding to disaster victims’ needs.
<br />4. Strategic planning for the Network’s future
<br />activities.
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-79145429770739893922009-07-01T07:41:00.000-07:002009-07-01T07:49:05.737-07:00Registrasi dan Praktik Perawat<span style="font-weight:bold;">KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
<br />NOMOR 1239/Menkes/SK/XI/2001</span>
<br />
<br />TENTANG
<br />REGISTRASI DAN PRAKTIK PERAWAT
<br />MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
<br />
<br />Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah
<br />perlu diadakan penyempurnaan Keputusan Menteri
<br />Kesehatan Nomor 647/Menkes/SK/IV/2000 tentang
<br />Registrasi dan Praktik Perawat;
<br />Mengingat :
<br />1. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 1992
<br />tentang Kesehatan<span class="fullpost">(Lembaran Negara Tahun 1992
<br />Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara
<br />Nomor 3495 );
<br />2. Undang - undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
<br />Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
<br />Nomor 60 Tambahan Lembaran Negara Nomor
<br />3839);
<br />3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
<br />tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
<br />Tahun 1996 Nomor 49 , Tambahan Lembaran
<br />Negara Nomor 3637);
<br />4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
<br />Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
<br />Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran
<br />Negara Tahun 2000 Nomor 54 Tambahan Lembaran
<br />Negara Nomor 3952);
<br />5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang
<br />Pembinaan dan Pengawasan Atas
<br />Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
<br />(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 41
<br />Tambahan Lembaran Negara Nomor 4090);
<br />6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang
<br />Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran
<br />Negara Tahun 2001 Nomor 62, Tambahan
<br />Lembaran Negara Nomor 4095).
<br />MEMUTUSKAN :
<br />
<br />Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
<br />TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK PERAWAT.
<br />
<br />BAB I
<br />KETENTUAN UMUM
<br />Pasal 1
<br />Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
<br />1. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat
<br />baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan
<br />peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />2. Surat Izin Perawat selanjutnya disebut SIP adalah bukti tertulis
<br />pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan
<br />keperawatan di seluruh wilayah Indonesia.
<br />3. Surat Izin Kerja selanjutnya disebut SIK adalah bukti tertulis yang
<br />diberikan kepada perawat untuk melakukan praktik keperawatan
<br />di sarana pelayanan kesehatan.
<br />4. Surat Izin Praktik Perawat selanjutnya disebut SIPP adalah bukti
<br />tertulis yang diberikan kepada perawat untuk menjalankan praktik
<br />perawat perorangan/berkelompok.
<br />5. Standar Profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan
<br />sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik.
<br />
<br />BAB II
<br />PELAPORAN DAN REGISTRASI
<br />Pasal 2
<br />(1) Pimpinan penyelenggara pendidikan perawat wajib
<br />menyampaikan laporan secara tertulis kepada Kepala Dinas
<br />Kesehatan Propinsi mengenai peserta didik yang baru lulus,
<br />selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah dinyatakan lulus
<br />pendidikaan keperawatan.
<br />(2) Bentuk dan isi laporan dimaksud pada ayat (1) sebagaimana
<br />tercantum dalam formulir I terlampir.
<br />
<br />Pasal 3
<br />(1) Perawat yang baru lulus mengajukan permohonan dan
<br />mengirimkan kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinas
<br />Kesehatan Propinsi dimana sekolah berada guna memperoleh SIP
<br />selambat-lambatnya 1(satu) bulan setelah menerima ijazah
<br />pendidikan keperawatan.
<br />(2) Kelengkapan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />meliputi :
<br />a. foto kopi Ijazah pendidikan perawat.
<br />b. surat keterangan sehat dari dokter.
<br />c. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar.
<br />(3) Bentuk permohonan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />tercantum dalam formulir II terlampir.
<br />
<br />Pasal 4
<br />(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan,
<br />melakukan registrasi berdasarkan permohonan sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 3 untuk menerbitkan SIP.
<br />(2) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepala
<br />Dinas Kesehatan Propinsi atas nama Menteri Kesehatan, dalam
<br />waktu selambat-lambatnya 1(satu) bulan sejak permohonan
<br />diterima dan berlaku secara nasional.
<br />(3) Bentuk dan isi SIP sebagaimana tercantum dalam formulir III
<br />terlampir.
<br />
<br />Pasal 5
<br />(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi harus membuat pembukuan
<br />registrasi mengenai SIP yang telah diterbitkan.
<br />(2) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi menyampaikan laporan secara
<br />berkala kepada Menteri Kesehatan melalui Sekretariat Jenderal
<br />c.q Kepala Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan mengenai
<br />SIP yang telah diterbitkan untuk kemudian secara berkala akan
<br />diterbitkan dalam buku registrasi Nasional.
<br />
<br />Pasal 6
<br />(1) Perawat lulusan luar negeri wajib melakukan adaptasi untuk
<br />melengkapi persyaratan mendapatkan SIP.
<br />(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
<br />sarana pendidikan milik pemerintah.
<br />(3) Untuk melakukan adaptasi perawat mengajukan permohonan
<br />kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
<br />(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
<br />melampirkan :
<br />a. foto kopi Ijazah yang telah dilegalisir oleh Direktur Jenderal
<br />Pendidikan Tinggi.
<br />b. transkrip nilai ujian yang bersangkutan.
<br />4
<br />(5) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi berdasarkan permohonan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menerbitkan rekomendasi
<br />untuk melaksanakan adaptasi.
<br />(6) Perawat yang telah melaksanakan adaptasi berlaku ketentuan
<br />sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4.
<br />
<br />Pasal 7
<br />(1) SIP berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui serta
<br />merupakan dasar untuk memperoleh SIK dan/atau SIPP.
<br />(2) Pembaharuan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />dilakukan pada Dinas Kesehatan Propinsi dimana perawat
<br />melaksanakan asuhan keperawatan dengan melampirkan :
<br />a. SIP yang telah habis masa berlakunya ;
<br />b. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />c. pas foto ukuran 4 X 6 cmsebanyak 2(dua) lembar.
<br />
<br />BAB III
<br />PERIZINAN
<br />Pasal 8
<br />(1) Perawat dapat melaksanakan praktik keperawatan pada sarana
<br />pelayanan kesehatan, praktik perorangan dan/atau berkelompok.
<br />(2) Perawat yang melaksanakan praktik keperawatan pada sarana
<br />pelayanan kesehatan harus memiliki SIK.
<br />(3) Perawat yang melakukan praktik perorangan/berkelompok harus
<br />memiliki SIPP.
<br />
<br />Pasal 9
<br />(1) SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) diperoleh
<br />dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
<br />Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
<br />(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
<br />dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi ijazah pendidikan keperawatan;
<br />b. foto kopi SIP yang masih berlaku;
<br />c. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />d. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
<br />e. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan
<br />yang menyatakan tanggal mulai bekerja;
<br />f. rekomendasi dari Organisasi Profesi
<br />(3) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />tercantum pada formulir IV terlampir.
<br />
<br />Pasal 10
<br />SIK hanya berlaku pada 1 (satu) sarana pelayanan kesehatan.
<br />
<br />Pasal 11
<br />Permohonan SIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, selambatlambatnya
<br />diajukan dalam waktu 1(satu) bulan setelah diterima
<br />bekerja.
<br />
<br />Pasal 12
<br />(1) SIPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) diperoleh
<br />dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
<br />Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
<br />(2) SIPP hanya diberikan kepada perawat yang memiliki pendidikan
<br />ahli madya keperawatan atau memiliki pendidikan keperawatan
<br />dengan kompetensi lebih tinggi.
<br />(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
<br />dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi ijazah ahli madya keperawatan, atau ijazah
<br />pendidikan dengan kompetensi lebih tinggi yang diakui
<br />pemerintah;
<br />b. surat keterangan pengalaman kerja minimal 3(tiga) tahun dari
<br />pimpinan sarana tempat kerja, khusus bagi ahli madya
<br />keperawatan;
<br />c. foto kopi SIP yang masih berlaku;
<br />d. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />e. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
<br />f. rekomendasi dari organisasi profesi;
<br />(4) Bentuk permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />seperti tercantum pada formulir V terlampir;
<br />(5) Perawat yang telah memiliki SIPP dapat melakukan praktik
<br />berkelompok.
<br />(6) Tata cara perizinan praktik berkelompok sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (5) sesuai ketentuan peraturan perundanganundangan
<br />yang berlaku.
<br />
<br />Pasal 13
<br />(1) Rekomendasi untuk mendapatkan SIK dan/atau SIPP dilakukan
<br />melalui penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan dalam
<br />bidang keperawatan, kepatuhan terhadap kode etik profesi serta
<br />kesanggupan malakukan praktik keperawatan.
<br />(2) Setiap perawat yang melaksanakan praktik keperawatan
<br />berkewajiban meningkatkan kemampuan keilmuan dan/atau
<br />keterampilan bidang keperawatan melalui pendidikan dan/atau
<br />pelatihan.
<br />
<br />Pasal 14
<br />(1) SIK dan SIPP berlaku sepanjang SIP belum habis masa berlakunya
<br />dan selanjutnya dapat diperbaharui kembali.
<br />(2) Pembaharuan SIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
<br />kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat
<br />dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi SIP yang masih berlaku;
<br />b. foto kopi SIK yang lama;
<br />c. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />d. pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
<br />e. surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan
<br />yang menyatakan masih bekerja sebagai perawat;
<br />f. rekomendasi dari organisasi profesi.
<br />(3) Pembaharuan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
<br />setempat dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi SIP yang masih berlaku;
<br />b. foto kopi SIPP yang lama;
<br />c. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />d. pas foto 4 x 6 cm sebayak 2(dua) lembar;
<br />e. rekomendasi dari organisasi profesi.
<br />
<br />BAB IV
<br />PRAKTIK PERAWAT
<br />Pasal 15
<br />Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berwenang
<br />untuk :
<br />a. melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian,
<br />penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan,
<br />melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi
<br />keperawatan;
<br />b. tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada butir a
<br />meliputi : intervensi keperawatan, observasi keperawatan,
<br />pendidikan dan konseling kesehatan;
<br />c. dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana
<br />dimaksud huruf a dan b harus sesuai dengan standar asuhan
<br />keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
<br />d. pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan
<br />berdasarkan permintaan tertulis dari dokter.
<br />
<br />Pasal 16
<br />Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 15 perawat berkewajiban untuk :
<br />a. menghormati hak pasien;
<br />b. merujuk kasus yang tidak dapat ditangani;
<br />c. menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundangundangan
<br />yang berlaku;
<br />d. memberikan informasi;
<br />e. meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
<br />f. melakukan catatan perawatan dengan baik.
<br />
<br />Pasal 17
<br />Perawat dalam melakukan praktik keperawatan harus sesuai dengan
<br />kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan
<br />pengalaman serta dalam memberikan pelayanan berkewajiban
<br />mematuhi standar profesi.
<br />
<br />Pasal 18
<br />Perawat dalam menjalankan praktik harus membantu program
<br />pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
<br />
<br />Pasal 19
<br />Perawat dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa
<br />meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti
<br />perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan
<br />dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya, baik diselenggarakan
<br />oleh pemerintah maupun organisasi profesi.
<br />
<br />Pasal 20
<br />(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa
<br />seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan
<br />pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 15.
<br />(2) Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (1) ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
<br />
<br />Pasal 21
<br />(1) Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus
<br />mencantumkan SIPP diruang praktiknya.
<br />(2) Perawat yang menjalankan praktik perorangan tidak
<br />diperbolehkan memasang papan praktik.
<br />
<br />Pasal 22
<br />(1) Perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan asuhan
<br />keperawatan dalam bentuk kunjungan rumah.
<br />(2) Perawat dalam melakukan asuhan keperawatan dalam bentuk
<br />kunjungan rumah harus membawa perlengkapan perawatan
<br />sesuai kebutuhan.
<br />
<br />Pasal 23
<br />(1) Perawat dalam menjalankan praktik perorangan sekurangkurangnya
<br />memenuhi persyaratan :
<br />a. memiliki tempat praktik yang memenuhi syarat kesehatan;
<br />b. memiliki perlengkapan untuk tindakan asuhan keperawatan
<br />maupun kunjungan rumah;
<br />c. memiliki perlengkapan administrasi yang meliputi buku
<br />catatan kunjungan, formulir catatan tindakan asuhan
<br />keperawatan serta formulir rujukan;
<br />(2) Persyaratan perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(1), sesuai dengan standar perlengkapan asuhan keperawatan
<br />yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
<br />
<br />BAB V
<br />PEJABAT YANG BERWENANG MENGELUARKAN DAN MENCABUT
<br />IZIN KERJA ATAU IZIN PRAKTIK
<br />Pasal 24
<br />(1) Pejabat yang berwenang mengeluarkan dan mencabut SIK atau
<br />SIPP adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
<br />(2) Dalam hal tidak ada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dapat menunjuk pejabat lain.
<br />
<br />Pasal 25
<br />(1) Permohonan SIK atau SIPP yang disetujui atau ditolak harus
<br />disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
<br />kepada pemohon dalam waktu selambat-lambatnya 1(satu)
<br />bulan sejak tanggal permohonan diterima.
<br />(2) Apabila permohonan SIK atau SIPP disetujui, Kepala Dinas
<br />Kesehatan Kabupaten/ Kota harus menerbitkan SIKatau SIPP.
<br />(3) Apabila permohonan SIK atau SIPP ditolak, Kepala Dinas
<br />Kesehatan Kabupaten/ Kota harus memberi alasan penolakan
<br />tersebut.
<br />(4) Bentuk dan isi SIK atau SIPP yang disetujui sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (2) tercantum dalam formulir VI dan VII terlampir.
<br />(5) Bentuk surat penolakan SIK atau SIPP sebagaimana di maksud
<br />pada ayat (3) tercantum dalam formulir VIII dan IX terlampir.
<br />
<br />Pasal 26
<br />Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menyampaikan laporan
<br />secara berkala kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat
<br />tentang pelaksanaan pemberian atau penolakan SIK atau SIPP
<br />diwilayahnya dengan tembusan kepada organisasi Profesi setempat.
<br />
<br />BAB VI
<br />PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
<br />Pasal 27
<br />(1) Perawat wajib mengumpulkan sejumlah angka kredit yang
<br />besarnya ditetapkan oleh organisasi profesi.
<br />(2) Angka kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikumpulkan
<br />dari kegiatan pendidikan dan kegiatan ilmiah lain.
<br />(3) Jenis dan besarnya angka kredit dari masing-masing unsur
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh organisasi
<br />profesi.
<br />(4) Organisasi profesi mempunyai kewajiban membimbing dan
<br />mendorong para anggotanya untuk dapat mencapai angka
<br />kredit yang ditentukan.
<br />
<br />Pasal 28
<br />Pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib melaporkan perawat
<br />yang melakukan praktik dan yang berhenti melakukan praktik pada
<br />sarana pelayanan kesehatannya kepada Kepala Dinas Kesehatan
<br />Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi.
<br />
<br />Pasal 29
<br />(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau organisasi
<br />yang terkait melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
<br />perawat yang menjalankan praktik keperawatan di wilayahnya.
<br />(2) Kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
<br />pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemantauan yang
<br />hasilnya dibahas dalam pertemuan periodik sekurang-kurangnya
<br />1 (satu) kali dalam 1(satu) tahun.
<br />
<br />Pasal 30
<br />Perawat selama menjalankan praktik perawat wajib mentaati semua
<br />peraturan perundang-undangan.
<br />
<br />Pasal 31
<br />(1) Perawat yang telah mendapatkan SIK atau SIPP dilarang :
<br />a. menjalankan praktik selain ketentuan yang tercantum dalam
<br />izin tersebut;
<br />b. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar
<br />profesi;
<br />(2) Bagi perawat yang memberikan pertolongan dalam keadaan
<br />darurat atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak
<br />ada tenaga kesehatan lain, dikecualikan dari larangan
<br />sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir a.
<br />
<br />Pasal 32
<br />(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau organisasi
<br />profesi dapat memberi peringatan lisan atau tertulis kepada
<br />perawat yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
<br />keputusan ini.
<br />(2) Peringatan lisan atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dan apabila peringatan
<br />tersebut tidak diindahkan, Kepala Dinas Kesehatan
<br />Kabupaten/Kota dapat mencabut SIK atau SIPP tersebut.
<br />
<br />Pasal 33
<br />Sebelum Keputusan pencabutan SIK atau SIPP ditetapkan, Kepala
<br />Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terlebih dahulu mendengar
<br />pertimbangan dari Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) atau
<br />Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis
<br />(MP2EPM ) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
<br />
<br />Pasal 34
<br />(1) Keputusan pencabutan SIK atau SIPP disampaikan kepada
<br />Perawat yang bersangkutan dalam waktu selambat-lambatnya 14
<br />(empat belas) hari terhitung sejak keputusan ditetapkan.
<br />(2) Dalam Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />disebutkan lama pencabutan SIK atau SIPP.
<br />(3) Terhadap keputusan pencabutan SIK atau SIPP sebagaimana
<br />dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan keberatan kepada
<br />Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dalam waktu 14 (empat belas)
<br />hari setelah keputusan diterima, apabila dalam waktu 14 (empat
<br />belas) hari tidak diajukan keberatan, maka keputusan
<br />pencabutan SIK atu SIPP tersebut dinyatakan mempunyai
<br />kekuatan hukum tetap.
<br />(4) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi memutuskan di tingkat pertama
<br />dan terakhir semua keberatan mengenai pencabutan SIK atau
<br />SIPP.
<br />(5) Sebelum prosedur keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(3) ditempuh Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang
<br />mengadili sengketa tersebut sesuai dengan maksud Pasal 48
<br />Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
<br />Usaha Negara.
<br />
<br />Pasal 35
<br />Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan setiap
<br />pencabutan SIK atau SIPP kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
<br />setempat dengan tembusan kepada organisasi profesi setempat.
<br />
<br />Pasal 36
<br />(1) Dalam keadaan luar biasa untuk kepentingan Nasional Menteri
<br />Kesehatan dan/atau atas rekomendasi organisasi profesi dapat
<br />mencabut untuk sementara SIK atau SIPP perawat yang
<br />melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang
<br />berlaku.
<br />(2) Pencabutan izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat
<br />(1) selanjutnya diproses sesuai dengan ketentuan keputusan ini.
<br />
<br />BAB VII
<br />SANKSI
<br />Pasal 37
<br />(1) Perawat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
<br />dalam Pasal 15 dan/atau Pasal 31 ayat (1)dikenakan sanksi
<br />administratif sebagai berikut :
<br />a. untuk pelanggaran ringan, pencabutan izin selama-lamanya 3
<br />(tiga) bulan.
<br />b. untuk pelanggaran sedang, pencabutan izin selama-lamanya
<br />6 (enam) bulan.
<br />c. untuk pelanggaran berat, pencabutan izin selama-lamanya 1
<br />(satu) tahun.
<br />(2) Penetapan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
<br />didasarkan atas motif pelanggaran serta situasi setempat.
<br />
<br />Pasal 38
<br />Terhadap perawat yang sengaja :
<br />a. melakukan praktik keperawatan tanpa mendapat
<br />pengakuan/adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;
<br />dan/atau
<br />b. melakukan praktik keperawatan tanpa izin sebagaimana
<br />dimaksud dalam Pasal 8 ;
<br />c. melakukan praktik keperawatan yang tidak sesuai dengan
<br />ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan/atau
<br />d. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
<br />Pasal 17.
<br />dipidana sesuai ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32
<br />Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
<br />
<br />Pasal 39
<br />Pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang tidak melaporkan
<br />perawat yang berpraktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
<br />dan/atau mempekerjakan perawat tanpa izin dikenakan sanksi
<br />administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
<br />yang berlaku.
<br />
<br />BAB VIII
<br />KETENTUAN PERALIHAN
<br />Pasal 40
<br />(1) Perawat yang telah memiliki SIP, SIK dan SIPP berdasarkan
<br />Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 647/Menkes/SK/IV/2000
<br />tentang Registrasi dan Praktik Perawat, dianggap telah memiliki
<br />SIP, SIK dan SIPP berdasarkan ketentuan ini.
<br />(2) SIP, SIK dan SIPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
<br />5(lima) tahun sejak ditetapkan Keputusan ini.
<br />
<br />Pasal 41
<br />(1) Perawat yang saat ini telah melakukan praktik perawat pada
<br />sarana pelayanan kesehatan yang belum memiliki SIP, SIK dan
<br />SIPP berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
<br />647/Menkes/SK/IV/2000, wajib memiliki SIP , SIK dan SIPP.
<br />(2) SIP dapat diperoleh secara kolektif dengan mengajukan
<br />permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
<br />(3) SIK dapat diperoleh secara kolektif dengan mengajukan
<br />permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
<br />setempat.
<br />(4) Permohonan mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (2) diperoleh dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi ijazah pendidikan keperawatan;
<br />b. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />c. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar.
<br />(5) Permohonan mendapatkan SIK sebagaimana dimaksud pada
<br />ayat (3) dilengkapi dengan :
<br />a. foto kopi ijazah pendidikan keperawatan;
<br />b. foto kopi SIP;
<br />c. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />d. surat keterangan dari pimpinan sarana kesehatan yang
<br />menyatakan masih bekerja sebagai perawat pada institusi
<br />bersangkutan;
<br />e. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar.
<br />(6) Perawat yang saat ini tidak berpraktik dapat memperoleh SIP
<br />dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
<br />Kesehatan Propinsi dengan melampirkan :
<br />a. foto kopi ijazah keperawatan;
<br />b. surat keterangan sehat dari dokter;
<br />c. pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar.
<br />
<br />BAB IX
<br />KETENTUAN PENUTUP
<br />Pasal 42
<br />Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri
<br />Kesehatan No. 647/Menkes/SK/IV/2000 tentang Registrasi dan Praktik
<br />Perawat dinyatakan tidak berlaku lagi.
<br />
<br />Pasal 43
<br />Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
<br />keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
<br />Indonesia.
<br />
<br />Ditetapkan di Jakarta
<br />pada tanggal 22 November 2001
<br />MENTERI KESEHATAN R.I
<br />
<br />Dr. ACHMAD SUJUDI
<br />
<br />masih ada yang belum tercantum yaitu lampiran formulir
<br />
<br />NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-30313185161254410402009-06-30T07:01:00.000-07:002009-06-30T07:11:59.721-07:00Kompetensi Spesialis Keperawatan KritisKOMPETENSI ialah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas dibidang pekerjaan tertentu. Untuk mengembangkan kompetensi seorang perawat spesialis keperawatan kritis kita perlu mengetahui ciri – ciri dari tingkat spesialis keperawatan kritis itu sendiri.
<br />
<br />Berikut ciri – ciri dari level spesialis keperawatan kritis<span class="fullpost"> menurut Robertson et al , (1996) adalah :
<br />1. Mengelola pasien dengan standar industry yang konsiten
<br />2. Hormat terhadap sejawat dan lainnya
<br />3. Role model
<br />4. Utilisasi pengetahuan dalam aplikasi dan mengintergrasikan pengetahuan dan praktek
<br />5. Respon terhadap perubahan lingkungan secara kontinyu
<br />6. Utilisasi riset dalam praktek
<br />7. Mendukung staf yang kurang pengalaman dan menunjukan kesadaran kebutuhan dari keutuhan unit
<br />8. Profesional yang aktif
<br />9. Memperlihatkan keterampilan komunikasi yang efektif
<br />10. Memperlihatkan keterampilan pengkajian tingkat tinggi
<br />11. Intrepretasikan situasi yang kompleks
<br />12. Bertindakn sebagai coordinator perawatan
<br />
<br />Setelah mengetahui ciri – ciri dari keperawatan kritis spesialis maka kita lebih mudah dalam merumuskan kompetensi , elemen dan ujuk kerja /penampilan yang dibutuhkan.
<br /></span>NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-14489243017349522362009-06-28T00:49:00.000-07:002009-06-28T00:52:57.256-07:00Analisis SWOT MRA (Mutual Recognition Arrangement ) bagi Perawat IndonesiaUpaya pemerintah untuk memajukan negara melalui kesepakatan – kesepakatan dengan negara –negara ASEAN merupakan hal yang positif, tetapi hal yang lebih penting adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk melaksanakan kesepakatan tersebut seperti halnya akan diberlakukannya MRA se –ASEAN tahun 2010 untuk bidang keperawatan. <br /><br />Tentunya hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata, karena ada beberapa pandangan efek dari globalisasi tidak selalu kepada hal positif tetapi merupakan jalan imperialis atau penjajahan bentuk baru<span class="fullpost">dengan kata lain kita tinggal memilih menjadi subjek atau objek . <br /><br />Tetapi jika tanpa persiapan yang matang JANGAN MIMPI kita dapat jadi subyek, dalam hal ini penulis mencoba untuk menganalisis MRA dengan menggunakan SWOT (untuk isi dari MRA dapat membaca artikel sebelumnya) <br /><br /><span style="font-weight:bold;">STRENGTHS (S) </span><br />- Pengusaan keterampilan praktek <br />- Jumlah perawat yang banyak <br />- Standar gaji perawat indonesia relative <br /><br /><span style="font-weight:bold;">WEAKNESSES (W) </span><br />- Gaji perawat yang minim dapat mengakibatkan Brain drain Perawat mahir dari Indonesia <br />- Penguasaan English proficiency rendah <br />- Standarisasi perawat <br />- Belum ada badan khusus/ nursing board untuk membuat regulasi MRA di Indonesia <br /><br /><span style="font-weight:bold;">OPPORTUNIES (O) </span><br />- Pengembangan standar pelayanan keperawatan global, kualitas pelayanan akan semakin baik <br />- Pertukaran informasi dan keahlian <br />- Adopsi praktek pelayanan keperawatan terbaik <br />- Kesempatan untuk pengembangan pengetahuan <br />- Peluang kerja lebih terbuka <br /><br /><span style="font-weight:bold;">THREATHS (T)</span><br />- Ekspansi budaya <br />- Ekspansi politik <br />- Ekspolitasi tenaga keperawatan <br />- Westernisasi <br /><br /><span style="font-weight:bold;">STRATEGI ANTISIPASI </span><br />- Tenaga asing yang akan bekerja ke indonesia harus benar – benar migrasi keterampilan dan professional yang bisa diadopsi oleh perawat Indonesia <br />- Rekruitmen yang ketat mencakup antisipasi ekspansi budaya, politik dan westernisasi terutama kepada Negara – Negara yang sudah terbukti mempunyai visi imperialis <br />- Hindarkan dan tindak tegas kepada agensi atau badan pemerintah yang sudah tendensius kepada eksploitasi tenaga perawat dijadikan komersialisasi <br />- Hindarkan kesenjangan penggajian antara tenaga perawat luar negeri dan tenaga dalam negeri <br />- Pengaturan tenaga asing berasas take and give tidak semata hanya pekerjaan <br />- Memanfaatkan peluang kerja yang ada dengan terkontrol oleh organisasi profesi <br />- Pengembangan kemampuan bahasa inggris dalam kurikulum sebagai ekstrakurikuler minimal 12 sks <br />- Membuat Nursing board untuk membuat regulasi diberlakukannya MRA ASEAN<br />- Dibuat mekanisme perawat mahir yang bekerja keluar negeri hanya untuk meningkatkan kompetensi dengan waktu terbatas selanjutnya diminta untuk mengembangkan di dalam negeri <br /><br />Mudah – mudahan tulisan ini menjadi stimulus buat kita sebagai perawat untuk instropeksi diri dan mempersiapkan diri menghadapi MRA – ASEANNEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-10324479720572292412009-06-27T20:27:00.000-07:002009-06-27T20:31:49.093-07:00Pengaturan Pengakuan dalam Pelayanan Keperawatan se-ASEAN (MRA)ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services<br />PREAMBLE<br /><br />The Governments of Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodia, the Republic of Indonesia, Lao People’s Democratic Republic, Malaysia, the Union of Myanmar, the Republic of the Philippines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand, and the Socialist Republic of Viet Nam, Member Countries of the Association of South East Asian Nations (hereinafter collectively referred to as “ASEAN” or “ASEAN Member Countries” or singularly as “ASEAN Member Country”);RECOGNISING the objectives of the ASEAN Framework Agreement on Services (hereinafter referred to as “AFAS”), which are to enhance cooperation in services amongst ASEAN Member Countries in order to improve the efficiency and competitiveness<span class="fullpost">diversify production capacity and supply and distribution of services of their services suppliers within and outside ASEAN; to eliminate substantially the restrictions to trade in services amongst ASEAN Member Countries; and to liberalise trade in services by expanding the depth and scope of liberalisation beyond those undertaken by ASEAN Member Countries under the General Agreement on Trade in Services (hereinafter referred to as<br />“GATS”) with the aim to realising free trade in services; RECOGNISING the ASEAN Vision 2020 on Partnership in Dynamic Development, approved on 14 June 1997, which charted towards the year 2020 for ASEAN the creation of a stable, prosperous and<br />highly competitive ASEAN Economic Region which would result in:<br />•free flow of goods, services and investment;<br />•equitable economic development, and reduced poverty and socio-economic disparities; and<br />•enhanced political, economic and social stability;<br />NOTING that Article V of AFAS provides that ASEAN Member Countries may recognise the education<br />or experience obtained, requirements met, and licence or certification granted in other ASEAN<br />Member Countries, for the purpose of licensing or certification of service suppliers;<br />NOTING the decision of the Bali Concord II adopted at the Ninth ASEAN Summit held in 2003 calling<br />for completion of Mutual Recognition Arrangements (hereinafter referred to as “MRAs” or singularly as “MRA”) for qualifications in major professional services by 2008 to facilitate free movement of professionals/skilled labour/talents in ASEAN; and<br />PROVIDING an MRA on Nursing Services that would strengthen professional capabilities by promoting the flow of relevant information and exchange of expertise, experience and best practices suited to the specific needs of ASEAN Member Countries.<br />HAVE AGREED as follows<br /><br />ARTICLE I<br />OBJECTIVES<br />The objectives intended under this MRA are to:<br />1.1 facilitate mobility of nursing professionals within ASEAN;<br />1.2 exchange information and expertise on standards and qualifications;<br />1.3. promote adoption of best practices on professional nursing services; and<br />1.4 provide opportunities for capacity building and training of nurses.<br /><br />ARTICLE II<br />DEFINITIONS AND SCOPE<br />In this MRA, unless the context otherwise stated,<br />2.1 Nurse refers to a natural person who has completed the required professional training and<br />conferred the professional nursing qualification; and has been assessed by the Nursing Regulatory<br />Authority of the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake<br />professional nursing practice; and is registered and/or licensed as a professional nurse by the Nursing<br />Regulatory Authority of the Country of Origin. This definition shall not apply to a technical level<br />nurse.<br />2.2 Country of Origin refers to the participating ASEAN Member Country where a nurse has a valid<br />and current registration and/or licence to practise nursing.<br />2.3 Foreign Nurse refers to a nurse of ASEAN nationality who is registered and/or licensed to<br />practise nursing in the Country of Origin and is applying to be registered and/or licensed to practise<br />nursing in a Host Country in accordance with the Policy on Practice of Nursing in the Host Country.<br />2.4 Host Country refers to the participating ASEAN Member Country where a Foreign Nurse applies<br />to be registered and/or licensed to practise nursing.<br />2.5 Nursing Qualification means the qualification in nursing granted by a recognised Training<br />Institution approved and recognised by the Nursing Regulatory Authority and/or the appropriate<br />agency of the Country of Origin.<br />2.6 Nursing Regulatory Authority (hereinafter referred to as “NRA”) means a body vested with the<br />authority by the Government of each ASEAN Member Country to control and regulate nurses and the<br />practice of nursing. In this MRA, NRA refers to the following:<br /><br />Nursing Board of Brunei<br />for Brunei Darussalam<br /><br />Ministry of Health,<br />Kingdom of Cambodia<br />for the Kingdom of Cambodia<br /><br />Ministry of Health,<br />Republic of Indonesia<br />for the Republic of Indonesia<br /><br />Ministry of Health Lao People's Democratic Republic<br />for Lao People's Democratic Republic<br /><br />Malaysia of Health & Midwifery Boards<br />for Malaysia<br /><br />Ministry of Health &<br />Myanmar Nursing and Midwifery Council<br />for the Union of Myanmar<br /><br />Professional Regulation Commission,<br />Board of Nursing<br />for the Republic of the Philippines<br /><br /><br />Singapore Nursing Board<br />for the Republic of Singapore<br /><br />Thailand Nursing Council<br /><br />for the Kingdom of Cambodia<br />Ministry of Health,<br /><br />Socialist Republic of Viet Nam<br />for Socialist Republic of Viet Nam<br /><br />2.7 Practice of Nursing refers to the provision of nursing care by a nurse that encompasses<br />promotive, preventive, curative and rehabilitative practices which may include education and<br />research.<br />2.8 Recognised Training Institution means any university, college or nursing education institutions<br />approved by the NRA and/or appropriate agency of the Country of Origin following procedures as<br />prescribed by its Government or its relevant authority.<br /><br />ARTICLE III<br />RECOGNITION, QUALIFICATIONS AND ELIGIBILITY<br />OF FOREIGN NURSES<br />3.1 Recognition of a Foreign Nurse<br />A Foreign Nurse may apply for registration or licence in a Host Country to be recognised and allowed<br />to practise nursing in accordance with the laws and regulations of the Host Country concerned,<br />subject to the following conditions:<br />3.1.1 Granted a Nursing Qualification;<br />3.1.2 Possession of a valid professional registration and/or licence from the Country of Origin and a<br />current practising licence or certificate or any relevant certifying documents;<br />3.1.3 Minimum practical experience in the practice of nursing of not less than three (3) continuous<br />years prior to the application;<br />3.1.4 Compliance with satisfactory continuing professional development in accordance with the Policy<br />on Continuing Professional Development in nursing as may be mandated by the NRA of the Country<br />of Origin;<br />3.1.5 Certification from the NRA of the Country of Origin of no record or pending investigation of<br />having violated any technical, professional or ethical standards, local and international, for the<br />practice of nursing; and<br />3.1.6 Compliance with any other requirements, such as to submit for a personal medical examination<br />or undergo an induction program or a competency assessment, as may be imposed on any such<br />application for registration and/or licence as deemed fit by the NRA or any other relevant authority or<br />the Government of the Host Country concerned.<br />3.2 Eligibility of a Foreign Nurse<br />Subject to domestic laws and regulations, a Foreign Nurse who satisfies the conditions as stated in<br />Article 3.1 is deemed eligible to work in the Host Country.<br />3.3 Undertaking of a Foreign Nurse<br />A Foreign Nurse who is granted registration or licence in the Host Country to practise nursing shall<br />comply with the following:<br />3.3.1. Local codes of professional conduct in accordance with the policy on ethics and conduct on the<br />Practice of Nursing established and enforced by the Host Country;<br />3.3.2 Prevailing domestic laws and regulations of the Host Country, including rules and regulations<br />governing the practice of nursing in the Host Country;<br />3.3.3 Subscribe to any requirements for an insurance liability scheme of the Host Country; and<br />3.3.4 Respect the culture and religion of the Host Country.<br /><br />ARTICLE IV<br />EVALUATION, REGISTRATION AND MONITORING<br />4.1 Nursing Regulatory Authority<br />The NRA of the Host Country shall be responsible for the following:<br />4.1.1 Evaluate the qualifications and experiences of Foreign Nurses;<br />4.1.2 Register and/or license Foreign Nurses allowing them to practise nursing in the Host Country;<br />4.1.3 Monitor the professional practice and conduct of Foreign Nurses who have been registered<br />and/or licensed; and<br />4.1.4 Ensure that Foreign Nurses observe and maintain high standards of practice of nursing in<br />accordance with the code of professional conduct of the Host Country.<br />4.2 ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing<br />4.2.1 An ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing shall be established comprising<br />representatives from the NRA and/or appropriate Government Agency of the participating ASEAN<br />Member Countries to meet regularly to:<br />4.2.1.1 facilitate the implementation of this MRA;<br />4.2.1.2 seek greater understanding of existing policies, procedures and practices, to develop and<br />promote strategies to manage the implementation of this MRA;<br />4.2.1.3 encourage the adoption and harmonisation of standards and procedures in the<br />implementation of this MRA through the mechanisms available;<br />4.2.1.4 update changes or developments in the relevant prevailing laws, regulations and practices of<br />each Host Country;<br />4.2.1.5 continue mutual monitoring and information exchange;<br />4.2.1.6 serve as an avenue to resolve amicably any disputes or issues arising out of the<br />implementation of this MRA that is forwarded to it by any NRA of the participating ASEAN Member<br />Country;<br />4.2.1.7 discuss the development of capacity building programmes; and<br />4.2.1.8 discuss other matters related to this MRA.<br />4.2.2 The ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing shall formulate the mechanism to carry<br />out its mandate.<br /><br />ARTICLE V<br />MUTUAL EXEMPTION<br />5.1 Mutual Exemption<br />5.1.1 The participating ASEAN Member Countries recognise that any arrangement, which would<br />confer exemption from further assessment by the NRA of the Host Country could be concluded only<br />with the involvement and consent of that NRA and/or the relevant government agencies.<br />5.1.2 The participating ASEAN Member Countries further recognise that registering or licensing<br />authorities for the practice of nursing have statutory responsibilities for protecting the health, safety,<br />environment, and welfare of the community within their jurisdiction.<br /><br />ARTICLE VI<br />DISPUTE SETTLEMENT<br />6.1 The following mechanism will be observed by the ASEAN Joint Coordinating Committee on<br />Nursing in any dispute arising out of the interpretation, implementation, and/or application of this<br />MRA:<br />6.1.1 A Foreign Nurse may lodge any complaint arising out of this MRA to the NRA of the Host<br />Country;<br />6.1.2 If the Foreign Nurse is not satisfied with the actions or explanations of the NRA of the Host<br />Country taken with respect to the complaint lodged, then the Foreign Nurse may contact the NRA of<br />the Country of Origin to seek consultations with the NRA of the Host Country to resolve the dispute;<br />6.1.3 Any unresolved dispute arising from the consultations shall be forwarded by the NRA of either<br />the Country of Origin or the Host Country to the ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing,<br />which shall seek to resolve the dispute amicably; and<br />6.1.4 Any dispute concerning the interpretation, implementation, and/or application of any of the<br />provisions under this MRA which cannot be resolved by the ASEAN Joint Coordinating Committee on<br />Nursing shall be subject to the mechanism set out in the ASEAN Protocol on Enhanced Dispute<br />Settlement Mechanism done at Vientiane, Lao PDR on 29 November 2004.<br /><br />ARTICLE VII<br />APPLICATION OF THE PROVISIONS OF GATS AND AFAS<br />TO THIS MRA<br />The terms and definitions and other provisions of the GATS and AFAS shall be referred to and shall<br />apply to matters arising under this MRA for which no specific provision has been made herein.<br /><br />ARTICLE VIII<br />AMENDMENT<br />The provisions of this MRA may only be amended by mutual written agreement by the Governments<br />of all ASEAN Member Countries.<br /><br />ARTICLE IX<br />DEFERRAL OF IMPLEMENTATION<br />9.1 Any ASEAN Member Country that wishes to defer implementation of this MRA shall notify the<br />ASEAN Secretary-General in writing of its intention within three months from the date of signature and<br />the ASEAN Secretary-General shall thereafter notify the rest of the ASEAN Member Countries. The<br />deferral shall be effective upon notification to the other ASEAN Member Countries. Any ASEAN<br />Member Country which does not defer implementation of this MRA shall be referred to as<br />“participating ASEAN Member Country” in this MRA.<br />9.2 Any ASEAN Member Country which had, pursuant to Article 9.1 above, given notice of its<br />intention to defer the implementation of this MRA, shall notify the ASEAN Secretary-General in writing<br />when it is ready to implement this MRA, provided that such date shall not be later than 1 January<br />2010. The ASEAN Secretary-General shall thereafter notify the rest of the ASEAN Member<br />Countries.<br /><br />ARTICLE X<br />FINAL PROVISIONS<br />10.1 This MRA shall enter into force for all Member Countries on the date of signature.<br />10.2 This MRA shall be deposited with the ASEAN Secretary-General, who shall promptly furnish a<br />certified copy thereof to each ASEAN Member Country.<br /><br />IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorised by their respective governments,<br />have signed the ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services.<br />DONE in Cebu, the Philippines, this Eighth Day of December in the year Two Thousand and Six, in a<br />single original copy in the English language.NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-64528986277767460552009-06-27T18:22:00.000-07:002009-06-27T18:26:18.658-07:00Kebijakan Mogok dari Konsil Perawat Internasional (ICN)<span style="font-weight:bold;">Strike policy</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">ICN Position:</span><br />The International Council of Nurses (ICN) expects nurses to have equitable<br />remuneration and acceptable working conditions, including a safe<br />environment. As employees, nurses have the right to organise, to bargain<br />collectively, and to take strike action1. Strike action is considered<span class="fullpost">the measure<br />of last resort; to be taken only after all other possible means to conclude an<br />agreement have been explored and utilised. ICN defines a strike as<br />employees’ cessation of work or a refusal to work or to continue to work for<br />the purpose of compelling an employer to agree to conditions of work that<br />could not be achieved through negotiation.<br /><br />Effective industrial action2 is compatible with being a health professional so<br />long as essential services are provided. The complete abandonment of ill<br />patients is inconsistent with the purpose and philosophy of professional nurses<br />and their professional organisations as reflected in ICN’s Code of Ethics for<br />Nurses.<br /><br />During a strike a minimum essential service to the general public must be<br />maintained.<br /><br />Other principles to be upheld include:<br /> The delivery of essential nursing services to a reduced patient population;<br /> Crisis intervention by nurses for the preservation of life;<br /> Ongoing nursing care to assure the survival of those unable to care for themselves;<br /> Nursing care required for therapeutic services without which life would be jeopardised;<br /> Nursing involvement necessary for urgent diagnostic procedures required to obtain information on potentially life-threatening conditions;<br /> Compliance with national/regional legislation as to procedure for implementation of strike action.<br /> Nurses’ right to take industrial action in the case of a breakdown of negotiations may only be curtailed if independent and impartial machinery such as mediation, conciliation or arbitration is established<br /><br />National nurses’ associations (NNAs) are responsible social partners and<br />must develop training programmes that adequately prepare their<br />representatives, nursing leaders and nurse employees in the practice of the<br />various methods of negotiation as a means for resolving their employment<br />concerns - i.e. conciliation, arbitration, collective bargaining - as appropriate in<br />each country/province4. Individual nurses must provide input to their NNAs so<br />that policy and decision-making are relevant and consistent with the realities<br />encountered in daily practice.<br /><br />ICN provides technical support to NNAs addressing labour issues and<br />encourages the International Labour Organization to positively influence<br />national policy in each country.<br /><br />NNAs, as professional associations and/or trade unions, are affected by health<br />sector strike action. They must therefore develop proactive policies and<br />contingency processes as well as structures to guide their members’<br />professional attitude and behaviour in such situations. At the same time, NNAs<br />must be proactive and assertive to improve the nurses’ socio-economic<br />welfare before strike action becomes necessary. Evaluations of strike actions<br />(including the responsibility of main stakeholders) must be undertaken so that<br />lessons learned may improve future negotiations.<br /><br />The ICN condemns all forms of victimisation against strike leaders when legal<br />procedures have been followed.<br /><br />ICN and NNAs recognise the potential strength of interdisciplinary<br />partnerships within the health and social sectors during negotiations with<br />public and private employers.<br /><br />ICN and NNAs oppose the deliberate use of strike breakers5, a practice that<br />weakens the pressure for credible social dialogue.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Background</span><br />The fundamental responsibility of the nurse is fourfold: to promote health, to<br />prevent illness, to restore health and to alleviate suffering6. In certain cases,<br />nurses may find themselves in situations where strike action is necessary to<br />ensure the future delivery of quality care by qualified personnel.<br /><br />While social dialogue is widely recognised as the principal and most effective<br />means of resolving professional and workplace-related problems, frustrated<br />employees may take industrial action in cases where the option of<br />employer/employee negotiation has been unsatisfactory, unsuccessful or<br />refused. Where deficiencies in the quality of working life and the economic<br />rewards of nurses have become so serious as to affect the long-range<br /><br />prospects for maintaining high standards of nursing care, nurses may choose to<br />take industrial action to bring about needed changes. In extreme situations,<br />strikes have occurred and on occasion have resulted in wide public and intraprofessional<br />debate.<br /><br />Strike action maintaining essential services has been used successfully by<br />professional trade unions in the past to initiate social dialogue, improve the<br />quality of care provided as well as the working conditions of nurses/health<br />workers. A range of strike action is possible. “Selective strikes” have provided<br />the necessary impact to advance negotiations while generating less disruption to<br />patient care7. In certain cases, token strikes (e.g. one hour demonstrations) may<br />generate the impetus to initiate social dialogue. As an initial or complementary<br />measure, strike action may include the cancellation of all elective interventions, a<br />work-to-rule policy and/or the withdrawal of services involving non-nursing<br />duties, e.g. domestic, clerical, portering, catering.<br /><br />The negotiation and strike process needs to be evaluated in terms of its<br />implementation and results, including the impact on stakeholders and social<br />outcomes. Support required for the parties involved in each step of the action<br />taken must be identified and provided (e.g. financial, emotional).<br /><br />If strike action is taken, national/provincial legislation may determine the<br />conditions under which such measures are implemented. Essential services are<br />often based on evening/night shifts and weekend staffing ratios and protocols,<br />commonly accepted levels of service.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Adopted in 1999<br />Reviewed and reaffirmed in 2004</span><br />sumber ICNNEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-1383839773673679342009-06-27T16:12:00.000-07:002009-06-27T16:17:40.389-07:00Aksi Mogok Nasional Perawat IndonesiaJakarta, 22 Juni 2009.<br /><br />Rapat Kerja Nasional Luar Biasa (RAKERNASLUB) PPNI dilaksanakan untuk menyikapi kondisi yang mendesak dan genting mengenai pengesahan RUU Keperawatan Indonesia. Hasil keputusan RAKERNASLUB adalah sebagai berikut:<br />1. Apresiasi terhadap DPR RI yang telah merespon tuntutan PPNI sehingga aksi mogok nasional belum dilaksanakan.<br />2. Aksi mogok nasional akan dilakukan apabila :<span class="fullpost"><br />a. Sampai dengan tanggal 4 Juli 2009 tidak dilakukan pembahasan RUU Keperawatan.<br />b. Undang Undang Keperawatan tidak disyahkan pada periode DPR RI 2004-2009.<br />c. Pelaksanaan mogok nasional ditentukan oleh Pengurus Pusat PPNI<br />3. Perawat yang tidak mengikuti aksi mogok, akan diberikan sangsi organisasi.<br />4. Aksi mogok nasional akan mengikuti aturan PP PPNI dan Internasional Council of Nurses dan mengikat semua perawat yang melakukan aksi mogok nasional.<br />5. Pengurus Propinsi PPNI siap menyuarakan rancana mogok nasional<br />6. Pengurus Pusat wajib mengirim surat kepada Presiden RI ditembuskan kepada Ketua DPR, MPR, Menkes, Ka POLRI, Gubernur seluruh Indonesia, PERSI, ARSADA, YLKI, ICN, dan stakeholder lainnya.<br />PPNI terpaksa melakukan mogok nasional sebagai jalan terakhir yang kami tempuh. Untuk itu, kami perawat Indonesia meminta maaf kepada masyarakat Indonesia yang memerlukan jasa perawatan akan tidak bisa kami penuhi seperti biasanya pada periode mogok yang kami rencanakan. <br /><br />Ketua Gerakan Sukseskan UU Keperawawatan<br />PP PPNI<br />Harif Fadilah, SKp, SH (Hp 08161435752)<br /><br /><br />Pengurus Pusat<br />Persatuan Perawat Nasional Indonesia<br />Ketua Umum, Sekretaris Jenderal,<br /><br /><br />Prof. Achir Yani S. Hamid, MN, DNSc. Dra. Junarsih SudibjoNEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-91566696306149673782009-06-26T20:42:00.000-07:002009-06-26T20:44:33.930-07:00RUU Praktek KeperawatanRancangan<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR ……………………….<br /><br />TENTANG<br />KEPERAWATAN<br /><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /><br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />Menimbang:a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;<span class="fullpost"><br /><br />b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau.<br /><br />c. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan merupakan bagian integral dari penyelenggaraan upaya kesehatan yang dilakukan oleh perawat berdasarkan kaidah etik, nilai-nilai moral serta standar profesi.<br /><br />d. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan pada kewenangan yang diberikan kepada perawat karena keahliannya, yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi. <br /> <br />e. bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan praktik keperawatan, perlu keterlibatan organisasi profesi.<br /><br />f. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan dan perawat diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik keperawatan;<br /><br />g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Keperawatan.<br /><br />Mengingat 1. Undang-Undang Dasar 1945; Pasal 20 dan pasal 21 ayat (1) <br /><br />2. Undang-Undang No. 23, tahun 1992 tentang kesehatan<br /><br />Dengan Persetujuan Bersama<br /><br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />dan<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /><br />MEMUTUSKAN :<br /><br />Menetapkan:UNDANG-UNDANG TENTANG KEPERAWATAN<br /><br />BAB I<br /><br />KETENTUAN UMUM<br /><br />Pasal 1<br /><br /> Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br /><br />(1) Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. <br />(2) Praktik keperawatan adalah tindakan perawat melalui kolaborasi dengan klien dan atau tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan yang dilandasi dengan substansi keilmuan khusus, pengambilan keputusan dan keterampilan perawat berdasarkan aplikasi prinsip-prinsip ilmu biologis, psikolologi, sosial, kultural dan spiritual.<br />(3) Asuhan keperawatan adalah proses atau rangkaian kegiatan pada praktik keperawatan yang diberikan kepada klien di sarana pelayanan kesehatan dan tatanan pelayanan lainnya, dengan menggunakan pendekatan ilmiah keperawatan berdasarkan kode etik dan standar praktik keperawatan.<br />(4) Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. <br />(5) Perawat terdiri dari perawat vokasional, perawat professional dan perawat profesinoal spesialis<br />(6) Perawat vokasional adalah seseorang yang mempunyai kewenangan untuk melakukan praktik dengan batasan tertentu dibawah supervisi langsung maupun tidak langsung oleh Perawat Profesioal dengan sebutan Lisenced Vocasional Nurse (LVN)<br />(7) Perawat professional adalah tenaga professional yang mandiri, bekerja secara otonom dan berkolaborasi dengan yang lain dan telah menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan, telah lulus uji kompetensi perawat profesional yang dilakukan oleh konsil dengan sebutan Registered Nurse (RN) <br />(8) Perawat Profesional Spesialis adalah seseorang perawat yang disiapkan diatas level perawat profesional dan mempunyai kewenangan sebagai spesialis atau kewenangan yang diperluas dan telah lulus uji kompetensi perawat profesional spesialis. <br />(9) Konsil adalah Konsil Keperawatan Indonesia yang merupakan suatu badan otonom, mandiri, non struktural yang bersifat independen. <br />(10) Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang perawat untuk menjalankan praktik keperawatan di seluruh Indonesia setelah lulus uji. <br />(11) Registrasi adalah pencatatan resmi oleh konsil terhadap perawat yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempuyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk melaksanakan profesinya.<br />(12) Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap perawat yang telah diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.<br />(13) Surat Izin Perawat adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat yang akan menjalankan praktik keperawatan setelah memenuhi persyaratan.<br />(14) Surat Ijin Perawat Vokasional (SIPV) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat vokasional yang telah memenuhi persyaratan.<br />(15) Surat Ijin Perawat Profesional (SIPP) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada perawat profesional yang telah memenuhi persyaratan <br />(16) Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan praktik keperawatan secara mandiri, berkelompok atau bersama profesi kesehatan lain.<br />(17) Klien adalah orang yang membutuhkan bantuan perawat karena masalah kesehatan aktual atau potensial baik secara langsung maupun tidak langsung<br />(18) Organisasi profesi adalah Persatuan Perawat Nasional Indonesia.<br />(19) Kolegium keperawatan adalah kelompok perawat professional dan perawat profesional spesialis sesuai bidang keilmuan keperawatan yang dibentuk oleh organisasi profesi keperawatan.<br />(20) Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.<br />(21) Surat tanda registrasi Perawat dalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Keperawatan Indonesia kepada perawat yang telah diregistrasi. <br /><br /><br /><br />BAB II<br /><br />ASAS DAN TUJUAN<br /><br />Pasal 2<br /><br />Praktik keperawatan dilaksanakan berazaskan Pancasila dan berlandaskan pada nilai ilmiah, etika dan etiket, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan dan perlindungan serta keselamatan penerima dan pemberi pelayanan keperawatan.<br />Pasal 3<br /><br />Pengaturan penyelenggaraan praktik keperawatan bertujuan untuk:<br />a. memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada klien dan perawat. <br />b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat.<br />BAB III<br /><br />LINGKUP PRAKTIK KEPERAWATAN <br /><br />Pasal 4<br /><br />Lingkup praktik keperawatan adalah : <br />a. Memberikan asuhan keperawatan pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan sederhana dan kompleks.<br />b. Memberikan tindakan keperawatan langsung, terapi komplementer, penyuluhan kesehatan, nasehat, konseling, dalam rangka penyelesaian masalah kesehatan melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam upaya memandirikan klien.<br />c. Memberikan pelayanan keperawatan di sarana kesehatan dan kunjungan rumah.<br />d. Memberikan pengobatan dan tindakan medik terbatas, pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan normal. <br />e. Melaksanakan program pengobatan dan atau tindakan medik secara tertulis dari dokter. <br />f. Melaksanakan Program Pemerintah dalam bidang kesehatan<br /><br /><br /><br />BAB IV<br />KONSIL KEPERAWATAN INDONESIA<br /><br />Bagian Kesatu<br />Nama dan Kedudukan<br /><br />Pasal 5<br /><br />(1) Dalam rangka mencapai tujuan yang dimaksud pada Bab II pasal 3, dibentuk Konsil Keperawatan Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Konsil.<br />(2) Konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.<br /><br />Pasal 6<br /><br />Konsil berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br />Bagian Kedua<br />Fungsi, Tugas dan Wewenang Konsil <br /><br />Pasal 7<br /><br />Konsil mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, pembinaan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan praktik keperawatan.<br /><br />Pasal 8<br /><br />(1) Konsil mempunyai tugas:<br />a. Melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat; <br />b. Mengesahkan standar pendidikan perawat <br />c. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik perawat untuk melindungi masyarakat.<br />(2) Standar pendidikan profesi keperawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b di usulkan oleh organisasi profesi dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.<br /><br /><br />Pasal 9<br /><br />Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 Konsil Keperawatan Indonesia mempunyai wewenang :<br />a. Mengesahkan standar kompetensi perawat dan standar praktik Perawat yang dibuat oleh organisasi profesi;<br />b. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi perawat ;<br />c. Menetapkan seorang perawat kompeten atau tidak melalui mekanisme uji kompetensi;<br />d. Menetapkan ada tidaknya kesalahan disiplin yang dilakukan perawat;<br />e. Menetapkan sanksi disiplin terhadap kesalahan disiplin dalam praktik yang dilakukan perawat; dan<br />f. Menetapkan penyelenggaraan program pendidikan profesi keperawatan berdasarkan rekomendasi Organisasi Profesi.<br /><br /><br />Pasal 10<br /><br />Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil serta pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Konsil Keperawatan Indonesia.<br /><br />Bagian Ketiga<br />Susunan Organisasi dan Keanggotaan<br /> <br />Pasal 11<br /><br />(1) Susunan peimpinan Konsil terdiri dari :<br />a. Ketua merangkap anggota<br />b. Wakil ketua merangkap anggota <br />c. Ketua- ketua Komite merangkap anggota.<br />(2) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :<br />a. Komite uji kompetensi dan registrasi<br />b. Komite standar pendidikan profesi<br />c. Komite praktik keperawatan<br />d. Komite disiplin keperawatan<br />(3) Komite sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua Komite merangkap anggota.<br /><br /><br />Pasal 12<br />(1) Ketua konsil keperawatan Indonesia dan ketua komite adalah perawat dan dipilih oleh dan dari anggota konsil keperawatan Indonesia.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan ketua konsil dan ketua Komite diatur dalam peraturan konsil keperawatan Indonesia<br /><br /><br />Pasal 13<br />(1) Komite Uji Kompetensi dan Registrasi mempunyai tugas untuk melakukan uji kompetensi dan proses registrasi keperawatan.<br />(2) Komite standar pendidikan profesi mempunyai tugas menyusun standar pendidikan profesi bersama dengan organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan keperawatan . <br />(3) Komite Praktik Keperawatan mempunyai tugas untuk melakukan pemantauan mutu praktik Keperawatan.<br />(4) Komite Disiplin Keperawatan mempunyai tugas untuk melakukan pembinaan kepada para perawat, menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan perawat dalam penerapan praktik keperawatan dan memberikan masukan kepada Ketua Konsil.<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja komite-komite diatur dengan Peraturan Konsil<br /><br /><br />Pasal 14<br /><br /><br />(1) Keanggotaan Konsil terdiri dari unsur-unsur wakil Pemerintah, organisasi profesi, institusi pendidikan, pelayanan, dan wakil masyarakat.<br /><br />(2) Jumlah anggota Konsil 21 (dua puluh satu) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari:<br />a. Anggota yang ditunjuk adalah 12 ( dua belas) orang terdiri dari:<br />- Persatuan Perawat Nasional Indonesia 3 (tiga) orang;<br />- Kolegium keperawatan 2 (dua) orang;<br />- Asosiasi institusi pendidikan keperawatan 2 (dua) orang;<br />- Asosiasi rumah sakit 1 (satu) orang; <br />- Asosiasi institusi pelayanan kesehatan masyarakat 1 (satu) orang;<br />- Tokoh masyarakat 1 (satu) orang;<br />- Departemen Kesehatan 1 (satu) orang;<br />- Departemen pendidikan Nasional 1 (satu ) orang<br />b. Anggota yang dipilih adalah 9 (sembilan) perawat dari 3 (tiga) wilayah utama (barat, tengah, timur) Indonesia.<br /><br /><br />Pasal 15<br /><br />1. Keanggotaan Konsil ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri dengan rekomendasi organisasi profesi<br />2. Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil harus berdasarkan usulan dari organisasi profesi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada pasal 14 ayat (2).<br />3. Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil diatur dengan Peraturan Presiden. <br />4. Masa bakti satu periode keanggotaan Konsil adalah 5 (lima) tahun<br />5. dan dapat diangkat kembali untuk masa bakti 1 (satu) periode berikutnya, dengan memperhatikan sistem manajemen secara berkesinambungan.<br /><br />Pasal 16<br /><br />(1) Anggota Konsil sebelum memangku jabatan terlebih dahulu harus mengangkat sumpah.<br /><br />(2) Sumpah /janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :<br /> Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.<br /><br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian.<br /><br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi ilmu keperawatan dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan tetap akan menjaga rahasia kecuali jika diperlukan untuk kepentingan hukum.<br /><br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia, taat kepada Negara Republik Indonesia, mempertahankan, mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia.<br /><br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa dan negara.<br /><br />Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya.“<br /><br />Pasal 17<br /><br />Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi anggota Konsil :<br />a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;<br />b. Warga Negara Republik Indonesia;<br />c. Sehat rohani dan jasmani;<br />d. Memiliki kredibilitas baik di masyarakat;<br />e. Berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Keperawatan Indonesia;<br />f. Mempunyai pengalaman dalam praktik keperawatan minimal 5 tahun dan memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat, kecuali untuk non perawat;<br />g. Cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik; dan <br />h. Melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi anggota Konsil.<br /><br /><br /><br />asal 18<br /><br />(1) Keanggotaan Konsil berakhir apabila :<br />a. Berakhir masa jabatan sebagai anggota;<br />b. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;<br />c. Meninggal dunia;<br />d. Bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;<br />e. Ketidakmampuan melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan;<br />f. Dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau<br /><br />(2) Dalam hal anggota Konsil menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.<br />(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Konsil.<br /><br />Pasal 19<br /><br />(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil dibantu sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris konsil<br />(2) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri<br />(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan anggota konsil <br />(4) Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil Keperawatan Indonesia<br />(5) Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Keperawatan Indonesia.<br /><br />Bagian Keempat<br />Tata Kerja<br /><br />Pasal 20<br /><br />(1) Setiap keputusan Konsil yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat pleno anggota.<br />(2) Rapat pleno Konsil dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit setengah dari jumlah anggota ditambah satu.<br />(3) Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.<br />(4) Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat dilakukan pemungutan suara.<br /><br /><br /><br />Pasal 21<br /><br />Pimpinan Konsil melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.<br /><br />Bagian Kelima<br />Pembiayaan<br /><br />Pasal 22<br /><br />(1) Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara <br />(2) Pembiayaan Konsil Keperawatan Indonesia ditetapkan oleh Ketua Konsil Keperawatan Indonesia.<br /><br />BAB V<br />STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN<br /><br />Pasal 23<br /><br />(1) Standar pendidikan profesi keperawatan disusun oleh organisasi profesi keperawatan dengan degan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan dan disahkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia<br />(2) Dalam rangka memperlancar penyusunan standar pendidikan profesi keperawatan, organisasi profesi dapat membentuk Kolegium Keperawatan<br />(3) Standar pendidikan profesi keperawatan dimaksud pada ayat (1):<br />a. untuk pendidikan profesi Ners disusun oleh Kolegium Ners generalis dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.<br />b. untuk pendidikan profesi Ners Spesialis disusun oleh Kolegium Ners Spesialis dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.<br /><br />BAB VI<br />PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPERAWATAN BERKELANJUTAN<br /><br />Pasal 24<br /><br />Pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi perawat yang berpraktik dan dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan keperawatan berkelanjutan yang ditetapkan oleh organisasi profesi.<br /><br />Pasal 25<br /><br />(1) Setiap perawat yang berpraktik wajib meningkatkan kompetensinya melalui pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi. <br />(2) Pendidikan dan pelatihan keperawatan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk program sertifikasi yang dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan berkelanjutan perawat yang ditetapkan oleh organisasi profesi.<br /><br />BAB VII<br />REGISTRASI dan LISENSI PERAWAT<br /><br />Pasal 26<br /><br />(1) Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan di Indonesia harus memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang diterbitkan Konsil melalui mekanisme uji kompetensi oleh konsil.<br />(2) Surat Tanda Registrasi Perawat sebagaimana ayat (1) terdiri atas 2 (dua) kategori:<br />a. untuk perawat vokasional, Surat Tanda Registrasi Perawat disebut dengan Lisenced Vocasional Nurse (LVN) <br />b. untuk perawat profesional, Surat Tanda Registrasi Perawat disebut dengan Registered Nurse (RN) <br />(3) Untuk melakukan registrasi awal, perawat harus memenuhi persyaratan :<br />a. memiliki ijazah perawat Diploma atau SPK untuk Lisenced Vocasional Nurse (LVN) <br />b. memiliki ijazah Ners, atau Ners Spesialis untuk Registered Nurse (RN) <br />c. lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh konsil<br />d. Rekomendasi Organisasi Profesi<br /><br />Pasal 27<br /><br />(1) Dalam menjalankan praktik keperawatan di Indonesia, lisensi praktik perawat diberikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang disebut dengan Surat Ijin Perawat yang terdiri dari Surat Ijin Perawat Vokasional (SIPV) atau Surat Ijin Perawat Profesional (SIPP)<br />(2) Perawat vokasional yang telah memenuhi persyaratan LVN berhak memperoleh SIPV dan dapat melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan bersama.<br />(3) Perawat profesional yang telah memenuhi persyaratan RN berhak memperoleh SIPP dan dapat melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan dan praktik mandiri.<br />(4) Lisenced vocasional Nurse (LVN) dengan latar belakang Diploma III Keperawatan dan pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun di sarana pelayanan kesehatan dapat mengikuti uji kompetensi Registered Nurse(RN).<br /><br />Pasal 28<br /><br />(1) Syarat untuk memperoleh SIPV :<br />a. Memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang disebut dengan Lisenced Vocasional Nurse (LVN) <br />b. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi keperawatan<br />c. Melampirkan surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan<br /> (2) Syarat untuk memperoleh SIPP :<br />a. Memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang disebut dengan Registered Nurse(RN)<br />b. Tempat praktik memenuhi persayaratan untuk praktek mandiri<br />c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi keperawatan<br />d. Melampirkan surat keterangan dari pimpinan sarana pelayanan kesehatan<br /> (3) SIPV dan SIPP masih tetap berlaku sepanjang:<br />a. Surat tanda Regstrasi Perawat masih berlaku<br />b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPP<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan tempat praktik untuk memperoleh SIPP diatur dalam peraturan Menteri.<br /><br /><br />Pasal 29<br /><br />(1) Perawat yang teregistrasi berhak menggunakan sebutan RN (Register Nurse) di belakang nama, khusus untuk perawat profesional, atau LVN (Lisence Vocasional Nurse) untuk perawat vokasional.<br />(2) Sebutan RN dan LVN ditetapkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia.<br /><br />Pasal 30<br /><br />(1) Surat Tanda Registrasi Perawat berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali.<br />(2) Registrasi ulang untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi Perawat dilakukan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada pasal 26 ayat (3), ditambah dengan angka kredit pendidikan berlanjut yang ditetapkan Organisasi Profesi.<br />(3) Surat Ijin Perawat hanya diberikan paling banyak di 2 (dua) tempat pelayanan kesehatan.<br /><br /><br /><br /><br />Pasal 31<br /><br />(1) Perawat Asing yang akan melaksanakan praktik keperawatan di Indonesia harus dilakukan adaptasi dan evaluasi sebelum di registrasi.<br />(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada sarana pendidikan milik pemerintah sesuai dengan jenjang pendidikan.<br />(3) Ketentuan mengenai Adaptasi selanjutnya diatur oleh Peraturan Menteri<br />(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />a. keabsahan ijazah;<br />b. registrasi perawat dari negera asal <br />c. kemampuan untuk melakukan praktik keperawatan yang dinyatakan dengan surat keterangan telah mengikuti program adaptasi dan memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat yang dikeluarkan oleh konsil<br />d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan<br />e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan kode etik keperawatan Indonesia.<br />(5) Perawat asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.<br />(6) Perawat asing yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dapat diregistrasi oleh konsil dan selanjutnya dapat diberikan Surat Ijin Perawat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kualifikasi perawat vokasional atau Profesional.<br /><br />Pasal 32<br /><br />(1) Surat Ijin Perawat vokasional sementara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara dapat diberikan kepada perawat warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan keperawatan yang bersifat sementara di Indonesia.<br />(2) Surat Ijin Perawat vokasional semetara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara sebagai mana dimaksud ayat (1) berlaku selama 1 ( satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 ( satu) tahun berikutnya.<br />(3) Surat Ijin Perawat vokasional sementara atau Surat Ijin Perawat Profesional sementara dapat diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 31.<br /><br />Pasal 33<br /><br />(1) Surat Ijin Perawat Vokasional bersyarat atau Surat Ijin Perawat Profesional bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan keperawatan warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia.<br />(2) Perawat warga negara asing yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan untuk waktu tertentu, tidak memerlukan SIPP bersyarat.<br />(3) Perawat warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan dari Konsil.<br />(4) Surat Ijin Perawat bersyarat dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan melalui program adaptasi. <br /><br /><br />Pasal 34<br /><br />SIPV atau SIPP tidak berlaku karena:<br />a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;<br />b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;<br />c. atas permintaan yang bersangkutan;<br />d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau<br />e. dicabut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Pejabat yang berwenang<br /><br />Pasal 35<br /><br />Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Keperawatan Indonesia.<br />BAB VIII<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPERAWATAN<br /><br />Pasal 36<br /><br />Praktik keperawatan dilakukankan berdasarkan pada kesepakatan antara perawat dengan klien dalam upaya untuk peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, kuratif, dan pemulihan kesehatan.<br /><br />Pasal 37<br /><br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat yang telah memililki SIPV atau SIPP berwenang untuk:<br />a. melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan;<br />b. tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi: intervensi/tritmen keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan; <br />c. dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;<br />d. melaksanakan intervensi keperawatan seperti yang tercantum dalam pasal 4.<br /><br /><br /><br />Pasal 38<br /><br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat yang telah memiliki SIPV berwenang untuk :<br />a. melakukan tindakan keperawatan dibawah pengawasan perawat yang memiliki SIPP <br />b. melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 huruf a harus sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;<br /><br />Pasal 39<br /><br />(1) Dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan atau nyawa klien dan atau pasien, perawat dapat melakukan tindakan diluar kewenangan.<br />(2) Dalam keadaan luar biasa/bencana, perawat dapat melakukan tindakan diluar kewenangan untuk membantu mengatasi keadaan luar biasa atau bencana tersebut.<br />(3) Perawat yang bertugas di daerah yang sulit terjangkau dapat melakukan tindakan diluar kewenangannya sebagai perawat.<br />(4) Ketentuan mengenai daerah yang sulit terjangkau ditetapkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah melalui peraturan tersendiri.<br /><br />Pasal 40<br /><br />(1) Praktik keperawatan dilakukan oleh perawat profesional (RN) dan perawat vokasional (LVN).<br />(2) LVN dalam melaksanakan tindakan keperawatan dibawah pengawasan RN.<br />(3) Perawat dapat mendelegasikan dan atau menyerahkan tugas kepada perawat lain yang setara kompetensi dan pengalamannya.<br /><br />Pasal 41<br /><br />Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan perawat yang tidak memiliki SIPV atau SIPP untuk melakukan praktik keperawatan di sarana pelayanan kesehatan tersebut.<br /><br />Pasal 42<br />Hak Klien <br /><br />Klien dalam menerima pelayanan pada praktik keperawatan, mempunyai hak:<br />a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan keperawatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38;<br />b. meminta pendapat perawat lain;<br />c. mendapatkan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar<br />d. menolak tindakan keperawatan; dan<br /><br />Pasal 43<br />Kewajiban Klien <br /><br />Klien dalam menerima pelayanan pada praktik keperawatan, mempunyai kewajiban:<br />a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;<br />b. mematuhi nasihat dan petunjuk perawat;<br />c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan<br />d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.<br /><br />Pasal 44<br />Pengungkapan Rahasia Klien <br /><br />Pengungkapan rahasia klien hanya dapat dilakukan atas dasar:<br />a. Persetujuan klien <br />b. Perintah hakim pada sidang pengadilan<br />c. Ketentuan perundangan yang berlaku<br /><br />Pasal 45<br />Hak Perawat<br /><br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat mempunyai hak :<br />a. Memperoleh perlindungan hukum dan profesi sepanjang melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan Standar Operasional Prosedur (SOP);<br />b. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari klien dan /atau keluarganya;<br />c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan otonomi profesi;<br />d. Memperoleh penghargaan sesuai dengan prestasi dan dedikasi <br />e. Memperoleh jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang berkaitan dengan tugasnya;<br />f. Menerima imbalan jasa profesi <br /><br />Pasal 46<br />Kewajiban Perawat<br /><br />Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat mempunyai kewajiban :<br />a. Memberikan pelayanan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan SOP <br />b. Merujuk klien dan atau pasien ke fasilitas pelayanan kesehatan yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau tindakan;<br />c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang klien dan atau pasien kecuali untuk kepentingan hukum;<br />d. Menghormati hak-hak klien dan atau pasien dan profesi lain sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku;<br />e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan untuk menyelamatkan iwa <br />f. Menambah dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan ketrampilan keperawatan dalam upaya peningkatan profesionalisme.<br /><br /><br /><br />Pasal 47<br />Praktik Mandiri<br /><br />(1) Praktik mandiri dapat dilakukan secara perorangan dan atau berkelompok<br />(2) Perawat yang melakukan praktik mandiri mempunyai kewenangan sesuai dengan pasal 4 huruf a, b, c, d, e, dan f. <br />(3) Kegiatan praktik mandiri meliputi:<br />a. intervensi mandiri keperawatan, seperti terapi modalitas/komplementer, konseling, perawatan kebugaran, perawatan dirumah atau dalam bentuk lain sesuai dengan peraturan yang berlaku<br />b. pengobatan dan tindakan medik dasar dengan instruksi atau pengawasan dokter dan protokol dari Ikatan Dokter Indonesia, <br />(4) Perawat dalam melakukan praktik mandiri sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan:<br />a. Memiliki tempat praktik yang memenuhi persyaratan kesehatan;<br />b. Memiliki perlengkapan peralatan dan administrasi untuk melakukan asuhan keperawatan <br />(5) Persyaratan perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan standar perlengkapan asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi.<br />(6) Perawat yang telah mempunyai SIPP dan menyelenggarakan praktik mandiri wajib memasang papan nama praktik keperawatan.<br /><br />BAB IX<br />PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PENGAWASAN <br /><br />Pasal 48<br /><br />Pemerintah, Konsil Keperawatan, dan Organisasi Profesi Perawat membina, mengembangkan dan mengawasi praktik keperawatan sesuai dengan fungsi serta tugas masing-masing.<br /><br />Pasal 49<br /><br />(1) Pembinaan dan pengembangan perawat meliputi pembinaan profesi dan karir<br />(2) Pembinaan dan pengembangan profesi perawat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kompetensi profesional dan kepribadian<br />(3) Pembinaan dan pengembangan profesi perawat dilakukan melalui Jenjang Karir Perawat. <br />(4) Pembinaan dan pengembangan karir perawat sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat /Peringkat dan promosi.<br /><br /><br />Pasal 50<br /><br />(1) Pemerintah, konsil dan organisasi profesi membina serta mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi perawat pada institusi baik pemerintah maupun swasta;<br />(2) Pemerintah memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalisme perawat pada institusi pelayanan pemerintah;<br />(3) Pemerintah menetapkan kebijakan anggaran untuk meningkatkan profesionalisme perawat pada institusi pelayanan swasta<br /><br /><br />Pasal 51<br /><br />Pembinaan, pengembangan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50, diarahkan untuk:<br />a. Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.<br />b. Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan perawat<br />c. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang dilakukan oleh perawat;<br />d. Melindungi perawat terhadap keselamatan dan risiko kerja.<br /><br />Pasal 52<br /><br />(1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat yang telah memiliki SIPV atau SIPP.<br />(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.<br /><br />Pasal 54<br /><br />Dalam rangka pembinaan dan pengawasan perawat yang menyelenggarakan praktik keperawatan dapat dilakukan supervisi dan audit sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.<br /><br />Pasal 53<br />Sanksi Administratif dan Disiplin<br /><br />(1) Perawat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 37 dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 1 (satu) tahun<br />(2) Perawat yang dinyatakan melanggar disiplin Profesi dikenakan sanksi administrasi sebagai berikut:<br />a. Pemberian Peringatan Tertulis<br />b. Kewajiban mengikuti Pendidikan atau Pelatihan pada Institusi Pendidikan Keperawatan.<br />c. Rekomendasi Pencabutan Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Perawat<br />(3) Pencabutan Surat Izin Perawat sebagaimana dimaksud ayat (2) c dapat berupa:<br />a. Pelanggaran ringan dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 6 (enam) bulan<br />b. Pelanggaran sedang dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 1 (satu) tahun<br />c. Pelanggaran berat dikenakan sanksi pencabutan sementara SIPV atau SIPP paling lama 3 (tiga) tahun<br /><br />(4) Sanksi Administratif terhadap pelanggaran disiplin sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan oleh Kepala Dinas Kab/Kota atau Pejabat yang berwenang setelah dilakukan penelitian dan usul dari Komite Disiplin Keperawatan Konsil.<br /><br /><br />Pasal 54<br />Sanksi Pidana<br /><br />Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah perawat yang telah memiliki SIPV atau SIPP dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).<br /><br />Pasal 55<br /><br />Institusi pelayanan kesehatan, organisasi, perorangan yang dengan sengaja mempekerjakan perawat yang tidak memiliki SIPV atau SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).<br /><br />Pasal 56<br /><br />Perawat yang dengan sengaja:<br />(1). tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud pada pasal 48 ayat (4);<br />(2). tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 huruf a sampai dengan huruf f<br />(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).<br /><br />Pasal 57<br /><br />Penetapan sanksi pidana harus didasarkan pada motif pelanggaran dan berat ringannya risiko yang ditimbulkan sebagai akibat pelanggaran.<br /><br />BAB X<br />KETENTUAN PERALIHAN<br /><br />Pasal 58<br /><br />(1). Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan pelaksanaan praktik keperawatan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.<br />(2). Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, ijin praktik yang diberikan sesuai KepMenKes Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan, masih tetap berlaku sampai berakhirnya izin praktik tersebut sesuai ketentuan.<br /><br />Pasal 59<br /><br />Dengan telah diberlakukannya Undang Undang Praktik Keperawatan, sebelum terbentuknya Konsil Keperawatan Indonesia maka dalam kegiatan perijinan dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada.<br /><br /><br /><br />BAB XI<br />KETENTUAN PENUTUP<br /><br />Pasal 60<br /><br />Konsil Keperawatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini diundangkan.<br /><br />Pasal 61<br /><br />Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br /><br /><br /><br />Disahkan di Jakarta<br />Pada tanggal …………………<br /><br />PPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br /><br />ttd<br /><br />SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />Pada Tanggal ……………….<br />SEKRETARIS NEGARA<br />REPUBLIK INDONESIA<br /><br />ttd<br /><br />Ir. HATTA RAJASA<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ……………<br />NOMOR ………………<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENJELASAN<br />Rancangan<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR ……………………….<br /><br />TENTANG<br />PRAKTIK KEPERAWATAN<br /><br />BAB I<br /><br />KETENTUAN UMUM<br /><br />Pasal 1<br /> <br />Ayat (1) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (2) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (3) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (4) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (5) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (6) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (7) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (8) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (9) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (10) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (11) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (12) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (13) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (14) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (15) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (16) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (17) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (18) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (19) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (20) ; <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (21) ; <br />Cukup jelas<br /><br /><br />BAB II<br /><br />ASAS DAN TUJUAN<br /><br />Pasal 2<br />Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan;<br />a. nilai ilmiah adalah bahwa praktik keperawatan harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan tehnologi yang diperoleh baik melalui penelitian, pendidikan maupun pengalaman praktik.<br />b. Nilai moral (Etika dan etiket) adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus mengacu pada prinsip-prinsip moral antara lain beneficience, nonmaleficience, veracity, justice, non-diskriminatif dan otonomi.<br />c. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.<br />d. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan harus mampu memberikan pelayanan yang dan tidak diskriminatif, merata, terjangkau dan bermutu dalam konteks pelayanan kesehatan.<br />e. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik keperawatan memberikan perlakuan yang memenuhi hak azazi manusia sebagai penerima pelayanan yaitu hak memperoleh pelayanan yang aman, hak untuk mendapatkan informasi, hak untuk didengar serta hak untuk memilih. <br />f. Keseimbangan adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan didasarkan atas keseimbangan antara hak dan kewajiban penerima dan pemberi pelayanan.<br />g. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik keperawatan dilakukan dengan kehati-hatian sesuai dengan standard praktik keperawatan.<br /><br />Pasal 3<br />Cukup Jelas<br /><br />BAB III<br /><br />LINGKUP PRAKTIK KEPERAWATAN<br /><br /><br />Pasal 4 ; <br /><br />Huruf a ;<br />Asuhan keperawatan diberikan akibat kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, akibat kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemampuan untuk berfungsi optimal, dan kurangnya kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri<br /><br />Huruf b ; <br />cukup jelas<br />Huruf c ; <br />cukup jelas<br /><br />Huruf d ;<br />Pegobatan adalah pemberian obat-obatan (kecuali obat-obat yang berlabel merah <br />tidak termasuk obat-obat yang masuk dalam DOA /Daftar obat Apotik)<br /><br />Tindakan medik terbatas yang dimaksud adalah tindakan medik termasuk pengobatan dalam rangka penyembuhan dan pemulihan penyakit-penyakit ringan yang biasa timbul dimasyarakat disuatu wilayah (common illness) yang dilakukan oleh perawat professional yang kompeten.<br /><br /><br />Huruf e ; <br />cukup jelas<br /><br />Huruf f :<br /> Cukup jelas<br /><br />BAB IV<br />KONSIL KEPERAWATAN INDONESIA<br /><br />Bagian Kesatu<br />Nama dan Kedudukan<br /><br />Pasal 5<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 6<br />Cukup Jelas<br /><br />Bagian Kedua<br />Fungsi, Tugas dan Wewenang Konsil<br />Pasal 7<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 8<br /><br />Ayat (1)<br />Cukup Jelas<br /><br />Ayat (2) ; <br />Yang dimaksud dengan standar pendidikan profesi keperawatan adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistim pendidikan nasional.<br /><br />Penyusunan standar pendidikan profesi keperawatan dilakukan oleh organisasi profesi termasuk kolegium dengan melibatkan asosiasi pendidikan keperawatan <br /><br />Yang dimaksud dengan asosiasi pendidikan keperawatan adalah Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia.<br /><br />Pasal 9<br />Cukup Jelas<br /><br />Bagian Ketiga<br />Susunan Organisasi dan Keanggotaan<br />Pasal 10<br />Cukup Jelas<br />Pasal 11<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 12<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 13;<br />Ayat (1) ; <br />Uji kompetensi adalah suatu proses penilaian terhadap perawat yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan serta sikap kerja minimal yang harus dimiliki seseorang sesuai dengan standar kinerja yang ditetapkan.<br /><br />Pasal 14 ; <br />Ayat (1); <br />cukup jelas<br /><br />Ayat (2); <br />Yang dimaksud dengan anggota konsil yang dipilih sebagaimana huruf (b) adalah pemilihan melalui mekanisme pencalonan dari 3 wilayah, masing-masing 3 orang kemudian dilakukan pemilihan secara serempak di tiga wilayah utama yaitu; barat meliputi pulau sumatera dan Jawa. Wilayah tengah meliputi Kalimantan, Sulawesi, Bali dan NTB. Wilayah timur meliputi NTT, Kepulauan Maluku dan Papua.<br /><br />Pasal 15<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 16<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 17<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 18<br />Cukup Jelas<br />Pasal 19<br />Cukup Jelas<br /><br />Bagian Keempat<br />Tata Kerja<br /><br />Pasal 20<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 21<br />Cukup Jelas<br />Bagian Kelima<br />Pembiayaan<br /><br />Pasal 22<br />Cukup Jelas<br /><br /><br />BAB V<br />STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEPERAWATAN<br /><br />Pasal 23<br />Cukup Jelas<br /><br /><br />BAB VI<br />PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPERAWATAN BERKELANJUTAN<br /><br />Pasal 24<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 25<br />Cukup Jelas<br /><br /><br />BAB VII<br />REGISTRASI dan LISENSI PERAWAT<br /><br /><br />Pasal 26<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 27<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 28<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 29<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 30<br />Ayat (1);<br /> Cukup jelas <br />Ayat (2); <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (3); <br />Cukup jelas<br /><br /><br />Pasal 31<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 32<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 33<br /><br />Ayat (1);<br /> Cukup jelas <br />Ayat (2); <br />Cukup jelas<br /><br />Ayat (3); <br />yang dimaksud dengan persetujuan konsil adalah surat keterangan yang dikeluarkn oleh konsil keperawatan indonesia untuk perawat asing yang melaksanakan tugas di Indonesia.<br /><br />Pasal 34<br /><br />Huruf a, b, c, d ; cukup jelas<br /><br />Huruf e ; <br />Pencabutan SIPP oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota karena perawat dinyatakan melanggar ketentuan administratife atau telah dinyatakan bersalah secara pidana atau perdata oleh pengadilan.<br /><br />Pasal 35<br />Cukup Jelas<br /><br /><br />BAB VIII<br />PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEPERAWATAN<br />Pasal 36<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 37<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 38<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 39<br /><br />Ayat (1); <br />Tindakan diluar kewenangan dalam keadaan darurat yang dimaksud adalah ditujukan kepada penyelamatan jiwa pasien <br /><br />Ayat(2); <br /> Cukup jelas<br /><br />Ayat (3); <br />Perawat yang bertugas didaerah sulit terjangkau adalah dalam rangka membantu pemerintah agar masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau.<br /><br />Pasal 40;<br /><br />Ayat (1); <br /> Cukup jelas<br /><br />Ayat (2); <br />Pengawasan yang dilakukan oleh perawat professional kepada perawat vokasional adalah dimaksudkan agar praktik keperawatan berjalan dengan aman sesuai standar profesi dan dalam rangka melindungi masyarakat memperoleh pelayanan keperawatan yang aman.<br /><br />Ayat (3); <br />Pendelegasian kepada perawat yang setara kemampuan dan pengalamanya dimaksudkan agar praktik keperawatan yang diberikan berjalan dengan aman.<br /><br /><br />Pasal 41; <br />Cukup jelas<br /><br />Pasal 42<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 43<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 44<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 45<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 46<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 47<br />Cukup Jelas<br /><br /><br />BAB IX<br />PEMBINAAN, PENGEMBANGAN DAN PENGAWASAN<br /><br />Pasal 48<br />Cukup Jelas<br />Pasal 49<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 50<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 51<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 52<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 53<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 54<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 55<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 56<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 57<br />Cukup Jelas<br /><br />BAB X<br />KETENTUAN PERALIHAN<br /><br />Pasal 58<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 59<br />Cukup Jelas<br /><br />BAB XI<br />KETENTUAN PENUTUP<br /><br />Pasal 60<br />Cukup Jelas<br /><br />Pasal 61 <br />Cukup JelasNEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8221040380577180146.post-15191135765491687942009-06-22T07:09:00.000-07:002009-06-22T07:18:19.122-07:00Penguasaan Patofisiologi Syarat Mutlak untuk Askep NANDA, NOC dan NICAplikasi North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), Nursing Interventions Classification (NIC) dan Nursing Outcomes Classification (NOC) sangat diperlukan bagi perawat di Indonesia dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena sampai saat ini masih sering terjadi pandangan yang berbeda antar perawat dalam menentukan diagnosa dan rencana tindakan. Dan jika diagnosa keperawatannya tidak tepat dapat dipastikan intervensinya juga akan tidak sesuai dengan kebutuhan pasien, ketidaktepatan dalam membuat rencana tidakan keperawatan dapat mengakibatkan kualitas asuhan keperawatan <span style="font-weight:bold;">menurun dengan kata lain tidak berkualitas. </span><br /><br />Berdasarkan analisis penulis, seorang perawat dapat menerapkan NANDA NIC dan NOC<span class="fullpost">dalam asuhan keperawatan harus menguasai : <span style="font-weight:bold;">pertama</span> konsep dasar link NANDA, NOC dan NIC, <span style="font-weight:bold;">kedua</span> pemetaan konsep dari penyakit yang dirawatnya ( dapat dilihat dari artikel sebelumnya tentang pemetaan konsep) atau lebih dikenal dengan patofisiologi penyakit tetapi pemetaan konsep lebih aplikasi karena berdasarkan kasus klinik. <br /> <br />Pemetaan konsep ini akan menjadi dasar atau pertimbangan klinik seorang perawat dalam menentukan diagnosa keperawatan berdasarkan NANDA , setelah didapatkan diagnosa yang tepat (sudah dicek dari definisi, karakteristik dan factor yang berhubungan ) maka akan dilanjutkan pada NOC dan untuk menentukan NOC yang tepat maka perawat harus berdasarkan pertimbangan klinik yang tepat dengan kata lain lihat dari pemetaan konsepnya. Setelah didapat NOC yang tepat dilanjutkan pada NIC dan untuk memilih intervensi yang tepat perawat harus kembali lagi berdasarkan pemetaan konsep yang telah dibuat sehingga rencana tindakan yang dibuat berdasarkan petimbangan klinis yang baik dan tentunya akan berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">Dapat disimpulkan</span> bahwa untuk mampu menerapkan asuhan keperawatan berdasarkan NANDA NIC dan NOC wajib menguasai pemetaan konsep dari penyakit yang akan dirawat, ketidak mampuan dalam membuat pemetaan konsep untuk beberapa kalangan bahwa NANDA, NOC dan NIC dirasakan bingung dan bahkan tidak berarti untuk askep. Jika perawat berhasil membuat askep pada suatu kasus secara komprehensif berdasarkan NANDA, NOC dan NIC, ini akan menjadi modal dasar dalam merawat pasien dengan kasus yang serupa selanjutnya dan askep yang dirumuskan juga dapat dikaji lagi untuk dijadikan standar asuhan . Dan dijamin perawat tidak akan bingung lagi membuat diagnosa, membuat intervensi karena presisi dari diagnosa dan intervensinya sangat baik. Selain itu dua syarat diatas ada syarat lain yang dikalah penting yaitu perawat harus mengerti bahasa Inggris bagi yang menggunakan NANDA NIC dan NOC yang berbahasa Inggris , banyak referensinya yang terup-date (termasuk jurnal) dan pengalaman klinik tidak hanya teori saja. <br /><br />Selamat berkarya membuat askep berdasarkan NANDA ,NOC dan NIC untuk setiap kasus dan terus di review dan dikaji karena ilmu tetang penanganan penyakit terus berkembang, dan NANDA ,NOC dan NIC juga bersifat dinamis. Sehingga kedepan perawat Indonesia mahir dalam membuat pertimbangan klinis selama merawat pasien. Dan kita akan lebih diakui oleh profesi lain jika kita menguasai peran independen kita yaitu proses keperawatan bukan terjebak dengan fungsi interdependen (kolaborasi).NEO-PADEMENhttp://www.blogger.com/profile/09425822888462530227noreply@blogger.com1